Brak... brak... brak...
Juna mengerjapkan kedua matanya berkali-kali ketika mendengar suara pintu rumahnya digedor dengan kasar. Juna yang saat itu masih dalam keadaan setengah sadar dari tidur tentu saja perlu memastikan apakah yang ia dengar adalah nyata atau hanya halusinasi.
Lima menit Juna berusaha mengumpulkan rohnya dan suara gedoran pintu bukannya hilang malah semakin keras. Juna bangkit dari fase rebahan, melangkah malas menuju kamar mandi untuk sekedar mencuci muka dan berkaca sebentar. Setidaknya Juna harus memastikan penampilannya sudah oke atau belum.
Ceklek...
Juna membuka pintu rumahnya.
Bugg...
Sebuah bogem mentah langsung melayang di pipi Juna saat ia membuka pintu. Juna yang saat itu dalam keadaan tidak siap, tentu saja langsung terpental ke belakang.
"Hmm... baru bangun tidur sudah mendapat serangan mendadak seperti ini" gerutu Juna dalam hati.
Juna memengang pipinya yang perih. Kedua netranya menatap dua sosok manusia yang berdiri pongah, dengan tangan berkacak pinggang sembari menatap jijik kepadanya.
“Diandra....”
“Jangan sebut namaku karena aku jijik mendengarnya!” kata Diandra memotong sapaan Juna.
“Dasar manusia tidak tahu malu!” maki Arya.
Bugggg
Lagi, Arya melayangkan bogem mentah pada Juna. Juna yang lagi-lagi mendapat serangan mendadak, tentu saja tidak bisa menghindar. Pria itu semakin gencar menambah bonyok di pipi Juna yang tadi sudah dibogemnya.
“Heiii, kalian ini kenapa? Datang ke rumahku main pukul saja?” teriak Juna.
Juna kali ini berusaha bangkit. Setidaknya dua kali mendapat bogem mentah membuatnya harus lebih siaga agar tidak mendapat bogem untuk ketiga kalinya.
“Kenapa? Kau tanya kenapa? Dasar manusia sok lugu!” maki Diandra.
“Apa salahku, Di?” tanya Juna tak mengerti. Bagaimana bisa ia mengerti jika mereka datang langsung main bogem seperti itu? pikir Juna.
Buggg
“Ini karena kau sudah memukul ayah mertuaku”
Buggg
“Ini karena kau merusak acara pernikahanku”
Buggg
“Ini karena kau masih berani menyebut nama istriku”
Buggg
“Hentikan!!!!”
Teriakan Bu Tias berhasil menghentikan aksi Arya yang terus menghujaniku dengan bogem mentahnya.
Bu Tias langsung berlari menghampiri Juna. Tangannya menyentuh wajah Juna yang sudah babak belur tak beraturan, penuh dengan warna. Untung saja Bu Tias belum berangkat ke rumah Bu Hindun untuk bekerja sehingga ia mengetahui jika anak bungsunya itu sedang diserang menantu Pak Narto.
Bu Tias menatap tajam ke arah Diandra dan Arya. Beliau berdiri dan Juna langsung memejamkan mata karena tak ingin melihat apa yang akan terjadi selanjutnya. Juna sepertinya sudah tahu apa yang akan terjadi setelah ini.
Plakkk
Bu Tias menampar Arya. Melihat hal itu tentu saja Diandra berteriak kaget.
Plakkk
Kembali Bu Tias menampar Arya. Kali ini Juna yang hampir berteriak karena mendengar tamparan Bu Tias yang semakin keras. Untunglah Juna bisa menahan diri untuk tidak berteriak dan memilih memejamkan kedua matanya semakin rapat.
“Berani sekali kau memukuli anakku? Kau pikir kau ini siapa hah?” tantang Bu Tias tanpa rasa takut sedikitpun.
Plakkk
"Sialan...!!!" maki Arya.
Arya balik menampar Bu Tias. Bunyi tamparan yang keras membuat Juna membuka matanya dan langsung bangkit. Kaget. Juna tidak menyangka jika Arya malah menampar balik ibunya.
