Matahari bersinar cerah sekali di luar sana. Meskipun suhu di dalam kamar tidur Lidya cukup dingin karena AC yang hidup semalaman bekerja dengan sempurna, Lidya tetap bisa merasakan hawa panas sinar matahari yang masuk ke dalam kamarnya.
Lidya menggeliat di tempat tidur. Dia merasa mager sekali pagi ini. Beruntung maminya tidak rewel membangunkan dirinya pagi ini.
Jam digital aesthetic di atas nakas menunjukkan pukul 08.00 pagi. Lidya menyadari dia harus segera bersiap-siap ke kampus. Jam sepuluh ada kuliah. Tapi Lidya belum juga mampu bergerak untuk bangun.
Lidya menatap pintu kamar mandi di dalam kamarnya. Pintu itu sebenarnya dekat, tetapi terasa begitu jauh.
"Huhhh... Mager bangetttt..." Keluh Lidya.
Lidya merasa mood-nya sedang tidak baik pagi ini. Setelah acara pertunangan tadi malam, Lidya betul-betul merasa tidak bersemangat. Acara pertunangannya bersama pria berwajah kejam itu telah membuat Lidya bad mood sepanjang malam dan menganggu tidurnya.
Lidya baru bisa memejamkan mata dengan tenang menjelang pukul empat pagi. Jadi wajarlah kalau dia merasa tidak segar dan tidak bersemangat pagi ini. Dia tidak cukup tidur, ditambah lagi dengan perasaannya yang masih kacau jika mengingat acara pertunangannya yang suram.
"Huhhh... Kenapa jadi begini? Kenapa aku harus bertunangan dengan pria sombong itu?! Ini menyedihkan sekali..." Lidya meratap sedih.
Akhirnya dengan susah payah Lidya berusaha bangkit dan merapikan tempat tidurnya. Walaupun memiliki asisten rumah tangga, Lidya selalu membiasakan dirinya untuk tidak bersikap manja. Dia mengerjakan sendiri semua kegiatan yang bisa dilakukannya secara mandiri. Hal itulah yang membedakan dirinya dengan kedua adik laki-lakinya yang pemalas dan manja.
Lidya masuk ke kamar mandi dan mulai menikmati guyuran air dingin yang menyentuh kulitnya. Lidya lebih suka mandi air dingin daripada air hangat.
Setelah menyelesaikan ritual mandinya, Lidya berhias seadanya. Dia keluar kamar dengan lesu. Tidak bersemangat seperti hari-hari sebelumnya.
"Neng Lidya udah siap-siap?" Tanya Bik Ratih yang berpapasan dengan Lidya di tangga.
"Iya, bik." Sahut Lidya lesu.
"Hehehe... Calon manten kok lesu gitu atuh neng?" Ledek Bik Ratih lagi dengan logat Sundanya yang kentara.
"Ahh... Bik Ratih ini. Calon manten apaan!" Tukas Lidya kesal.
Bik Ratih terkekeh melihat ekspresi kesal Lidya.
"Sarapan pagi kesukaan neng Lidya udah bibik siapkan ya..." Ujar Bik Ratih sebelum mereka berpisah di tangga.
"Iya, bik. Terima kasih." Ucap Lidya sopan.
Lidya melihat maminya di ruang keluarga sedang bersantai manja sambil video call dengan seorang temannya. Lidya berlalu sambil melengos.
Smartphone Lidya berdering ketika Lidya sedang menikmati sarapan buatan Bik Ratih yang lezat.
"Ummmm..." Gumam Lidya.
"Halo, say... Kamu ngampus ga hari ini?" Suara Eva di seberang sana terdengar bersemangat seperti biasa.
"Iya, bentar lagi aku ke kampus." Sahut Lidya datar.
"Hahaha... Baguslah! Entar kita ketemu di tempat biasa ya!" Ujar Eva sebelum menutup telpon.
Lidya melanjutkan menyantap sarapannya. Segelas jus apel segar akhirnya mampu sedikit memperbaiki mood-nya.
