“Mmhh...” Kesadaran Luan sudah mulai kembali, ia perlahan membuka matanya dan mendapati dirinya masih berada di tengah hutan. Oh iya, aku saat itu pingsan, Ia mengedarkan pandangannya ke sekeliling dan mendapati ia bersama orang tak dikenal. Seorang pria dan wanita duduk tak jauh darinya.
“0h k4u 5ud4h b4n9un, 4p4 k4U b41k-b41k s4j4?” Wanita tersebut langsung menghampiri Luan saat melihatnya membuka mata. Ia terlihat seperti mengatakan sesuatu, namun Luan tak paham apa yang ia katakan.
“m4k4nl4h, 1ni 4k4n m3mbU4tMu l3b1h b41k.” Pria tadi memberikan sebuah sup hangat kepada Luan. Ia paham dari gestur tubuhnya, tapi tetap saja ia tak mengerti apa yang mereka katakan.
Bahasa asing? Aku sama sekali tidak bisa memahaminya. “Arrgghhh...!!” Secara tiba-tiba rasa sakit yang luar biasa menyerang kepalanya. Rasanya seperti ada sesuatu yang masuk dalam jumlah besar. Dua orang yang ada di tempat itu tentu saja panik dengan apa yang terjadi.
“H31 h31, 4da apa?” Tanya si pria
“Kau baik-baik saja?” Tanya si wanita
Mereka bertiga bertanya kepada Luan yang tampak sangat kesakitan saat ia sudah agak tenang. “I-iya, aku baik-baik saja?” Eh, aku paham bahasa mereka? Kagetnya yang tanpa sadar bisa mengartikan serta mengucapkan bahasa mereka.
“Oh syukurlah, kukira masih ada racun yang tersisa di tubuhmu.” Ujar si perempuan.
Kejadian beberapa saat lalu kembali terlintas dalam benak Luan. Teknik itu.... monster itu.... pemandangan yang kulihat dari atas bukit.... dan rasa sakit yang sangat nyata, tidak salah lagi sekarang aku berada di dunia lain. Raut wajah Luan memburuk karena dengan berat hati ia harus menerima kenyataan bahwa kini ia sudah tidak lagi ada di dunianya.
“Makanlah dulu sup ini agar kau tenang.” Si pria menawarkan supnya lagi untuk menenangkan Luan dan diterima dengan senang hati.
Luan menyendokkan sup tersebut ke dalam mulutnya dan merasakan tubuhnya sudah lebih baik. “Sudah lebih tenang?” Tanya si perempuan.
“Iya, terimakasih banyak... maaf sebelumnya, tapi siapa kalian?”
“Oh iya, perkenalkan namaku Vina dan dia adalah Ben. Kami melihatmu diserang para goblin, jadi kami datang untuk menyelamatkanmu. Kalau boleh tahu, siapa namamu?” Agar suasananya lebih santai, Vina memperkenalkan dirinya dan Ben kepada Luan.
Mereka terlihat dewasa, Luan memperkirakan umur mereka hampir 40 tahun. Pria bernama Ben itu mengenakan sebilah pedang yang cukup besar di punggung, Sementara Vina sendiri membawa sebuah buku dan tongkat kecil di pinggangnya.
“Namaku... Luan” Ucap Luan yang berusaha membiasakan diri dengan bahasa mereka.
“Luan ya, aku belum pernah melihatmu sebelumnya. Dimana asalmu?” Tanya Ben.
“Aku... tidak tahu...” Jawab Luan seakan mencoba mengingat sesuatu.
“Apa maksudmu?” Terlihat Ben maupun Vina kebingungan dengan jawaban Luan. “Kalau kau tidak tahu darimana asalmu, kenapa kau bisa di hutan ini?” Ben bertanya kembali.
“Aku tidak tahu.” Jawab Luan lagi.
Ben semakin bingung dengan apa yang dikatakan Luan. Kenapa anak ini bisa tidak mengetahui apapun? Begitulah pikirnya. Kemudian Vina mengambil alih perbincangan agar bisa lebih memahami situasi. “Emm Luan, bisa kau ceritakan kepada kami apa yang terjadi padamu sebelum bertemu dengan kami?”
“Seingatku, aku tiba-tiba terbangun di hutan ini. Aku tidak bisa mengingat apapun selain namaku sendiri. Kemudian segerombolan monster itu menyerangku dan kalian datang menolongku.” Jelas Luan.
“Sebenarnya sebelum aku bertemu kalian, aku jatuh dari bukit itu.”–Luan menunjuk bukit di belakangnya–“Setelah itu aku bangun dan tidak mengetahui apapun selain namaku.”
Ben dan Vina saling berpandangan sebentar sebelum kembali menatap Luan. “Apa itu artinya kau hilang ingatan?” Tanya Vina memastikan kondisinya.
“Entahlah, mungkin memang seperti itu.” Jawabnya menundukkan kepala seakan sedih dan kebingungan. Mendengar perkataan dari Luan, membuat Vina dan Ben saling berpandangan sebentar. Mereka merasa kasihan terhadap nasib yang dialami oleh Luan.
Luan sebenarnya berbohong, ia tidak bisa mengatakan keadaannya yang sebenarnya begitu saja kepada mereka. Meskipun mereka telah menolongnya, bukan berarti mereka bisa dipercaya sepenuhnya. Ia bisa merasakan emosi mereka, saat ini ia tengah dicurigai. Karena itulah ia harus waspada.