Juna langsung mendorong Arya dengan keras sehingga Arya jatuh ke lantai. Juna jelas tidak terima jika Arya menampar Bu Tias seperti itu. Arya boleh menamparnya tapi tidak dengan Emaknya.
Bu Tias adalah orang tua yang seharusnya dihormati bukan diberi perlakuan kasar seperti itu meskipun Juna paham jika Bu Tias salah. Namun, sebagai yang lebih muda Arya tidak pantas membalas dengan kasar juga.
Juna yang tidak terima dengan perlakuan Arya, seketika langsung membogem pipi Arya berkali-kali.
Buggg...buggg...buggg...
Kalap, Juna sudah tak bisa menahan emosinya lagi. Sekarang baik Juna maupun Arya sama-sama dalam keadaan emosi. Mereka saling adu otot, bergelut dengan Bu Tias dan Diandra sebagai penonton.
Entah sudah berapa kali Juna melayangkan bogem mentahnya pada Arya. Wajahnya yang semula kinclong berubah warna-warni, tak jauh beda dengan wajah Juna yang penuh dengan memar.
Dorrr...
Dorrr....
"Berani kau sentuh menantuku, jangan menyesal jika peluru panas ini akan menembus kepala ibumu" teriak Pak Narto.
Juna langsung menegang. Tangannya yang hendak memukul Arya lagi seketika langsung berhenti, melayang di udara. Juna menoleh ke belakang. Kedua netranya membola melihat kedatangan Pak Narto bersama dua orang polisi. Salah satu dari polisi itu mengacungkan sebuah pistol ke udara. Keren sekali gayanya. Namun, tidak membuat Juna terkesima sama sekali.
“Bawa pemuda miskin itu! Tangkap dia karena telah melakukan perbuatan tidak menyenangkan pada keluargaku!” perintah Pak Narto.
"Baik, Pak!" sahut polisi itu.
Kedua polisi itu bergegas berjalan menghampiri Juna. Salah satu dari mereka mengambil borgol di saku celananya dan memasangkan pada kedua tangan Juna.
“Kau tidak bisa menangkap anakku!!!” teriak Bu Tias histeris. Beliau langsung berlari memeluk Juna dari belakang.
“Diam kau janda tua! Seharusnya kau juga ditangkap karena ikut andil saat merusak acara pernikahan anakku bahkan kau adalah biang onarnya!” hardik Pak Narto.
“Jangan, Pak!!!” Juna berteriak spontan.
“Bawa aku saja! Jangan bawa Emak juga!” kata Juna memohon kepada Pak Narto.
Pak Narto tertawa mendengar ucapan Juna. Ia terkesan sangat bahagia mendengar Juna memohon seperti itu. Tampak perutnya yang tambun bergetar naik turun mengikuti gelak tawanya yang tak kunjung reda.
“Ayah, apa ada yang lucu?” tanya Diandra membuat Pak Narto segera menghentikan tawanya.
“Mereka!!! Mereka lucu sekali” ucap Pak Narto dengan telunjuk yang mengarah kepada Juna dan Bu Tias.
Diandra memicingkan kedua matanya. Ia masih tidak dapat mencerna ucapan ayahnya yang sebenarnya memang tidak dapat dicerna.
“Mereka lucu?” tanya Diandra lagi.
“Ya, mereka lucu sekali. Memohon agar tidak dibawa ke kantor polisi. Mereka pikir Ayah akan mengabulkan permintaan mereka? Jangankan mengabulkan, mendengarkan saja Ayah tak sudi” kata Pak Narto yang langsung disambut gelak tawa Diandra dan Arya.
“Pak, saya mohon jangan bawa Emak!” Juna memohon sekali lagi. Kali ini Juna menjatuhkan tubuhnya di hadapan Pak Narto, bersimpuh di kedua kakinya.
Juna pikir Pak Narto akan sedikit luluh dengan tindakannya. Namun, ternyata salah. Pak Narto malah menendang wajah Juna hingga ia terjungkal ke belakang.
