02

"Hei, Jun, rapi begini pasti mau kondangan ya?” tanya Bu Devi yang kebetulan berpapasan dengan Juna. Bu Devi adalah tetangga Bu Tias, rumahnya hanya berjarak empat rumah dari rumah Bu Tias.

Juna tersenyum tanpa menjawab pertanyaan Bu Devi. Hari ini Juna memang menggunakan kemeja batik bukan kaos olahraga seperti biasanya karena di sekolah sedang memperingati hari batik. Mungkin karena Juna berpakaian seperti itu sehingga Bu Devi berfikir jika Juna akan pergi ke kondangan.

“Memangnya kamu diundang, Jun?” tanya Bu Sari, tetangga Bu Tias juga yang entah sejak kapan berdiri di belakang Bu Devi dan bergabung dengan mereka.

Juna kembali memilih tersenyum karena sebenarnya ia juga tidak tahu kondangan siapa yang mereka maksud.

“Duh... pasti diundanglah. Namanya mantan, meski sudah putus tapi tetap harus menjalin komunikasi yang baik. Benar kan, Jun?” tanya Bu Devi.

Mendengar ucapan Bu Devi membuat senyum Juna berubah menjadi kecut. Mantannya menikah? Itu artinya Diandra, cinta pertama Juna akan menikah hari ini.

Juna menelan ludah. Seketika lidahnya kelu untuk berucap. Juna hanya bisa berdiri mematung tanpa menanggapi pertanyaan- pertanyaan ibu-ibu itu.

“Ngomong-ngomong kapan nyusul Mbak Dian, Jun? Jangan sampai gagal move on dong! Ingat umur juga. Kamu sudah pantas lho buat momong anak dua” kata Bu Sari.

“Bener tuh, Jun! Harus move on! Kalau perlu cari istri yang lebih cantik dari Mbak Diandra. Tapi kamu harus nebelin dompet dulu baru bisa gaet cewek cantik” kata Bu Devi yang langsung disambut gelak tawa Bu Sari.

Juna langsung angkat kaki meninggalkan mereka yang masih tertawa. Kesal? Tentu saja. Ibu-ibu itu sungguh tidak berprasaan dengan menyinggung isi dompet Juna.

Juna memang sadar jika isi dompetnya tipis, tapi tak perlu juga mereka menyinggung hal itu. Apalagi dibuat bahan tertawaan. Juna bertanya- tanya apakah di zaman sekarang tidak ada wanita yang bisa menerima laki-laki dengan apa adanya? Bukan karena ada apanya?

Juna masuk ke dalam rumah dengan langkah gontai. Nampak BunTias sedang bercermin, memoleskan bedak dan sedikit lipstik di bibirnya.

Juna memperhatikan penampilan Emaknya yang memakai gamis dan berkerudung syar’i. Tidak berdaster rumahan seperti biasanya. Ia yakin jika Emaknya akan datang ke kondangan juga.

“Kenapa baru sampai? Emak sudah menunggu dari tadi” ucap Bu Tias seraya membenahi kerudungnya.

“Juna ada acara di sekolah, Mak. Jadi baru pulang” ucapnya sambil menuangkan air putih ke dalam gelas dan langsung meneguknya.

“Emak rasa kau tak perlu ganti baju lagi. Kita langsung berangkat saja” perintah Bu Tias.

“Memangnya kita mau kemana, Mak?” tanya Juna. Ia ingin memastikan jika dugaannya tidak salah.

“Kondanganlah. Mantanmu yang cantik itu menikah hari ini” jawab Bu Tias ketus.

“Memangnya kita diundang, Mak?” tanya Juna lagi. Pasalnya hubungan keluarga Juna dan  keluarga Diandra memburuk pasca putusnya mereka.

“Ngimpi aja Pak Narto ngundang kita!”

“Lalu kalau kita tidak diundang, kenapa Emak mau datang?” tanya Juna heran.

“Emak mau membuktikan kalau kamu bisa move on. Emak mau membuktikan jika kamu tidak sehina apa yang diucapkan Pak Narto. Kamu bisa mendapatkan yang lebih baik dari pada anaknya yang sok cantik itu. Kamu bisa....”

“Mak....”

Juna memotong ucapan Bu Tias yang penuh dengan emosi. Ia berjalan menghampiri Emaknya, segera memeluk Bu Tias dari belakang. Juna bisa merasakan seperti apa rasa sedih di hati Bu Tias. Juna juga bisa merasakan amarah di hati Bu Tias.

“Emak tidak terima!!! Emak tidak terima!!!” teriaknya dan kini Bu Tias mulai terisak.

“Mereka menolak lamaran kita, Jun. Mereka menolakmu!!! Kau ditolak hanya karena kita orang miskin. Emak tidak terima!!! Emak tidak terima!!!” teriak Bu Tias histeris.

