Disisi lain, disaat Nandita fokus menyelesaikan kuliahnya, sosok teman yang selama ini dekat dengan nya masih berada pada garis abu abu dalam hidupnya.
Bagaimana tidak, sosok Candra Kirana yang selama ini dikenal ceria, ternyata dipundaknya menanggung beban berat yang tak ada satu orang pun yang tahu.
Salahkah ia merasa iri pada Nandita yang ia lihat begitu sempurna hidupnya? Ia ingin bisa seperti Nandita, memiliki keluarga yang saling mendukung satu dengan yang lain. Bisa disukai dan dicintai banyak orang. Bisa menjadi diri sendiri yang apa adanya, tanpa harus memikirkan harus menjadi yang terbaik dalam setiap aspek kehidupan.
Tanpa ia sadari bahwa tak ada kehidupan yang sempurna, tidak ada manusia yang benar benar bahagia tanpa melalui cobaan dalam hidup. Karena sejatinya hidup adalah proses belajar. Belajar bersyukur, belajar menerima, belajar menguasai diri, dan masih banyak lagi pelajaran hidup yang harus dilalui dalam bertumbuh agar menjadi manusia yang bahagia.
'Huuuuh andai mama papa ga terlalu sibuk dengan dunia mereka sendiri, andai mereka ga nyerahin tanggung jawab berat di pundak aku untuk menjaga dan melindungi adik adik, andai mereka tahu kalau aku bukan robot yang bisa mereka kendalikan sesuka hati' Dan masih banyak andai andai yang lain yang silih berganti hadir dalam hati gadis cantik itu.
"Kak.... Bagi uang donk.... Aku mau jalan sama temen temen nih" Kiara anak kedua dari tiga bersaudara itu menghampiri sang kakak Candra yang asik melamun di balkon rumah mewah nya.
"Mau kemana lagi sih dek?? Ini udah sore lho, mana mendung. Bentar lagi hujan pasti. Diem aja di rumah, belajar biar nilainya bagusan dikit" Ketus sang kakak pada adik bandelnya itu.
"Bentaran doang,, udaaah cepetan bagi duitnya. Dua ratus ribu aja, mau traktir temen temen karna udah bantuin aku kerjain tugas kemarin" Kiara masih saja ngotot
"Ya udah,, tapi janji sama kakak kamu jangan sampe pulang malem. Inget dek kamu masih SMA, masih jauh perjalanan kamu, jangan sampai kamu salah langkah" Ucapnya menasehati sang adik
"Yaaa bawel,, cepetan kak.... Aku udah ditungguin temen temen ini" Sang adik merasa tidak sabar, kemudian menarik kakaknya masuk ke kamar untuk mengambilkan uang
"Nih,, inget dek jangan pulang malem malem. Tau sendiri kan kalau kamu sama Bima itu tanggung jawab kakak? Kamu tega kalau nanti mama papa pulang, kakak dimarahi lagi sama mereka karna ga becus jagain kalian?" Ucapnya pada sang adik sembari memberikan dua lembar uang berwarna merah.
"Makasiii kakak,,,, ya aku ga lama kok, kafe nya Deket sini juga. Kakak mau dibawain apa nanti??" Kiara dengan semangat mengambil uang yang disodorkan kepadanya itu
"Beliin kakak martabak manis sama asin aja. Martabak manis nya pake toping coklat kacang susu keju ya,,,, kalo martabak asinnya beli yang special aja, beli sekalian untuk si mbok sama satpam. Nih uang tambahannya" Ucapnya sembari mengeluarkan uang seratus ribuan, lalu menyerahkan kepada sang adik
"Ya kak,,, aku jalan dulu ya. Makasiii uangnya, baik-baik jaga rumah ya.... Daaaaa" Dengan riang Kiara keluar kamar sang kakak kemudian langsung berangkat bersama teman-teman yang sudah menunggunya di depan gerbang.
'Anak itu.... Selalu saja aku ga bisa marah sama dia' Ia kembali melamun sendiri. Kali ini ia duduk di atas dipan besar dalam kamarnya. Rumah besar nan megah itu terasa hampa. Tidak ada kehangatan sebuah keluarga yang menghiasi di tiap sudutnya.
Hanya ada guci antik dan lukisan mahal yang ia tak mengerti apa arti dan fungsinya, yang setia menjadi teman setiap hari-hari sepinya. Tentunya selain asisten rumah tangga, tukang kebun, dan satpam yang juga sibuk dengan tugasnya masing masing.