“Seret mereka berdua! Aku akan pastikan mereka tidak akan bisa hidup nyaman di penjara nanti. Hahaha...” kata Pak Narto dengan tawa yang menggelegar.
Ucapan Pak Narto membuat Juna ketar-ketir. Jika hanya Juna yang diseret, ia tidak masalah. Tapi ini juga menyeret Bu Tias, ibunya. Juna tidak bisa membayangkan bagaimana nasib ibunya di sana.
Pak Narto langsung pergi dengan langkah pongahnya disusul anak dan menantunya. Mereka berjalan mengekori Pak Narto dari belakang.
Puas? Tentu saja Pak Narto puas. Juna bisa melihat bagaimana wajah Pak Narto saat meninggalkan rumahnya. Berbinar seperti baru mendapatkan undian senilai satu milyar. Berbeda dengan Juna. Wajahnya lesu, bingung memikirkan nasib mereka ke depannya.
Juna menoleh ke belakang. Ia melihat Bu Tias masih menangis. Salah satu polisi yang tadi memegangi Juna berjalan menghampiri Bu Tias.
“Maaf, Mak. Saya hanya menjalankan tugas. Sebaiknya kalian ikut dulu ke kantor polisi. Tenang saja! Kami tidak akan bertindak kasar. Emak jangan takut. Saya pastikan kenyamanan Emak di sana” ucap polisi itu.
Polisi itu sedikit membungkuk. Wajah yang semula garang berubah melunak. Polisi itu sebenarnya tidak tega membawa Bu Tias sesuai perintah Pak Narto. Namun, ia tidak bisa apa-apa karena polisi itu hanya menjalankan tugas.
Emak mengangguk. Ia kemudian berjalan sambil berdampingan dengan polisi itu. Junapun bangkit dan mulai melangkah mengikuti langkah Bu Tias.
Juna keluar dari rumahnya dengan tangan diborgol dan wajah babak belur seperti seorang penjahat yang baru saja tertangkap.
Malu? Tentu saja Juna merasa malu. Apalagi ketika melihat banyak tetangga berkerumun di depan rumahnya. Beberapa dari mereka sengaja merekam dan memotret mereka seolah-olah Juna dan Bu Tias adalah kriminal yang baru saja tertangkap.
“Maafkan, Emak” ucap Bu Tias ketika mereka berada di dalam mobil polisi.
Juna yang sedari tadi melamun tentu saja menoleh ke arah Bu Tias. Bu Tias kembali meneteskan air mata. Tangannya tak henti meremas ujung bajunya. menumpahkan kekesalannya pada benda mati itu.
“Maaf untuk apa, Mak?” tanya Juna karena ia rasa jika Bu Tias memang tidak bersalah.
“Gara-gara Emak! Ini semua gara-gara Emak! Andai Emak tidak memaksamu untuk datang ke acara pernikahan Diandra pasti ini semua tidak terjadi” kata Bu Tias menyesal.
Juna menarik nafas panjang. Ia mengusap punggung ibunya perlahan, menenangkan dan menguatkannya.
“Emak tidak salah. Sudah jangan menangis” bisik Juna.
“Bagaimana kalau kita benar-benar dipenjara? Emak tidak mau masa depanmu hancur, Jun" kata Bu Tias dengan air mata yang terus mengalir deras.
“Sudahlah, Mak. Tidak ada yang perlu disesali. Emak tidak perlu merasa bersalah. Kita jalani saja prosesnya sembari berdoa kepada Yang Maha Kuasa. Semoga ada jalan agar kita bebas” bujuk Juna yang dibalas anggukan kepala Bu Tias.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 136 Episodes
Comments
Liliatun
begitu sadis caramu pak Narto
2023-01-16
3
Lina Zascia Amandia
Pokoknya tiap km nongol di beranda, km sy like y Jun. Buat Kak Author mf blm bs nyicil baca, sumpah lg mengejar sesuatu nihhh.... hrp maklum Mak ya....
2023-01-13
1
💞Amie🍂🍃
Kata-katanya Diandra tajem bet
2022-12-21
1