“Ayaka! Dibelakangmu!”
Seorang gadis baru saja memperingati teman sekelasnya yang sedang membersihkan gudang olahraga sebagai hukumannya karena membuat onar dikelas sebelah. Jari telunjuk gadis tersebut menunjuk-nunjuk ke arah belakang temannya, namun setelah ditoleh tak ada apa-apa.
“Apa maksudmu, Uno?” tanya temannya yang dipanggil Ayaka dengan dahi mengrenyit heran. Tak biasanya tetangga di komplek perumahannya seperti ini. Dan juga sejak tadi gadis itu tak melakukan sesuatu—seperti mengepel, membereskan bola-bola basket—melainkan hanya diam dibelakang Ayaka.
Gadis bernama lengkap Setogawa Uno itu menjerit tak karuan. Kedua tangannya menutupi matanya dan dirinya meringkuk ke lantai dingin, membuat murid-murid yang sedang berolahraga di gedung olahraga ini terkejut. Mereka berhamburan mendekati Uno.
“Setogawa? Ada apa?” guru pembimbing kelas lain mendekati Uno. Bukannya menjawab, justru Uno semakin berteriak dan menunjuk belakang guru tersebut, membuat beberapa murid kesal dan akhirnya meninggalkannya. Tak lupa Uno dipanggil 'Orang Gila'.
Terpaksa guru itu meminta anak didiknya untuk berolahraga sendiri karena dirinya harus membawa Uno ke UKS. Di belakang mereka ada satu murid yang mengikutinya. “Ah, kamu. Bisa antarkan Setogawa ke UKS? Tolong ya.”
Setelah itu, guru tersebut meninggalkan Uno bersama murid laki-laki berkacamata bulat dengan kaca sedikit kotor akibat debu-debu lorong gedung sekolahan. Terlihat di seragam lelaki tersebut ada nama Tsukidate. Uno menoleh ke belakang, mendapati murid tersebut yang tersenyum tipis padanya.
Tanpa berbasa-basi, Tsukidate berjalan lebih dulu ke ruang UKS, meninggalkan Uno yang sibuk dengan dunia gilanya.
“Eh?! Tsukidate! Tu—tunggu! Jangan tinggalkan aku!”
*** *** ***
Di dalam UKS yang hanya ada kedua murid kelas 2-1, Uno duduk dipinggir kasur putih tipis dengan selimut yang agak kusut, tak lupa bantal warna biru gradasi putih bak langit di hias awan-awan putih bergabung membentuk berbagai hal semisal bayi, gajah, atau lainnya.
Tsukidate menduduki kursi putar warna krim tak jauh dari tempat Uno berada. Ia menghadap ke arah jendela yang saat itu memang mejanya berada di dekat jendela persegi yang cukup lebar, mungkin lebarnya sekitar 1 setengah meter. Pandangannya lurus ke depan, menatap ke jendela.
“Kau.. bisa melihat makhluk halus, ya?” tanya Tsukidate tiba-tiba, dan apa yang didapatnya? Hanya tatapan bingung, takut, dan kaget. Uno sama sekali tidak tahu tentang hal itu. Dia kira, tak ada yang namanya hantu atau apapun itu.
“Maksudmu hantu? Mana ada," ketus Uno kesal, mencoba menyembunyikan rasa takutnya yang perlahan mengerayahi pikiran. Benda-benda melayang, wajah menyeramkan, darah berceceran, kepala putus, dan sebagainya terlintas di depannya saat Uno memejamkan matanya untuk tidak melihat Tsukidate. Seketika itu juga Uno membuka matanya dan tak berani memejamkannya untuk beberapa saat.
“Lihat, banyak hantu di ruangan ini,” ucap Tsukidate seraya mengedarkan pandangannya ke seluruh pojok ruangan, begitupun dengan Uno yang belum mengerti dengan kemampuannya. Merinding, Uno merasakannya saat melihat makhluk-makhluk menjijikkan di sekitarnya. Tak jarang ada yang menatapnya penuh nafsu untuk mengganggu.