Lidya berpamitan pada maminya. Walau sebenarnya Lidya masih sangat sebal dengan maminya, dia tetap berusaha bersikap sopan.
"Ehhh... Kamu mau kemana?" Tanya Nyonya Harmoko panik.
"Ke kampus dong, mami. Emangnya aku mau kemana lagi?" Jawab Lidya.
"Ohhh... Ya sudah, setelah kuliah langsung pulang ya! Jangan kelayapan. Ingat, kamu sebentar lagi jadi manten!" Pesan Nyonya Harmoko.
"Iya... Iya..." Sahut Lidya jengkel.
Lidya cepat-cepat meninggalkan ruang keluarga. Dia tidak ingin mendengar lebih banyak lagi pepatah soal pernikahan dari maminya. Itu hanya akan membuat suasana hatinya menjadi suram lagi.
Lidya mengendarai mobilnya dengan hati gusar. Namun untung saja, perasaan Lidya berangsur-angsur membaik ketika dia melihat gerbang kampusnya.
"Say, kamu keren banget tadi malam!" Seru Eva ketika melihat Lidya keluar dari mobilnya.
"Ummmm... Really?" Ucap Lidya.
"Hahaha... Iya. I swear!" Eva mengacungkan dua jarinya.
Lidya berusaha tersenyum. Ia lalu mengajak Eva ke kantin.
"Ummmm... Masih setengah jam lagi ya... Kita nongkrong dulu, gimana?" Ajak Lidya.
"Good idea!" Seru Eva.
Kedua mahasiswa itu berjalan menuju kantin kampus yang terletak di sebelah kiri gedung Pusat Bahasa.
Lidya kuliah di Fakultas Ilmu Budaya, program studi Sastra Inggris. Dia juga aktif di berbagai kegiatan ekstra kurikuler dan UMKM di fakultasnya. Oleh sebab itu, Lidya memiliki banyak teman tidak hanya di program studi yang sama, namun juga di berbagai program studi lainnya.
"Anyway, kamu kok ga pernah cerita kalau selama ini kamu lagi deket sama cowok sih?" Eva mulai menginterogasi.
Lidya menghela nafas dengan berat. Eva merasa janggal melihat sikap Lidya.
"Heyyy... What's going on?" Eva mulai merasa ada yang tidak beres.
Eva dan Lidya sudah berteman cukup lama. Sejak mereka masih bersatus maba. Mereka menjadi dekat karena berada dalam kelompok yang sama di masa-masa orientasi kampus. Mereka kemudian menjadi lebih akrab lagi setelah masuk di kelas yang sama.
Akan tetapi di semester lima ini, Lidya dan Eva mulai mengambil konsentrasi yang berbeda. Sehingga mereka sudah jarang kuliah di ruangan yang sama. Hanya kuliah pagi ini saja mereka satu ruangan karena ini adalah mata kuliah pilihan yang boleh bebas diambil oleh setiap mahasiswa program studi sastra Inggris.
"Aku ga kenal dia. Tiba-tiba aja dijodohkan..." Suara Lidya terdengar lirih.
"Ohh... I see. Siapa yg jodohin?" Tanya Eva penasaran.
"Siapa lagi? Papi dan mami..." Ujar Lidya.
"Hahaha... Hare gene masih cerita perjodohan!" Eva tergelak sendiri.
"Ya gitu deh..." Sahut Lidya pasrah.
"Tapi pinter juga tuh ortu kamu ngejodohin. Calon suami kamu cool bener yahhh!" Puji Eva.
"Cool or arrogant?" Tanya Lidya dongkol.
Eva tertawa lagi sampai nyaris tersedak dengan minumannya.
"Gapapa dong dia arrogant! Dia layak sombong dengan harta dan kemampuan yang dia punya. Sebanding sih kalau kataku." Eva memberi argumen.
Lidya hanya bisa mendengus mendengar kata-kata Eva. Sepertinya Eva cukup tahu tentang latar belakang Ario, calon suami Lidya.
Sekelompok mahasiswa tiba-tiba mendatangi Lidya dan Eva.
