Selasa.
Hari ini kelas 11 IPA 3 sedang olahraga. Seperti biasa, setelah berlari memutari lapangan sebanyak lima kali, murid perempuan lebih memilih untuk ngerumpi. Sedangkan murid laki-laki ada yang bermain futsal, ada yang bermain basket.
Sofie mengajakku ke gedung basket. Mereka duduk di pinggir lapangan, menyaksikan pertandingan basket kelas 11 IPA 3 melawan 12 IPS 1. Kebetulan jam olahraga kelas mereka bersamaan. Jadi, tiap selasa kedua tim itu selalu mengadakan pertandingan, ya, meskipun hanya untuk main-main. Perlu diketahui, 12 IPS 1 ini selalu kalah melawan tim dari kelas 11 IPA 3. Entahlah, mungkin kelas 11 IPA 3 dipenuhi pemain inti basket SMA Karuma. Tapi ada sang kapten di kelas 12 IPS 1, permainannya tidak bisa dianggap remeh.
Aku sangat suka menonton pertandingan basket, futsal, dan voli. Kelihatannya permainan-permainan itu sangat menyenangkan. Lalu aku tersadar, sedari tadi Sofie memandangi seseorang di tengah lapangan itu.
"Sofie..." panggilku sedikit lirih, namun tidak ada jawaban.
Sekali lagi aku memanggilnya, masih tidak ada jawaban. Lalu aku mengguncang tubuhnya dengan keras.
"Apa? Ini lagi seru-serunya."
"Seru? Seru nonton pertandingan, atau seru nonton si... Arka?"
Sofie spontan menoleh padaku. "Gimana kamu bisa tahu?"
Aku tertawa kecil melihat ekspresi Sofie yang ketangkap basah seperti itu.
"Kadang aku mikir, kalau kamu itu benar-benar seorang indigo. Bisa tahu segala hal yang aku nggak tahu. Makanya murid-murid lainnya jadi takut lihat kamu, bahkan takut dekat-dekat," kata Sofie.
Aku hanya tersenyum mendengar itu. Karena memang kenyataannya, murid-murid SMA Karuma takut melihat dan mendekat padanya, karena rumor yang beredar aku adalah seorang indigo. Tapi aku merasa bukan seorang indigo. Aku bahkan tidak pernah melihat sosok makhluk gaib disekitar, meskipun sebenarnya mereka benar-benar ada.
"Tania, menurutmu Arka itu gimana?"
"Hah? Gimana apanya?" tanyaku.
"Ganteng ato enggak?"
Aku tertawa kecil. "Kamu suka?"
Sofie menggaruk kepalanya yang sebenarnya mungkin tidak gatal. "Engga tau deh."
"Terus Devan gimana?"
"Masih, Devan itu pacarku, kalau Arka cadangan."
Aku sedikit terkejut. "Cadangan?"
"Kalau nanti enggak berjodoh sama Devan, aku bakal cari Arka. Karena aku yakin, jodohku pasti diantara mereka berdua. Kalau bukan Devan ya pasti Arka, kalau bukan Arka sudah pasti Devan. Hehehe."
Aku menahan tawa mendengar semua itu. Perlu diketahui bahwa sebenarnya Sofie ini adalah perempuan yang sangat teramat pemalu, dan juga sangat pendiam. Sejak aku pindah ke sekolah ini, teman pertamaku adalah Sofie. Sebenarnya aku tidak tahu apa yang sudah terjadi pada mereka. Teman-teman menuduhku bahwa diriku yang membuat Sofie menjadi seperti saat ini. Jadi nggak tahu malu, menjadi lebih pemberani. Lalu Sofie pun mengiyakan pernyataan teman-teman.
(flashback : kelas 10)
"Aku tahu auramu menyeramkan, tapi aku merasa ada aura lain yang tertular ke Sofie. Tapi aneh juga, aura lain itu justru nggak pernah kamu lakukan. Sepertinya sifatmu sekarang ini bukan sifatmu yang asli."
Kata-kata itu yang masih teringat di kepalaku. Yang mengatakan hal itu adalah ketua kelasnya saat ini di kelas 11. Dulu mereka sekelas di kelas 10. Selain Sofie, Rio adalah teman kedua yang meyakinkan ke teman-teman lainnya, bahwa aku tidak seaneh yang mereka bayangkan. Tidak ada teman-teman yang tahu selain aku, bahwa Rio adalah benar-benar seorang indigo.