Uno bergidik ngeri dan meluruskan tatapannya ke Tsukidate, murid laki-laki yang baru diajaknya berbicara. Selama ini Uno bahkan tidak menyadari jika ada murid seperti itu. Wajah yang cool, tampan menawan, berkacamata tipis kotak, dan tentunya nada dinginnya yang menarik perhatian Uno.
Cukup lama dia memandangi paras rupawan murid di depannya. Dan itu membuat sang empu wajah membuang muka, membuat Uno terkejut dan akhirnya hanya bisa menunduk karena malu ketahuan menatapnya.
Tak berbicara apa-apa, Tsukidate beranjak dari kursi berbentuk bulat dan berjalan mendekati Uno. Perlahan kepala Uno terangkat, melihat apa yang akan dilakukan murid tersebut padanya nanti. Dengan datarnya, Tsukidate mengucapkan kalimat yang mengakibatkan Uno harus memasang wajah merah padamnya.
“Setogawa, maukah kau menjadi kekasihku?”
Bagaikan tersengat serangga, Uno menjerit. Namun sigapnya Tsukidate membekap mulut berisiknya. Awalnya Uno memberontak. Tsukidate terus menyuruhnya untuk diam dan tidak bergerak. Sayangnya si Setogawa yang paling cerewet dan susah diatur, membuat kesabaran Tsukidate menipis.
Tsukidate memberikan tatapan tajam, lebih tajam dari ujung katana yang baru diasah atau ujung pisau baru yang siap menyayat daging sapi yang sering ditemukan di pasar. Niat Uno untuk semakin memberontak dan memarahinya nanti pun menjadi ciut bagaikan bayi semut.
Merasa lawannya sudah diam dan tenang, Tsukidate melepas bekapan tanganya dari Uno dan berdiri sedikit menjauh. Ia tersenyum manis sembari menatap kedua mata biru laut milik gadis tersebut. Kacamatanya terlepas setelah tangan kirinya menariknya dari sela-sela daun telinga.
“Aku Tsukidate Akira, siap menjaga Setogawa Uno dari bahaya apapun, sebagai kekasih,” ucap Tsukidate memperkenalkan diri.
Murid lelaki bernama Akira tersebut memberikan hormat pada Uno, yaitu membungkukkan badan 90 derajat, dan beberapa detik kemudian dia kembali tegap untuk menatap Uno yang sedari tadi hanya cengo menyaksikan pernyataan sebagai kekasih pada kedua kalinya.
Setelah sadar dari kebingungan yang membuat otaknya tak beres, Uno menatap tajam Akira. Kedua tangannya mengepal kuat. Ia beranjak dari pinggir kasur dan mendekati Akira. Berdiri di depan murid berjas cokelat kehitaman yang baru saja di pakainya setelah masuk ke dalam ruang UKS dengan tinggi sekitar 182 sentimeter—Dan Uno harus mendongakkan kepalanya—dengan sangat kesal.
“Jangan paksa aku menjadi kekasihmu! Aku bahkan tidak mengenalmu! Dari mana asalmu selama ini?! Murid-murid tidak pernah melihatmu sebelumnya!” marah Uno menghentak-hentakkan kakinya di lantai marmer putih, mengakibatkan mulusnya lantai tersebut penuh dengan cap sepatu Uno.
Akira diam sebentar sampai Uno tenang. “Bukan masalah untukku jika yang lain tidak bisa melihatku, yang terpenting kau bisa mengetahui di mana aku berada. Itu sudah cukup bagiku,” kata-kata Akira membuat Uno terpaku. Ketajaman matanya perlahan menumpul, dia merenggangkan tangannya. Pandangannya turun ke bawah, tak berani menatap lawan jenisnya lagi.
