Episode 04

Memang tak wajar dan tak masuk akal. Seseorang yang baru saja bertemu sudah jatuh cinta begitu saja? Lagipula selama ini belum ada murid di sekolahannya yang bernama Tsukidate, walaupun sering ada yang namanya hampir sama. Semisal Date dan Tsuki dari kelas 2-6 dan 1-4.

Rasanya Uno ingin menjambak-jambak rambutnya hingga rontok dan habis, menggaruk papan tulis hingga menghasilkan bunyi berderit yang mengakibatkan gendang telinga hampir pecah atau memecahkan setiap kaca jendela di sekolahan dengan pemukul baseball. Atau yang lebih ekstrim terjun ke danau penuh buaya di kebun binatang kota.

Kegelisahannya sangat jelas dari cara melihat Uno. Akira mengerti bagiamana perasaan Uno saat ini, karena dulu dia pernah merasakannya. Di mana pertama kali dirinya mengetahui gadis tersebut, dan sedetik kemudian angin berhembus, menyibakkan rok pendek 5 sentimeter di atas lutut milik Uno. Tapi entah kenapa angin langsung berhenti sebelum rok itu benar-benar terangkat dan menampakkan ****** ***** Uno.

“Uno,” panggil Akira dengan padangan datar. Ia tidak bisa berbuat apa-apa karena yang bisa menenangkan hati Uno yang sedang kebingungan adalah Uno sendiri, si pemilik hati. Seorang Tsukidate Akira selaku orang asing—bagi Uno—hanya bisa diam, menunggu Uno untuk tenang sendiri.

Mendengar nama depannya dipanggil membuat Uno kesal. Pasalnya selama ini belum ada yang memanggil namanya selain orang terdekat. Dan menurutnya itu sangat tidak sopan.

“Setogawa! Bukan Uno! Bersikaplah sopan, wahai Tsukidate!” gertak Uno marah. Ketegangan dirinya perlahan memudar.

“Akhirnya kau tenang juga,” helai lelaki di depannya seraya mengelus-elus dadanya yang sepertinya jantungnya berdetak kencang karena kemarahan Uno yang tiba-tiba. Uno menatap Akira bingung. Ia berpikir, mungkinkah itu cara Akira untuk menenangkannya? Tapi kenapa?

Mengetahui kebingungan Uno terhadap dirinya, si Tsukidate tersebut tersenyum kalem dan menjelaskan semuanya secara gamblang. Ia tidak mau menyembuyikan appaun yang diketahuinya tentang Uno. Ia ingin orang yang disukai tahu tentang dirinya.

“Setogawa, tadi aku sudah bilang kan. Diam-diam aku memperhatikanmu. Sekitar 2 tahun yang lalu, pertama aku bertemu denganmu. Disaat itu angin kencang, membuat rokmu hampir terbuka. Untunglah angin tersebut berhenti, karena dia tidak mau membuatmu malu. Mulai saat itu aku jatuh cinta padamu. Aku mengikutimu hingga sekolah bersamamu. Begitulah aku. Kalau kau ingin tahu lebih, aku bisa memberitahumu. Asal.. kamu menerimaku.”

Lagi-lagi penjelasan Akira penuh makna namun ada selipan paksaan membuat Uno kembali kesal. Kali ini dirinya bukan hanya ingin menjambak-jambak rambutnya atau menggaruk papan tulis, namun juga ingin merusak wajah tamban Akira yang menurutnya sangat membuatnya terjebak dalam perangkap Akira. Meninggikan Uno lalu menjatuhkannya. Sakit.

“Untuk entah ke berapa kalinya kamu memaksaku lagi!” protes Uno dijawab dengan tawa Akira. Sedetik setelah Akira tertawa, Uno terpaku melihat senyum lebar dari Akira, lucu dan imut. Tanpa sadar dia pun ikut tersenyum.