"Sat lagi apa" Tulisnya pada pesan singkat yang ia kirim ke nomor telepon Satya.
"Ga ada, lagi sante aja dirumah. Kanapa Ndra?" Balasan chat Satya sedikit membuat wajahnya tersenyum bahagia.
"Ga.... Lagi iseng aja ga ada teman ngobrol. Kamu main kesini donk..." Pintanya pada laki-laki yang ia sukai itu
"Aduuuh sorry ya Ndra, bukannya aku ga mau nemenin kamu, tapi aku takut nanti kalau Nandita tahu aku kesana, dikiranya aku mau deketin kamu lagi. Hilang donk kesempatan aku buat jadiin dia wanita masa depan ku" Balasan Satya membuat Candra yang tadinya tersenyum bahagia, kini kembali wajahnya ditekuk. Hati yang tadinya sudah mulai membaik, kini buruk lagi karena penolakan Satya dan pernyataan sukanya pada Nandita.
'Kenapa sih apa-apa semua Nandita? Apa istimewanya dia coba.' Ia kembali merutuki temannya itu.
Padahal kalau ia mau berfikir jernih, bukan salah Nandita kalau ternyata banyak orang yang suka pada gadis itu.
Nandita hanya menjadi dirinya sendiri, yang apa adanya. Yang suka bercanda, suka usil, kadang bertingkah konyol yang sering kali membuat orang-orang di sekitar merasa terhibur akan kehadirannya.
Suasana pagi dirumah megah itu masih sama seperti kemarin, hening dan terkesan dingin. Tak ada canda tawa yang terlihat, seperti halnya keluarga yang lain pada umumnya.
Bayu Perkasa sang pemimpin keluarga duduk dengan menghadap sarapan pagi yang tersaji di meja makan.
Begitu pun sang istri yang terlihat anggun dan terawat diusia yang tak lagi muda itu. Duduk di samping sang suami dengan hidangan makanan sehat tersaji di depan matanya.
"Anak anak belum bangun ma?" Tanya pak Bayu, sembari melirik jam tangan mewah yang melingkar di tangan kanannya.
Waktu sudah menunjukkan pukul 7.30pagi. Pasangan suami istri itu, pagi ini sarapan di rumah karena baru tiba kemarin malam dari perjalanan bisnisnya ke luar kota.
"Sekarang ka libur pa,, mereka mungkin ingin menikmati waktu bermalas-malasan sebentar" Sahut sang istri membela anak-anaknya.
"Meskipun libur tetap saja mereka harus disiplin waktu ma,, jangan dibiasakan kalau libur bermalas-malasan begini. Mama kasih tau mereka donk,, ajari mereka agar bisa menghargai waktu sejak dini!" Ucap pak Bayu dengan suara naik satu oktaf.
Bu Diah yang hendak memasukkan makanan ke dalam mulut pun urung ya lakukan, lalu meletakkan sendoknya kembali ke atas piring. Nafsu makan nya mendadak hilang mendengar ocehan sang suami di pagi hari.
"Ya pa nanti mama kasih tau Candra untuk ngajarin adik-adiknya agar lebih baik lagi" Ucapnya kemudian berlalu meninggalkan meja makan.
Selalu begitu, setiap kali ada hal-hal yang tidak sesuai dengan keinginan orang tuanya, selalu Candra yang mendapat teguran.
Mereka tidak menyadari bahwa tanggung jawab mendidik anak terletak pada pundak mereka sebagai orang tua. Bukan kewajiban si anak sulung, apalagi sampai menyalahkan anak-anak atas ketidak mampuan orang tua dalam mendidiknya
"Can.... Duduk sini mama mau bicara" Candra yang baru saja hendak duduk dimeja makan untuk memulai sarapan, urung melakukan dan mendekati sang mama yang sudah menunggunya di ruang keluarga.
"Kenapa ma" Tanya Candra setelah mendaratkan pantat di sofa empuk sebelah mamanya.
"Gimana kuliah kamu" Tanya Bu Diah yang diyakini Candra hanya sekadar basa basi saja. Dia yakin pasti ada hal yang lebih dari sekadar menanyakan kabarnya
"Lancar mah, seperti biasa" Jawabnya enggan.
"Mama mau bicara soal apa?" Tembaknya to the poin pada sang mama.
Jujur ia lelah dengan sikap kedua orang tuanya yang ia rasa tak pernah menunjukkan kasih sayang selayaknya orang tua pada umumnya.