Mereka juga mungkin tidak akan mempercayai jika Luan bukan berasal dari dunia ini. Karena itulah, ia menutupi kebenarannya dengan membuat mereka berpikir kalau dirinya hilang ingatan. Dengan begitu, ia bisa mengumpulkan informasi terkait dunia ini.
“Untuk sekarang, bagaimana kalau kita kembali ke desa dulu. Mampirlah ke rumah kami, nanti kita bicarakan di sana.” Ajak Ben ke rumah mereka.
“Eh, apa boleh?” Luan merasa tidak enak apabila merepotkan orang yang telah menolongnya lebih dari ini.
“Tentu saja, lagipula sebentar lagi akan malam, apa badanmu bisa digerakkan?” Ben mengulurkan tangannya berniat membantu Luan berdiri.
“Iya, terimakasih banyak.” Meskipun merasa tidak enak, ia harus mendapatkan informasi agar bisa bertahan hidu di dunia ini. Jadi pilihan terbaik saat ini adalah mengikuti mereka. Kini mereka bertiga dalam berjalan menuju rumah Vina dan Ben yang berada di sebuah desa.
...***...
Selama perjalanan, Luan sedikit bertanya-tanya kepada mereka berdua. Desa yang akan mereka tuju bernama Desa Prista. Letaknya berada di bagian barat Kerajaan Westhornia. Dari sini Luan paham kalau negeri ini menggunakan sistem monarki sebagai sistem pemerintahannya.
Ia juga diberi tahu kalau Ben dan Vina ini ternyata adalah sepasang suami istri. Mereka mendirikan toko ramuan di Desa Prista. Tak lama kemudian mereka bertiga akhirnya sampai di Desa. Meski Luan sudah memperkirakan kalau zaman dari dunia ini berbeda dengan dunianya, tetap saja ia sangat terkejut saat melihatnya langsung.
Tidak ada listrik, bangunannya kuno, dan kendaraan yang bisa ia temukan hanyalah kereta kuda. Ia jadi bertanya-tanya sebenarnya di zaman apa dirinya berada. Meski begitu, desa ini sangatlah nyaman. Udaranya sungguh asri, suasananya tenang karena tidak terlalu banyak orang yang beraktivitas di saat senja seperti ini.
Sempat ada yang bertanya tentang dirinya kepada Vina dan Ben. Lalu Ben menjawab bahwa dia menolong Luan saat diserang oleh segerombolan goblin. Ben juga menambahkan kalau Luan hilang ingatan akibat terbentur. Orang tersebut percaya begitu saja dan pergi.
Alis Luan terangkat begitu mendengar kata goblin. Selain itu, ada beberapa hal yang membuatnya penasaran. Salah satunya adalah lampu yang menerangi jalanan desa ini bukanlah lentera atau obor. Dari mana mereka bisa mendapatkan lampu tanpa listrik, begitu pikirnya.
“Kita sudah sampai.” Ucap Vina.
Dihadapan mereka saat ini ada sebuah rumah sederhana yang tidak berbeda jauh dengan yang lain. Letaknya berada dekat dengan gerbang belakang desa. Sebelumnya mereka memasuki desa lewat gerbang utama yang berada di arah berlawanan.
Ukuran rumahnya sedikit lebih besar karena ketambahan tempat untuk menjual ramuan. Di atasnya terpampang nama dari toko tersebut, Aku tidak bisa membacanya, Batin Luan.
“Nah, ayo masuk ke dalam.” Ajak Ben.
Kemudian Vina membukakan pintu dan mereka bertiga masuk ke dalam rumah. Saat tiba di dalam, Luan langsung disambut dengan aroma yang asing baginya. Sama seperti yang terlihat di luar, dalamnya juga bisa dibilang biasa. Tapi, Luan bisa langsung merasakan kenyamanan yang ada di rumah itu.
“Baiklah, duduklah dulu aku akan membuatkan minuman.” Ucap Vina meminta mereka berdua untuk duduk.
Luan dan Ben pun duduk berhadapan di ruang tamu. Mereka berbasa - basi ria sambil menunggu Vina membuatkan minuman. “Maaf kalau tempatnya terlalu sederhana, kuharap kau nyaman.” Ucap Ben yang merendah karena sadar rumahnya tidak mewah.
“Tidak apa, meski begitu aku bisa kerasakan kehangatan dan kedamaian di dalamnya.” Ujar Luan mengatakan yang sebenarnya. Tak lama setelahnya, Vina kembali dengan membawa tiga gelas minuman.
“Kalau begitu cobalah ini, kau akan merasa lebih hangat.” Ucap Vina meletakkan segelas minuman hangat di depan Luan.
“Oh, maaf merepotkan.”
“Tidak apa-apa, hanya ini yang bisa kusuguhkan. Minumlah selagi hangat.” Desak Vina agar Luan mau menerimanya.
“Baiklah, kalau begitu akan kuminum.” Luan kemudian meminumnya. Saat minuman tersebut mengalir di tenggorokannya, ia merasa tenang sekali. Rasanya hangat dan dapat membuat beban pikirannya hilang. “Enak sekali.”
“Terimakasih, apa sekarang kau sudah tenang?” Tanya Vina memastikan Luan tenang sebelum memulai perbincangan yang lebih berat.
“Iya, terimakasih banyak.” Ia kembali meletakkan gelas tersebut di meja.
“Sekarang, langsung saja kita bahas, mulai darimana kita?” Tanya Ben mengawali pembahasan.
“Iya, pertama-tama tolong beritahu aku, dunia apa ini?”
“Dari sana? Sejauh apa ingatanmu itu hilang?Tapi baiklah, nama dunia ini adalah... Verden.”
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 37 Episodes
Comments