“Tidak, tidak. Aku tidak akan memaksamu. Aku akan mengajarimu untuk menyukaiku. Walaupun hanya sedikit rasa suka, itu sudah membuatku senang,” Akira bersender di dinding warna biru muda. Punggungnya menempel dengan tembok tersebut. Beberapa helai rambutnya menyentuh batas bangunan itu.

Mungkin untuk saat ini Uno harus berusaha sabar dan melatih amarahnya. Jika tidak, dia akan meledak-ledak karena tak dapat menahan emosinya pada Akira.

...* * *

...

“Setogawa, hati-hati! Jangan cepat-cepat!” teriak Akira pada Uno yang berlari ke arah gerbang taman ria. Namun Uno tidak mendengarkannya dan tetap berlari, malahan lebih kencang dari yang tadi. Akira kewalahan mengikutinya.

“Ayo cepat, lambat!” ledek Uno masuk ke dalam taman ria.

Akira yang mengikutinya pun sampai di dalam dan mencari-cari di mana Uno berada. Pasalnya dia tidak menemukan sosok Uno yang disukainya. Di mana dia? Akira panik. Pikirannya ke mana-mana. Bagaimana kalau Uno diculik? Dibawa ke suatu tempat yang gelap? Mengerikan? Dan dia harus bertanggung jawab!

Disaat sibuk-sibuknya dengan pikiran konyolnya, tiba-tiba dari belakan Uno mengagetkannya, membuat Akira tersentak ke depan dan hampir jatuh. Ia menoleh ke belakang. Alisnya menurun, tersenyum lega karena Uno tidak terluka.

Dengan cepat Uno menarik tangan kecilnya ke arah wahana roller coaster. Terdengar suara teriakan ketakutan saat mereka berdua sampai di tempat pembelian karcis. “Untuk 2 orang, ya!” ucap Uno bersemangat. Membayarnya dan diberikannya lah 2 karcis untuk bermain wahana yang terkenal akan ketinggiannya.

“Uh.. Setogawa, mau naik ini?” tanya Akira ragu-ragu. Ia menggigil melihat ekspresi orang-orang yang ada di permainan itu. Terlihat menakutkan. Namun Uno tersenyum bangga karena dia berani bermain ini. Jika diingat, setiap kali Uno di sini bersama sahabat- sahabatnya, dia pasti mengajak mereka bermain roller coaster.

Menggangguk cepat, mengiyakan pertanyaan Akira tadi. Seketika wajahnya pucat.

“Se—setogawa.. Aku tidak yakin. Tapi.. Ini mengerikan. Kau tahu, kita cari wahana lain,” ajak Akira menarik tangan Uno, memintanya untuk segera pergi.

Tapi yang ditarik tidak merespon. Ia menatap 2 karcis di tangan kanannya. “Yaah, aku kan sudah beli ini. Ayolah Tsukidate, sekali saja,” rengeknya menarik-narik tangan Akira, lebih kuat dari tariakan Akira padanya.

Belum sempat menjawab, mereka berdua masuk ke jalan berbatas pagar besi warna kuning yang sudah berkarat. Berjejeran seperti mengantre sembako. Akira semakin panik dengan Uno yang langsung duduk di kursi roller coaster. Masih tak apa jika di urutan belakang, tapi Uno memilih paling depan!

Akira tidak bisa memprotesnya, karena setiap dia ingin berbicara atau mencari jalan lain untuk kabur, pasti Uno menatapnya sinis dan mengejeknya jika Akira cemen. Dia seperti ditindas di sini. Operator memperingatkan para pengunjung untuk memakai sabuk.

“Dihitung belakang, 1, 2, dan 3! GO!!”

Wahana berjalan pelan. Mereka seperti kereta api yang melewati rel—atau bisa dibilang memang kereta tanpa tutup. Kereta itu jalan naik ke puncak rel yang kira-kira 6 meter lagi. Naik. Terus naik sampai ke puncak. Beberapa dari mereka sudah bersiap-siap untuk menjaga batin mereka jika sewaktu-waktu gila karena permainan ini. Namun mungkin itu berlebihan.