“Kenapa.. Kenapa kamu bersikeras? Kenapa kamu sangat ingin menjadi kekasihku? Bahkan kamu tidak mengenalku,” tanya Uno lirih. Membalikkan badannya, memunggungi Akira. Telapak tangannya menutupi kedua wajahnya yang memerah.
“Karena aku mencintai Setogawa Uno. Diam-diam aku memperhatikanmu. Cara makanmu yang seperti anak kecil, bicaramu yang tak jelas dan kadang menjadi bahan ejekan, matamu yang mulai melihat hal-hal ghaib. Aku tahu itu, karena aku benar-benar mengerti dan mengenalmu.”
Uno diam, dan diam. Tubuhnya yang menegang perlahan lemas. Ia pun terjatuh. Namun untunglah Akira menahannya dan membawanya ke kursi yang tadi dipakainya. Kali ini Uno tak bisa menyangkal semuanya. Tidak bisa memarahi murid di depannya. Cara Akira menjelaskan benar-benar gila. Bisa mengunci mulut Uno.
Akira mengelus kepala Uno dengan sangat lembut. Gadis pemilik surai pendek cokelat tersebut hanya diam, merasakan kasih sayang yang mengalir dari tangan kiri Tsukidate Akira yang sepertinya sangat mencintainya dan ingin serius. Apa Uno pantas memilih Akira?
“Hei, apa aku terlihat bodoh?” Uno mengangkat pandangannya ke atas, mencoba meraih pandangan Akira yang sepertinya sejak tadi memperhatikan dirinya. Terlihat Akira memiringkan kepalanya heran dengan pertanyaan yang dilontarkan gadis Setogawa di depannya.
Pelan, Akira menggelengkan kepalanya disertai senyum khasnya, yakni senyum kalem. Itu membuat Uno klepek-klepek dan tak bisa berbuat apa-apa lagi kecuali menundukkan kepala, menyembunyikan perasaan terpesonannya. Bukan karena wajah Akira tanpa kacamata yang sangat tampan, melainkan Uno merasakan perasaan Akira yang mendalam. Ia rasa murid di depannya ingin menjalin hubungan dengannya.
Namun Uno terlalu gengsi untuk menerimanya, walau sebenarnya saat ini ada sedikit rasa suka yang tumbuh di hatinya, masih sedikit kawan-kawan. Dia belum bisa memastikan akan terus menyukai Akira atau membuang bahkan menumbangkan perasaan tersebut.
“Bodoh bagaimana? Aku rasa tidak,” jawab Akira asal. Uno tersenyum, menahan tawanya. Ia menurunkan tangan Akira yang berada di ubun-ubun kepalanya dan kembali mengangkat kepalanya.
“Aku belum selesai, Tsukidate.”
“Apa aku terlihat bodoh.. Jika menolak seseorang sepertimu? Memiliki keteguhan. Tapi aku tidak yakin bisa bersamamu atau tidak. Karena.. Kau tahu.. Aku belum mengerti yang namanya suka. Akan sulit bagimu untuk bersamaku.”
“Tidak, itu tidak sulit. Aku bisa mengajarimu bagaimana rasanya suka dan cinta. Aku tidak akan pernah bosan, Setogawa. Kalaupun aku seperti itu, kamu bisa membenciku. Percayalah, aku bukan lelaki brengsek. Karena ini pertama kalinya aku jatuh cinta,” jelas Akira memberikan kesan yang amat romantis di ruangan UKS penuh dengan makhluk astral yang seperti sedang menonton film aksi bercampur bumbu-bumbu cinta di dalamnya.
Sudah cukup, aku tak tahan lagi. Hati Uno berkecamuk. Ingin marah namun tak pantas. Ingin senang namun belum pasti akan perasaan yang akan diberikan pada Akira. Bingung? Pastinya. Selama 16 tahun ini Uno tidak pernah merasakan apa yang namanya jatuh cinta. Dan sekarang dia harus berhadapan dengan hal itu?
...* * * * *...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 33 Episodes
Comments