Juna tetap memeluk Bu Tias dengan erat, membiarkan sang ibu menumpahkan segala isi hatinya kepadanya. Tak dapat dipungkiri jika Juna merasakan sakit saat mendengar semua keluh kesah Bu Tias. Juna memilih diam lebih tepatnya menangis dalam hati daripada menanggapi ucapan Bu Tias. Ia pun merasa gagal membahagiakan orang tua satu-satunya yang ia miliki sekarang.

Puas menangis dalam pelukan Juna, Bu Tias mengusap air matanya dan segera merapikan dandanannya. Bu Tias menghempaskan tangan Juna sehingga Juna mau tidak mau melepas pelukannya.

“Ayo kita berangkat! Kita sudah terlambat” ucap Bu Tias, langsung berlalu keluar rumah.

Juna menghela nafas panjang. Mau tidak mau ia harus mengikuti kemauan ibunya. Juna tahu sifat Bu Tias. Keras kepalanya tidak bisa dibantah. Pasti akan terjadi perang badar jika tidak ada yang mengalah.

Juna berjalan dengan gontai, mengekori Bu Tias yang melangkah dengan tegap seakan-akan beliau sudah sangat siap untuk berperang.

Selama di perjalanan Juna tak henti-hentinya memanjatkan doa, berharap tidak terjadi keributan antara Bu Tias dan Pak Narto.

Perlahan tapi pasti, Juna dapat melihat janur kuning melengkung di depannya. Kedua telinganya bisa mendengar sayup-sayup musik dangdut yang semakin lama semakin jelas. Juna semakin menguatkan hati, mempercepat bacaan doanya seiring dengan detak jantungnya yang semakin tak karuan.

Juna menarik tangan Bu Tias, menghentikan langkahnya yang sudah siap masuk ke halaman rumah Pak Narto. Pak Narto memang mengadakan acara pernikahan di rumahnya. Tak perlu menyewa gedung karena halaman rumahnya sendiri sudah luas sehingga bisa dijadikan tempat hajatan apapun.

“Ada apa?” tanya Bu Tias sinis.

“Kita pulang saja, Mak” ajak Juna yang langsung dibalas pelototan tajam oleh Bu Tias.

“Kamu ini lelaki apa bukan sih, Jun? Emak saja semangat 45 untuk datang ke acara ini. Masak kamu loyo seperti ini? Kenapa? Kau belum bisa move on? Kau takut sakit hati melihat Diandra duduk di pelaminan bersama laki-laki lain?” cerocos Emak cuek.

“Bukan begitu, Mak” ucap Juna pelan.

Juna melirik ke kanan dan ke kiri sembari tersenyum kecut. Pasalnya saat ini mereka menjadi pusat perhatian tamu-tamu yang baru saja datang.

Bukan rahasia umum lagi jika Pak Narto menolak lamaran Juna sehingga ia tidak aneh dengan tatapan orang-orang yang sinis melihat kehadiran mereka di depan rumah Pak Narto sekarang.

“Juna tidak mau ada keributan di sini, Mak”

“Emak mau datang kondangan, bukan mau buat keributan. Tak tau lagi kalau Pak Narto yang mau ngajak perang sama Emak” ucapnya keukeh.

“Sudahlah, Mak! Lebih baik kita pulang saja” bujuk Juna.

Bu Tias mengacuhkan Juna. Ia tetap melanjutkan langkahnya hingga tiba di pintu depan halaman rumah Diandra. Lagi-lagi Juna tidak punya pilihan selain mengejar Bu Tias.

Mereka masuk dan langsung disambut oleh dua orang gadis yang bertugas mencatat nama tamu yang datang dan memberikan souvenir pernikahan. Bu Tias dengan santainya menuliskan nama, memasukkan amplop ke dalam kotak yang memang disiapkan untuk tempat buwuhan. Tak lupa Bu Tias menerima souvenir pernikahan Diandra yaitu sebuah botol minuman.

Bu Tias melanjutkan melangkah, bergabung dengan barisan tamu undangan lainnya yang mengantre untuk bersalaman dengan kedua mempelai dan keluarga. Saat ini pikiran Juna semakin kacau. Ia berdoa semoga saja Pak Narto tidak sadar dengan keberadaan mereka.

Junapun tak fokus pada Diandra dan Arya. Dipikirannya saat ini adalah bagaimana caranya bisa segera bersalaman dengan deretan keluarga tuan rumah dan langsung pulang.

Juna mengekori Bu Tias yang mulai bersalaman dengan keluarga Arya. Ia berharap semoga segera ini selesai tanpa drama lagi. Namun, harapan Juna tidak terjadi melainkan sebaliknya. Pak Narto menyadari kehadiran mereka saat Juna sedang bersalaman dengan ibunda Arya.

“Heiii.... kau? Bu Tias?” suara tinggi Pak Narto mengangetkan tamu undangan yang masih antre di depan dan di belakang Juna.