Dan.. WUSSSSHHH!

Benar saja, kereta melaju bak kereta peluru yang kecepatannya melebihi batas normal. Teriakan demi teriakan memekikkan telinga. Tangan yang bergelantungan saat kereta berada di posisi terbalik. Untung lah masih ada sabuk yang menahan mereka.

Melanju lebih cepat dari sebelumnya, membuat orang-orang ingin segera turun dan mengisi kantong yang akan diberikan staff wahana roller coaster. Angin berhembus kencang, sangat kencang. Menerbangkan berbagai benda yang ringan. Semisal topi dan balon.

Balon-balon dari penjual di bawah berterbangan. Bahkan ada yang berbentuk hati atau love, karakter-karakter kartun yang terkenal, dan beragam-ragam. Teriakan menghiasi siang itu. Memang menakutkan, tapi itulah roller coaster di taman bermain ini.

Wajah Akira memerah, giginya gemretak karena ketakutan yang luar biasa. Selama ini dia tidak pernah bermain wahana ini, karena sejak kecil ditakut-takuti jika orang yang naik wahana tersebut akan terbang dan hilang entah kemana. Ada satu alasan yang membuat orang tuanya bercerita mengenai hal itu, yakni dulu Akira ingin main di sana. Dan ibunya melarang karena takut nantinya Akira mabuk, seperti dirinya semasa remaja dulu.

Sekitar sepuluh menit mereka berputar-putar, melahap angin kencang, membuat kulit bibir mengering, dan tentunya hampir menerbangkan jiwa mereka di wahana mengerikan tersebut, mereka pun sampai di tempat awal mereka berangkat. Turun dari kereta dan menerima kantung dari beberapa staff yang melempar senyum, menahan tawa mereka sendiri.

“Ah sial, kita ditertawakan,” gerutu Akira membuka kantungnya dan batuk di dalamnya. Uno tersenyum. Meremas kantung menjadi bulat tak beraturan dan membuangnya di tong sampah dekatnya. Tidak ada rasa mual di dalam perutnya, dia berani. Tentu saja, karena dialah yang mengajak Akira kemari.

Keduanya melangkahkan kakinya pergi meninggalkan tempat itu. Akira berjanji dalam hati tak akan menaiki wahana itu. Mual di perutnya tak kunjung pergi. Serasa menusuk dan meremas lambungnya. Wajahnya sangat pucat.

Pandangannya menyebar, mengamati orang-orang yang asik menikmati taman beramin kota yang terkenal akan roller coaster dan rumah hantunya. Wow, bukan hanya manusia di sini. Tentu saja, ada hantu yang ikut bermain, dengan wujud seperti manusia.

“Tsukidate, main apa lagi?” tanya Uno merenggangkan tangannya di samping badannya. Kepalanya mendangak ke langit dengan mata terpejam. Menikmati semilir angin siang yang menemaninya hari ini, hari di mana kencannya dengan Tsukidate Akira.

Akira berpikir, ia menatap sekeliling. Hingga mendapatkan tempat untuk membalaskan dendamnya pada Uno yang berhasil membuatnya takut, menjerit seperti bayi atau gadis yang dikepung preman-preman nakal, mual, dan ditertawakan banyak orang. Masalahnya di wahana jarang ada lelaki yang mabuk—walau sebenarnya mereka ingin membuang sisa-sisa sarapan di kantung, namun gengsi.

Menunjuk ke arah sebuah tempat, di mana di sanalah berdiri kokoh rumah hantu yang terkenal, seimbang dengan roller coaster, wahana yang tadi dinaikinya. Uno menoleh tempat yang dimaksud Akira. Diam, Hanya diam. Keringat dingin mengucur di pelipisnya.

