Episode 4

Keesokan harinya

Aku bangun dari tidurku, pukul sembilan pagi. Bahkan suara ayam sudah berhenti berkokok, dan matahari mungkin sudah di seperempat jalan menuju tengah bumi.

Ah, rasanya tidur malam tadi sangat nyenyak dengan suasana hatiku yang sedikit membaik.

"Perempuan jam segini baru bangun." Terdengar suara Ayah dari luar kamarku yang hendak ingin berangkat kerja, rasanya sudah biasa mendengarnya mengoceh seperti itu.

Aku tak ambil pusing, jadi aku tutup telingaku sambil berjalan perlahan menuju kamar mandi untuk segera membersihkan tubuhku. Setelah itu, aku membuat sarapan dan menyantapnya di kamar.

Setelah aku selesai menikmati sarapanku, akupun mencuci piring kotor bekasku di dapur dan kembali ke kamar.

Aku mencari dompetku untuk meminta tolong adikku membelikan sebungkus rokok, mengingat rokokku sudah habis kubakar semalam sambil asik mengobrol dengan Kray.

'Ah, uangku masih cukup untuk jajanku selama dua bulan. Aku juga masih bisa memberikan sebagian uangku, untuk Ibu berbelanja bahan makanan. Aku masih bisa istirahat sambil mencari freelance yang lain untuk pemasukan.'

"Adik.. Adik.." Teriakku memanggil adikku, Angela.

Aku memanfaatkan kepolosannya, untuk menjadi si kecil tukang belanja.

"Apa?" Teriaknya sambil berlari ke arahku.

"Tolong beliin kakak rokok, nih kakak kasih upah besar" Ujarku dengan wajah sumringah, untuk merayu si kecil yang hobi jajan itu.

Setelah aku kipas-kipaskan uang sepuluh ribuan di hadapannya, si anak kecil inipun tergiur dan akhirnya menurut untuk pergi ke warung membelikanku sebungkus rokok. Lalu, ia melesat dengan sangat cepat.

Tak lama kemudian, ia kembali. Jadi, tanpa basa-basi akupun langsung membakar satu batang rokok untuk memberi racun kepada paru-paru ini.

Kalian pasti bertanya kenapa aku bisa menjadi wanita perokok, dan memiliki keberanian untuk merokok di depan orangtuaku.

Sejak aku duduk di bangku sekolah dasar kelas enam SD, aku sudah diam-diam belajar merokok dengan Kakakku Julian dan adikku Kevin.

Semua bermula karena aku memenangkan lotre warung kelontong yang mendapatkan tiga bungkus rokok, itulah awal mulai aku merokok.

Di lanjut saat aku masuk Sekolah Menengah Pertama (SMP) bertemu dengan teman-teman yang rupanya sama denganku, ditambah lagi aku mulai mengenal pergaulan luar rumah.

Sebelumnya aku merokok diam-diam tanpa diketahui kedua orangtuaku, sampai suatu ketika Ibu memergokiku merokok di kamarku.

Namun Ibu tidak memarahiku, ia malah merangkul dan memelukku dengan erat.

Ia berkata dengan lembut, "*Ibu tidak akan memarahimu, kau tidak perlu menyembunyikan masalah dan kenakalanmu. Jujurlah dengan Ibu. Agar suatu saat jika terjadi sesuatu padamu, Ibu tidak kaget lagi saat menerima kabarnya. Ibu tahu, kau anak yang baik. Hanya saja, kau pasti memiliki banyak tekanan di dalam hatimu*."

Mendengar hal itu, aku sangat tersentuh dan merasa beruntung memiliki seorang Ibu yang amat sangat memahami keadaanku. Akan tetapi, aku merasa bersalah karena harus membuatnya menangis saat dulu itu.

Sambil merokok, aku melangkahkan kaki secara perlahan mendekat ke arah Ibu yang saat ini sedang melamun di ruang tamu. Tanpa ia bicara, aku sudah tahu apa yang ia khawatirkan.

"Ibu, kalau Ibu tidak ada uang, Ibu bisa langsung saja mengambilnya di dompetku. Aku rasa itu masih cukup untuk dua bulan ke depan. Sambil menunggu aku dapat panggilan kerja freelance lagi." Ujarku.

"Terimakasih Aletha. Kau memang anak yang pengertian. Besok Angela harus membeli buku sekolah dengan jumlah uang sebesar ini." Ujarnya sambil memberikan selembaran kertas penagihan dari sekolah adikku, yang paling kecil.

Aku mengambil kertas itu, dan membacanya.

"Angela juga belum membayar uang sekolah sejak empat bulan yang lalu, Ayah belum memiliki uang." Ujar Ibu.

Setelah aku melihat selembaran kertas tagihan itu, aku tidak berekspresi apa-apa. Karena, aku benar-benar tahu betul keadaannya. Sudah dua tahun semenjak aku kembali dari berkelana, semuanya tetap sama saja dan tidak ada yang berubah.

Maka dari itu, aku sudah tidak ingin membicarakan hal yang sering kami debatkan lagi.

Aku mengembalikan kertas itu dan meninggalkan Ibu di ruang tamu, untuk kembali ke kamar dan mengambil dompetku. Setelah itu, aku kembali menghampiri Ibu.

"Ibu tenang ya, aku masih ada tabungan. Kurasa ini cukup untuk keperluan sekolah Angela." Ujarku, sambil memberikan dompetku kepadanya.

"Terima kasih, Aletha." Ujar Ibu, sambil menangis.

Aku sangat tidak suka melihat air matanya, ia sudah sangat sering menangis dan terluka. Semenjak kejadian yang lalu itu, aku bahkan bersumpah pada diriku sendiri untuk mengharamkan diriku apabila aku membuat Ibu menangis dan merasa kecewa.