"Hai guys... Lagi pada nongky nih..." Sapa seorang gadis yang bertubuh gemuk.
Eva mengangguk cepat dan mempersilahkan mereka duduk.
"Cieeee... Ada calon manten! Ehemmmm..." Sindir seorang gadis lainnya.
Lidya mulai merasa risih. Dalam hati dia bertanya-tanya mengapa berita pertunangannya dengan Ario cepat sekali diketahui oleh teman-teman kampusnya. Padahal dia tidak mengundang mereka tadi malam.
"Iya kan... Mana kita juga ga diundang..." Sela seorang gadis yang berpenampilan tomboy.
"Ummmm... I'm reallly sorry, friends. Kebetulan ini hanya acara dua keluarga aja kok. Jadi memang undangannya terbatas." Lidya berusaha menjelaskan agar tidak terjadi salah paham di antara teman-temannya.
"Hemmm... Tapi para tamu undangannya pejabat kelas atas semua ya! Bener-bener sepadan, entar lagi kamu jadi Nyonya Meneer." Ujar gadis bertubuh gemuk.
"Hahaha... Ya iyalah! Ini sih bukan laki-laki kere sekelas Danish. Untung aja kamu ama Danish udah putus. Tuhan menggantikan dengan jodoh yang lebih baik." Ujar Eva.
"Ummmm... Entahlah..." Gumam Lidya.
Lidya tidak ingin membanding-bandingkan sosok Ario dengan Danish. Mereka tidak sama. Tapi sepertinya ada satu hal yang sama. Sama-sama menjengkelkan!
Hal itu sudah bisa dirasakan oleh Lidya sejak pertemuan pertama dirinya dengan Ario tadi malam. Sama sekali tidak ada kesan baik.
Tidak ada chemistry di antara keduanya!
"Lihat nih... Dimana-mana sekarang ada foto kalian berdua!" Eva berkata sambil memperlihatkan foto yang ada di layar ponselnya.
Semua teman-teman Lidya yang baru saja ngumpul sontak melihat ke ponsel Eva. Mereka terlihat antusias sekali.
"Jadi headline news dimana-mana ya! Cieeee..." Seru Eva sambil menepuk pundak Lidya.
"Ummmm..." Lidya hanya bisa menggumam.
"Eva, kita udah bisa balik ke kelas nih!" Ajak Lidya.
Eva melihat jam di ponselnya dan merasa terkejut, "Iya ya... OK guys, kami masuk dulu yahhh!"
Lidya dan Eva berjalan tergesa-gesa menuju kelas mereka di gedung A. Mereka mengambil jalan pintas di belakang gedung Pusat Bahasa agar bisa sampai lebih cepat di gedung A.
"Lidya!" Sebuah suara terdengar memanggil nama Lidya.
Lidya dan Eva refleks menghentikan langkah mereka ketika melihat sosok seorang cowok bertubuh jangkung muncul dari balik gedung Pusat Bahasa.
Danish!
"Hemmm... Ternyata ini alasannya kamu ngotot minta putus..." Ujar Danish tanpa tedeng aling-aling.
Lidya mengernyitkan alisnya. Dia dan Eva saling bertatapan.
"Maksudmu?" Tanya Lidya dengan wajah bengong.
"Hehehe... Ternyata laki-laki konglomerat itu incaranmu!" Danish berkata dengan nada sinis.
"Whattt?!" Seru Lidya geram.
Lidya tidak terima dikatakan seperti itu oleh Danish.
"But, it's OK. Congrats buat kamu dan tunanganmu itu!" Ucap Danish masih dengan nada sinis.
Lidya hanya diam dan menatap Danish dengan tajam.
"Hemmm... Danish, kebetulan kita udah mepet waktu nih! Yuk Lidya, entar keburu dosennya masuk!" Ujar Eva sambil menarik tangan Lidya.
"Thanks." Balas Lidya ke Danish, sambil berjalan cepat berusaha menyamakan langkahnya dengan langkah Eva di depannya.
***
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 51 Episodes
Comments