Juna memberanikan diri mengangkat wajahnya. Nampak wajah garang Pak Narto menatap tajam ke arah Bu Tias. Bu Tias yang ditatap seperti itu sepertinya tak gentar. Beliau malah menatap balik Pak Narto dengan tatapan yang tak kalah tajam.

“Iya, aku. Kenapa?”

“Kenapa kau ada di sini? Aku tidak mengundangmu dan anak bujangmu ini” teriak Pak Narto yang sukses membuat banyak orang melihat ke arah kami.

Seketika alunan musik dangdut dimatikan. Suasana yang semula ramai berubah menjadi sunyi. Juna langsung berkeringat dingin membayangkan apa yang akan terjadi pada mereka.

Juna melirik sekilas ke arah Diandra yang ternyata ia dan suaminya sedang menatap Juna dengan kesal.

“Aku hanya ingin mengucapkan selamat menempuh hidup baru untuk anakmu. Ingin memberikan doa juga untuknya. Apa itu salah?” ucap Bu Tias masih dalam mode angkuhnya.

“Tak perlu!!! Anakku tidak butuh doa dari kalian. Tanpa doa kalianpun, dia sudah bahagia dengan suaminya”

“Sombong sekali kau, Pak Narto!!!”

“Aku orang kaya, patutlah sombong. Kau orang miskin tak pantas untuk sombong sepertiku. Lihatlah bahkan untuk datang ke acara mewahku saja kau hanya memakai gamis murah yang warnanya sudah pudar. Sungguh kau benar-benar janda miskin yang tak tahu malu. Tidak diundang tapi malah datang. Bilang saja kalau hanya ingin numpang makan gratis” cibir Pak Narto.

Plaakk

Juna terbelalak melihat Bu Tias menampar Pak Narto. Semua orang berteriak kaget melihat apa yang beliau lakukan. Hening beberapa saat dan...

Buuggg

Pak Narto mendorong Bu Tias hingga jatuh dari panggung. Juna berteriak dan segera turun menghampiri Bu Tias. Dari bawah Juna menatap Pak Narto yang tersenyum puas karena berhasil membalas perlakuan Bu Tias.

Juna membantu Bu Tias untuk bangkit. Ia dapat melihat kedua netra emaknya basah. Juna berdiri menatap deretan keluarga Diandra dan Arya dengan tajam. Bagaimanapun Juna tidak terima perlakuan Pak Narto pada ibunya. Apalagi di tempat umum seperti ini. Pastilah Bu Tias merasa malu.

“Kau!!!” ucapku sembari menunjuk wajah Pak Narto.

“Kau memang orang kaya dan kami memang orang miskin. Tapi kau tidak pantas memperlakukan kami sehina ini apalagi sampai mendorong Emak hingga jatuh”

“Emakmu yang mulai terlebih dahulu” sahutnya santai.

“Tapi Anda tidak pantas membalasnya!!! Anda ini laki-laki, Pak” Juna mulai tersulut emosi.

Plakkkk

Pak Narto melempar tongkatnya ke arah Juna. Untunglah Juna secara reflek menarik tubuh Bu Tias sehingga tongkat itu gagal mengenai mereka. Juna benar-benar geram. Ia bangkit, mengambil tongkat milik Pak Narto dan melangkah balik ke arah Pak Narto.

Plakkk

Juna melempar tongkat itu ke arah Pak Narto dengan gusar. Tentu saja lemparan Juna sukses mengenai bahu Pak Narto. Juna bisa memastikan seperti apa rasa nyeri di bahu Pak Narto akibat lemparannya. Juna yang sudah terbiasa melempar bola volli ketika mengajar, sudah terjamin kemampuannya dalam lempar - melempar.

Melihat Ayahnya terkena lemparan Juna, Diandra berteriak dan memaki Juna dengan spontan. Juna tak mau kalah. Ia langsung menatap Diandra dengan tajam sehingga membuatnya diam.

"Aku memang miskin, tapi tidak untuk kalian hina seperti ini!" teriak Juna lantang. Ia sudah tidak peduli jika saat ini menjadi pusat perhatian orang-orang di sana.

“Lebih baik kita pulang, Mak! Kita tidak diundang dan memang tidak pantas berada di sini” ucap Juna sembari menuntun Bu Tias meninggalkan rumah Pak Narto.

Terpopuler

Comments

Al^Grizzly🐨

Al^Grizzly🐨

malu maluin juga tidak di undang datang..biarpun itu mantan..malu dong.

2023-12-17

2

Liliatun

Liliatun

banyak pilih banding, lebih pilih cari yang berduit, daripada ganteng tapi dompet ga ada isinya🙈

2023-01-16

2

Lina Zascia Amandia

Lina Zascia Amandia

Kak si Juna mangkal terus....

2023-01-13

3

lihat semua
Episodes
Episodes

Updated 136 Episodes

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!