...***...
Hari Jum'at ini, kelasku sering sekali ada jam kosong. Namun kali ini, Bu Ratna, guru mata pelajaran Fisika, memberikan tugas.
"Tumben banget bu Ratna ngasi tugas. Biasanya ditinggal gitu aja. Ah, susah pula ini," keluh Sofie.
Lalu Sofie beranjak dari bangkunya menuju bangku Arka.
"Arka, kamu kan jago banget Fisika, bias nggak ngajarin aku? Aku nggak paham nih," kata Sofie pada Arka yang serius mengerjakan tugas Fisika itu.
Sofie terus merengek minta diajarkan. Sepertinya Arka terganggu dengan suara Sofie, lalu... "Kenapa berisik banget sih? Kamu kan bisa minta bantuan Tania," kata Arka.
Aku tersenyum pahit mendengar kalimat Arka barusan. Lalu Sofie menjawab, "Kamu lihat kan, dia terlihat sibuk. Dia nggak akan mau ajarin aku."
Arka masih bersikukuh tidak ingin mengajari Sofie. Lalu Sofie kembali ke bangku, di sebelahku.
"Sini aku bantuin!" kataku pada Sofie sambil tersenyum.
Lalu aku menjelaskan apa yang harus dijelaskan untuk tugas ini pada Sofie. Sofie masih cemberut karena gagal mendekati 'lelaki cadangan'nya itu.
Aku merasa terus berbicara. Lalu aku menulis deretan angka-angka. Tiba-tiba tanganku bergetar hebat. Aku menulis berbagai macam tulisan, berbagai macam angka. Aku melihat angka 1357 dikepalaku. Aku terus menulis angka itu di buku Sofie. Lalu aku juga menulis kata-kata yang sama sekali tidak terpikirkan oleh siapapun, termasuk diriku sendiri. Semua yang aku lihat dalam kepalaku, aku tulis di buku tulis Sofie. Samar-samar aku mendengar ada yang meneriaki namaku. Teriakan itu makin kencang, memintaku untuk berhenti. Namun aku tidak bisa berhenti. Aku seperti tidak sadarkan diri. Aku terus mendengar suara-suara gaduh, teriakan-teriakan, bahkan aku mendengar suara decitan kendaraan, suara petir. Lalu...
"TANIA STOOOP!!!", suara itu benar-benar menghentikanku.
Lalu aku melihat sekeliling. Melihat teman-teman sekelasku yang memperhatikanku. Aku melihat Arka yang berekspresi bertanya. Sedangkan Sofie yang meneriakiku tadi, dia begitu terlihat cemas, lalu dia memelukku sambil menahan tangis.
...***...
Sore ini aku tidak langsung pulang ke asrama, aku duduk di bangku depan ruang Sekretariat. Berpikir apakah sebenarnya aku sedang tidak baik-baik saja? atau aku baik-baik saja? Bahkan diriku sendiri tidak tahu jawaban pasti akan pertanyaan itu. Terlalu sakit jika harus memikirkan kondisiku saat ini.
"Tania," panggil seseorang dari belakang.
"Bu Ariani!?"
"Kenapa belum pulang, nak?" tanya beliau.
"Tunggu Sofie rapat, Bu," jawabku.
"Kalau sudah segera pulang ya, Ibu duluan, dari tadi kurang enak badan," katanya.
Aku sedikit panik.
"Ibu sakit apa? Aku belikan obat ya? Aku belikan makanan ya? Pasti Ibu belum makan," kataku.
Bu Ariani tertawa kecil.
"Ibu cuma butuh istirahat, tadi sudah minum obat di UKS, sekarang mau segera pulang, udah ya, kamu cepat pulang," kata Bu Ariani.
Aku menganggukkan kepala tanpa berkata apa-apa.
Bu Ariani ini juga tinggal di asrama sekolah sama sepertiku. Bedanya beliau di asrama guru, aku di asrama murid pastinya.
Aku melihat beliau dari belakang, pertanyaanku hanya satu, siapa dia?
Aku bahkan tidak berani bertanya padanya, makanya aku memilih untuk tinggal sendiri di asrama dari pada bersama beliau lagi.
Setauku beliau yang menyelamatkanku. Dari apa? Itu pun aku juga tidak tahu.
...***...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Comments