Senyum Akira mengembang, lebar. Ingin dia tertawa mendapat reaksi yang diinginkan, namun ia menahannya karena takut mendapat amukan dari Uno. Dengan canggu, Uno menjawab dengan anggukan ragu, dan segera pergi mendekat ke rumah hantu.

“Ku kira Setogawa takut.”

“A—apa? Ma—mana ada aku takut!”

“Haha, iya aku percaya seorang Setogawa tak akan takut dengan yang namanya.. hantu~” ejek Akira berjalan di samping gadis itu. Terlihat tatapan bosan, kesal, marah, dan takut dari mata Uno. Sangat nampak perasaan yang bercampur-aduk itu. Kedua tangannya mengepal. Telapak tangannya dingin.

Sesampainya di depan pembelian karcis, kali ini Akira yang membelinya. Dua karcis telah dipegang. Tinggal menunggu giliran kelompok mereka yang berjumlah sepuluh orang—karena di gabung dengan pengunjung lain.

“Kelompok 6 silahkan masuk ke pintu rumah sakit,” ucap staff mempersilahkan kelompok Akira masuk. Tangannya menggandeng tangan kecil Uno dan memasuki rumah sakit itu bersama dengan 8 orang lainnya yang ternyata memang saling berpasangan.

Di dalam, terlihat hantu-hantu menyebalkan—bagi Uno—yang bergelantungan, menggodanya, dan menakut-nakuti kelompoknya. Terdengar jeritan yang cukup jauh dari tempatnya, yang dipastikan itu dari kelompok 5 yang masuk sebelum dirinya dengan pengunjung yang lainnya.

Uno menggenggam tangan Akira kasar, memintanya agar kembali ke pintu. Namun Akira menyeretnya masuk dengan senyum manisnya. Pengunjung lain memejamkan matanya disaat boneka-boneka hantu menakut-nakuti, melaksanakan tugas gila mereka yang mengerikan dan terkadang lucu.

Pos pertama telah dilewati. Sekarang mereka harus melewati area kedua yang semakin banyak hantunya. Di setiap jalan pasti ada saja gangguan yang didapat. Mulai dari hantu anak kecil yang berlarian, kokkuri-san—hantu serigala—hingga vampire dan tuyul- tuyul.

Teriakan pertama di kelompoknya berasal dari remaja sekolah menengah ke atas yang bersama dengan seorang lelaki berpostur tinggi, berkacamata, dan berjas kantoran. Sangat jelas jika remaja itu adalah simpanan om-om berhidung belang itu. Tangan remaja itu memeluk lengan om-om itu dengan erat, menjerit berulang kali saat boneka-boneka itu mendekatinya, sangat berlebihan.

“Eww,” gumam Uno dan Akira bersamaan. Tatapan Akira beralih ke Uno dan ke tangannya, bergantian. Uno menoleh ke arahnya, memberi tatapan heran.

“Apa?” tanyanya tegas dan ketus. Akira tersenyum, menyodorkan lengannya supaya bisa dijadikan tempat penenang Uno jika nantinya dia ketakutan.

“Jangan harap,” jawab Uno berjalan lebih dulu, meninggalkan Akira. Yang ditinggal tertawa kecil dan mengikutinya dari belakang. Ia berada di barisan ketiga setelah om-om dengan selingkuhannya. Menyebarkan kembali pandangannya. Ada banyak hantu asli di tempat itu karena penerangannya kurang dan banyak korban. Namun Akira tidak takut, hanya hantu, mereka tidak jahat jika kita tidak memulainya dahulu.

Belum sempat sampai di pos ketiga. Dari depan suara melengking terdengar sampai ke kelompok 8 yang berada tak jauh dari mereka. Bisikan-bisikan kebingungan sampai di telinga Akira, walau itu samar-samar. Namun ia terfokus pada suara di depan sana. Suara itu sangat dikenali Akira. Itu suara Uno!