Cara orang tuanya bertanya pada anak anak, tidak seperti orang tua pada umumnya. Lebih tepat, ia merasa seperti atasan pada bawahannya.
"Tadi pagi kenapa kalian tidak ikut sarapan bersama mama sama papa? Kamu tau? Papa marahin mama karna kelakuan kalian! Berapa kali harus mama ingatkan sama kamu Candra,, di rumah ini urusan mendidik dan melindungi adik-adik kamu itu adalah kewajiban kamu!" Ucap wanita anggun itu, sambil mengacungkan jari telunjuknya ke depan wajah sang anak.
Sontak saja Candra merasa kaget. Perkara tidak ikut sarapan pagi saja ya harus mendapat kecaman seperti ini? Ia hidup dirumah orang tuanya apa di barak militer sih??
Amarah dan kekecewaan yang sudah berkumpul, ditambah lagi suasana hati yang buruk dari kemarin karena penolakan Satya, Candra akhirnya memberanikan diri menjawab ucapan mamanya.
"Maaf ma, kalau menjaga dan mendidik adik-adik adalah tanggung jawabku, lalu yang bertanggung jawab atas diriku siapa ma?" Mendengar ucapan sang anak, sontak saja sang mama merasa kaget.
Ia tidak menyangka anak yang selama ini patuh dan tidak pernah membantah ucapannya tiba-tiba menjadi berani seperti ini.
"Kamu!!" Bu Diah tidak bisa melanjutkan kata katanya, napasnya naik turun menandakan bahwa emosinya terpancing.
"Kenapa ma? Kaget karna aku bisa berucap seperti ini?" Tantang Candra lagi.
"Ma selama ini aku selalu berusaha menjadi seperti apa yang mama mau. Aku kuliah di jurusan yang tidak aku inginkan. Aku bertanggung jawab untuk semua yang dilakukan adik-adik diluar rumah. Aku juga harus bertanggung jawab dengan nilai mereka disekolah. Ma aku juga masih kuliah, masih perlu bimbingan, masih butuh perhatian. Aku juga ingin menjadi diriku sendiri bermain bersama teman-teman, melakukan hobyku, tanpa terbeban dengan apa yang ada dirumah." Kalimat itu meluncur lancar dari bibir gadis cantik itu .
"Aku rindu kita saling berbagi cerita ma. Aku ingin menumpahkan segala keresahan, ketakutan, keluh kesah yang selama ini aku pendam sendiri ma" Ucapnya sambil bercucuran air mata.
"Cukup Candra!! Sudah berani kamu sekarang bicara kurang ajar sama mama ya?!! Apa ini yang kamu dapatkan dari pendidikan yang selama ini kamu tempuh? Mama kecewa sama kamu Can, hanya untuk mengawasi adik-adik kamu saja kamu merasa keberatan? Kamu tidak pernah menghargai usaha mama sama papa yang berjuang keras agar bisa memberikan limpahan materi untuk kalian nikmati. Harusnya kamu bersyukur kamu bisa hidup enak tanpa harus khawatir dengan uang kuliah, uang saku, yang belum tentu orang lain bisa nikmati seperti kamu saat ini!" Bu Diah merasa tidak terima dengan keberanian anaknya yang mempertanyakan perannya sebagai orang tua.
Selama ini ia dan sang suami merasa sudah memberikan yang terbaik untuk anak anaknya. Tapi apa yang ia dapat dari sang anak? Ia benar-benar kecewa dengan anak sulungnya itu. Hanya sekadar membantu orang tua untuk bertanggung jawab terhadap adik-adiknya saja ia merasa keberatan? Bukankah sebagai anak pertama ia harusnya bisa memahami bahwa peran sebagai orang tua yang tidak selalu berada di rumah, mestinya bisa ia ambil alih tanggung jawabnya dengan suka rela?
Karena tidak ingin mendengar bantahan anaknya lagi, Bu Diah pun beranjak meninggalkan sang anak yang masih duduk dengan kepala menunduk itu, ke dalam kamar nya. Ia merasa hari liburnya yang ia harapkan sebagai hari untuk beristirahat berubah menjadi hari buruk baginya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 202 Episodes
Comments
Andi Fitri
tumpuk terus harta ntar anak kmu jdi gk bener baru nyesel...
2023-10-19
0
UQies (IG: bulqies_uqies)
Nah, tertohok kan sama perkataan anak sendiri
2022-11-25
1
Dewi
Lebih tepatnya juga keluh kesah Candra
2022-10-16
1