"Apapun akan kulakukan untuknya dan saudara-saudariku, meski aku harus menjual organ tubuhku." Ujarku saat dulu, pada diri sendiri.

"Ibu jangan berterima kasih dan jangan menangis, aku inikan anakmu. Jika Ayah tidak bisa diandalkan, kau bisa mengandalkanku." Ujarku, yang berusaha membuatnya tenang dan berusaha sedikit meringankan bebannya.

Meskipun sebenarnya, aku tidak tahu apa yang bisa kulakukan untuk membantunya.

Setelah berbincang dengan Ibu dan ia mulai tertawa, aku kembali ke kamarku untuk mengambil ponselku yang semalam sedang aku isi daya.

Benar saja, daya ponselku sudah penuh. Tidak hanya itu, aku juga mendapat notifikasi pesan masuk hingga dua puluh kali. Maka, segera aku membuka pesan itu. Ternyata semua pesan itu dari Kray.

Pukul enam pagi.

"Selamat pagi, Aletha."

Pukul enam lewat lima belas menit pagi.

"Aletha, bangun dong. Sudah siang tahu."

Pukul enam lewat tiga puluh menit pagi.

"Hallo?"

Pukul enam lewat empat puluh lima menit pagi.

"Aletha, tidurnya nyenyak banget ya?"

Pukul tujuh pagi.

"Aletha, bangun ih."

Setiap jam menunjukkan lewat lima belas menit, ia mengirimkan pesan kepadaku tanpa henti. Hingga pesan terakhir yang ia kirimkan, di pukul sepuluh lewat lima belas menit.

"Aletha, kalau sudah bangun jangan telat sarapan ya. Jangan lupa untuk memberiku kabar. Kau tidak boleh lari dariku ya, Aletha" Isi pesan terakhirnya.

Sebelumnya, Kukira dia akan menghilang seperti yang lainnya. Ternyata tidak, ia sangat bawel dan justru memaksaku yang tidak boleh lari darinya.

'Sebentar, di jam enam orang ini sudah mengirim pesan kepadaku. Apakah ia tidak tidur semalam?' Tanyaku, dalam hati.

Aku merasa heran dan juga penasaran, saat menyadari hal itu. Maka dari itu, untuk memenuhi rasa penasaranku. Aku langsung menanyakannya sesuai pertanyaan, yang ada di dalam hatiku.

"Aku sudah bangun sejak tadi. Oh ya, pukul enam pagi kau sudah mengirim pesan kepadaku. Apa kau tidak tidur semalam?"

"Akhirnya kau membalas juga, aku sangat menunggumu." Balasnya, dengan sangat cepat.

"Aku tidur, dari jam dua pagi hingga jam empat pagi. Karena hari ini, aku sedang shift pagi di pekerjaanku". Balasnya lagi.

Aku merasa kasihan padanya, mungkin karena ia menghiburku sampai larut malam. Makanya saat ini, ia pasti mengantuk saat sedang bekerja. Aku sedikit merasa tidak enak hati dengannya.

"Kenapa kau tidak bilang padaku? Kalau kau bilang padaku, mungkin semalam kita tidak akan berbincang sampai larut malam." Ujarku, di pesan yang kukirim kepadanya.

"Tenanglah, aku tidak apa-apa. Lagi pula, berbalas pesan dan bercanda denganmu membuatku sangat senang. Dan hari ini, malah membuatku semangat. Aku akan segera menyelesaikan pekerjaanku, agar aku bisa langsung pulang dan lanjut berbincang denganmu seperti semalam." Balasnya.

"Hemm, dasar orang aneh. Kalau begitu, kau harus semangat untuk bekerja ya, Panci Gosong." Ujarku memanggil namanya dengan lelucon untuk bercanda.

"Haha.. Sial, kau memulainya lagi. Kau membuatku tertawa, dengan candaanmu. Dasar, Kabel Rusak." Balasnya untuk menimpali candaku.

Akhirnya kami memulai lagi berbincang obrolan random dengan saling memanggil dengan sebutan nama-nama yang aneh satu sama lain, Inilah yang kami lakukan malam tadi hingga tidur sangat larut.

Kita hanya saling berbalas pesan dengan isi pesan, yang sejujurnya sama sekali tidak penting.

Rasanya terlihat membosankan, memang. Tapi, karena aku dan ia yang menjadi pemeran utama dalam pesan ngawur itu, membuat kita berdua saling tertawa.

Ah, gila. Apakah memang isi pesan kita yang lucu atau memang sebenarnya kita saling tertarik untuk mengenal satu sama lain? Akan tetapi, aku merasa sangat seru apabila memiliki kekasih, sahabat dan teman yang satu frekuensi denganku. Rasanya sangat nyambung saat berbincang. Walaupun isi dari perbincangan itu sendiri kalau dilihat orang lain, sebenarnya terlihat amat sangat tidak nyambung.

...<-------------------------------->...

...*Pesan Author untuk pembaca setia*...

..."Hai Reader's. Mohon maaf apabila novel author ini banyak kesalahan dalam penulisan dan mungkin membosankan untuk dibaca, author masih dalam pembelajaran untuk penulisan novel. Terimakasih atas dukungannya. Dukungan dari kalian sangat berharga bagi author, author sangat membutuhkan kritik dan saran dari kalian. Agar author dapat mengembangkan sebuah karya novel menjadi lebih baik lagi"...

...Note : Plagiarisme melanggar Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta sudah mengaturnya secara jelas....

Terpopuler

Comments

Anonymous

Anonymous

Modus woi si Kraynya

2022-08-03

10

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!