“Setogawa!”

Berlarilah ia ke arah asal suara. Mendorong teman-temannya yang sibuk berjejeran untuk sampai di pos ketiga. Beberapa dari mereka mengomel tak jelas, namun Akira tidak perduli. Yang pasti sekarang, di pikirannya, hanya ada cara menyelamatkan Uno dalam bahaya. Dia tidak ingin orang disayanginya terluka hanya karena hantu-hantu jahil palsu ataupun asli.

Sesampainya di tempat, tepatnya di dekat pos ketiga, ia melihat tubuh Uno terkapar di dekat meja kecil. Kepalanya memerah. Gadis itu baru saja terbentur meja untuk mengambil kupon yang akan membawa mereka ke jalan keluar.

"Setogawa!”

Uno meringis. Tangannya memegangi kepala bagian kanan, mengelusnya pelan, mencoba menghilangkan rasa perih. Akira panik, ia membantu Uno untuk duduk sebelum dia sendiri mengambil 2 kupon untuk dirinya dan Uno.

“Setogawa, ada apa?” panik Akira tak berujung. Tak dapat dibendungnya.

Petugas rumah hantu menghampiri Uno dan membawanya di ruang medis yang tak jauh dari tempat itu. Terpaksa keduanya tidak melanjutkan tur aneh tapi menegangkan. Sekarang bukan waktunya untuk bersenang-senang. Akira harus tau apa yang terjadi pada Uno, sampai-sampai gadis itu membunyikan suara yang memekikkan telinga, bagaikan sound system yang error.

“Nona, ada masalah dengan fasilitas wahana kami? Apa yang perlu diperbaiki? Ada yang mengganggu Anda?” tanya pemimpin wahana rumah hantu dengan cemas. Ia tidak mau reputasi rumah hantu yang sudah dibangunnya dengan susah payah tercoreng nama baiknya hanya karena masalah teknis kecil.

Uno menggeleng dan tersenyum tipis. “Tidak. Semuanya bagus. Hanya saja hantu- hantunya tidak cocok untuk gadis biasa yang penakut. Um, di belakang sana ada anak dan bapak. Sepertinya si anak takut,” jawab Uno pelan, menahan nyeri di kepalanya yang benjol.

“Baiklah, terima kasih sudah memberitahukan kepada kami. Kami akan lebih berhati- hati dengan boneka-boneka itu. Saya permisi,” ucap pemimpin itu lalu meninggalkan Uno bersama dengan Akira.

Saat rombongan petugas itu meninggalkan ruang medis, Akira masih terdengar percakapan-percakapan pelan mereka yang mengatakan bahwa Uno gila dan tidak mengerti tentang rumah hantu. Boneka-boneka itulah yang membuat wahana ini menjadi top.

Yang dibicarakan pun mendengarnya. Hanya bisa menggeleng-gelengkan kepalanya. “Kehidupan memang seperti ini. Aku sudah bisa menerimanya,” gumam Uno tersenyum sinis. Ia memejamkan matanya. Kepalanya direbahkan di bantal warna putih yang sudah diberikan pada petugas wanita.

“Maafkan aku, Setogawa,” lirih Akira menyesal dengan ajakannya yang membuat Uno kesulitan. Namun Uno segera tertawa dan menahan Akira agar tidak semakin merasa bersalah atas apa yang dilakukannya. Semuanya.

“Sudahlah, lagipula ini salahku. Aku tidak bicara padamu kalau aku ini penakut,” senyum Uno terukir indah di bibirnya.

Ia beranjak dari kasur tipis, turun dari sana dan menarik tangan mungil Akira, mengajaknya pergi. Akira menurut dan mengikuti gadis dicintainya. Mereka pergi dari tempat aneh itu, namun tidak aneh untuk orang pecinta hal-hal mistis dan horror.

...* * * * *...

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!