Pemaksaan

“Lesu amat, say… Lagi sakit?” Tanya Eva yang sejak tadi memperhatikan wajah Lidya.

Lidya melengos. Ia memperhatikan suasana kantin kampus yang mulai ramai. Ia merasa iri melihat para mahasiswa yang tertawa lepas sambil menikmati jajanan di hadapan mereka.

“Mantan kamu minta balikan?” Eva melontarkan pertanyaan random berikutnya karena melihat Lidya masih saja diam.

Belum sebulan Lidya putus dari kekasihnya, Danish. Bukan tanpa alasan Lidya dan Danish memutuskan sepakat mengakhiri hubungan mereka.

Mereka berdua sudah memiliki banyak perbedaan dalam berbagai hal. Semakin lama semakin terlihat bahwa mereka tidak mungkin lagi bersatu.

Lidya merasa bebas lepas setelah putus hubungan dengan Danish. Dia jadi benar-benar bisa menikmati masa kuliahnya dengan nyaman. Fokus belajar, bisa enjoy nongkrong dengan teman-temannya.

Lidya tidak pernah merasa sebebas itu sebelumnya ketika dia masih berstatus pacaran dengan Danish.

Danish banyak membatasi pergerakan Lidya. Hal itu kerap kali membuat Lidya merasa gerah sendiri. Lidya sudah merasa lelah terus saja mengalah. Keduanya pada akhirnya mengutamakan ego masing-masing.

Maka keputusan untuk berpisah menjadi solusi terbaik bagi hubungan mereka.

Mengingat nama Danish membuat Lidya lagi-lagi merasa kesal. Eva membuat mood Lidya makin memburuk.

Lidya akhirnya menoleh ke arah Eva, teman dekatnya selama kuliah. Lidya seolah menarik nafas dalam-dalam sebelum menjawab pertanyaan Eva.

“Ga… Aku lagi kurang fit aja.” Desis Lidya lirih.

“Hemmm… Kecapean kamu tuh.” Ujar Eva.

“Iya, mungkin juga. Tugas kuliah kita banyak banget semester ini.” Keluh Lidya yang langsung diiyakan oleh Eva.

“Aku heran ya, dosen senang banget lihat mahasiswa menderita.” Kata Eva.

“Eh… Tugas kelompok kita minggu depan gimana ya?” Lidya tiba-tiba teringat sesuatu.

“Gimana apanya?” Eva bertanya balik.

“Ya itu… Tugas presentasi…” Lidya berusaha mengingatkan Eva.

“Oh iya… Ya Tuhan… Ntar aku WA Hendra dulu deh. Moga aja dia udah ngumpulin literasinya.” Harap Eva.

“Kamu yang bertugas presentasi nanti ya?” Tanya Eva.

Lidya mengangguk. Dia mengeluarkan sebuah binder note ukuran A5 dari tote bag yang tergeletak di atas meja kantin. Dia terlihat membolak-balik beberapa halaman kertas di binder note tersebut.

Eva dan Lidya berada dalam satu kelompok. Mereka berdiskusi sejenak sebelum akhirnya memutuskan kembali ke ruang kuliah untuk mengikuti mata kuliah selanjutnya.

Jam demi jam berlalu. Lidya ingin cepat-cepat pulang ke rumah. Dia tidak bisa fokus hari ini. Semua penjelasan dosen tidak ada yang bisa masuk di kepalanya. Setelah dosen keluar ruangan, Lidya bergegas keluar menuju parkiran.

“Heiii… Buru-buru banget. Mau kemana sih?” Eva mengejar Lidya sampai ke parkiran.

“Mau pulang. Kamu mau barengan?” Tanya Lidya sambil membuka pintu mobilnya.

“Lho… Kamu amnesia apa gimana? Kita kan mau ngumpul siang ini.” Eva mengingatkan janji mereka bersama genk angkatan.

Lidya menepuk jidatnya sendiri. Dia benar-benar lupa dengan janji tersebut.

“Iya, aku lupa! Tapi aku ga bisa ikutan kali ini… Sorry, Eva.” Ucap Lidya.

“Ya udah deh kalau gitu. Ntar aku sampein ke anak-anak.” Kata Eva.

Lidya tersenyum tipis. Dia lalu berpamitan pada Eva. Mobil Lidya meninggalkan parkiran kampus dengan kecepatan sedang. Eva menatap mobil Lidya sambil geleng-geleng kepala.

“Kenapa sih tuh anak? Hemmm…” Gumam Eva. Gadis itu lalu meninggalkan parkiran mobil dan berjalan menuju parkiran motor di sisi yang berbeda.

Lidya kesal sekali mengingat dirinya dipaksa menikah bulan depan. Sial! Mengapa dirinya harus menjadi tumbal.

Dia memang sudah memprediksi sebelumnya, hal-hal yang buruk bisa saja menimpa keluarga mereka. Namun tidak pernah terbersit di fikirannya bahwa masalah akan menjadi serunyam ini.

CKIIIIITTTT!!!

Lidya menginjak pedal rem mobilnya dengan jantung berdebar. Nyaris saja! Sebuah mobil mendadak keluar dari pelataran pertokoan tanpa aba-aba. Kalau saja Lidya mengemudi dengan kecepatan tinggi, bisa dipastikan mereka akan bertubrukan.

Lidya membunyikan klakson mobilnya tiga kali, pertanda dia merasa sangat kesal. Ia memperhatikan dengan seksama mobil yang kini ada di depan mobilnya.

Sebuah mobil mewah berwarna hitam elegant. Walaupun hanya dengan sekilas penglihatan, Lidya tahu mobil tersebut pastilah bernilai puluhan milyar rupiah.

“Nah, yang begini ini memang ada dimana-mana. Beli mobil mahal sanggup, tapi beli otak yang bagus malah ga sanggup!” Lidya mendamprat dari dalam mobil.

“Nyelonong sesuka hati. Dikiranya ini jalan bapaknya buat kali!” Lidya masih saja merutuk kesal.

Mobil mewah di depannya bergerak pelan. Lidya berfikir apakah mobil itu akan berhenti karena mendengar klakson yang dia bunyikan.

Jika mobil mewah itu berhenti, Lidya tidak akan sungkan untuk mendamprat langsung manusia yang ada di dalamnya. Ternyata beberapa detik kemudian mobil mewah itu melaju cepat di depannya.

“Huhhh… Dasar bego!” Umpat Lidya kesal.

Lidya mempercepat laju mobilnya. Dia sudah tidak sabar ingin pulang ke rumah. Rumah? Tidak. Rumah bukan tempat yang tepat. Masalah justru datang dari rumah.

Lidya merutuk di dalam hati. Ia memutar balik arah, ia akan mencari tempat yang lebih cocok untuk healing.

Mobil mewah yang berada di depan mobil Lidya tadi tiba-tiba menambah laju kecepatannya. Ada dua orang laki-laki di dalam mobil mewah tersebut. Dilihat dari posisi duduknya, sepertinya yang sedang mengemudi di jok depan adalah seorang driver. Seorang pria muda dengan wajah kaku duduk di jok penumpang.

“Balik ke kantor dulu!” Pria muda tersebut memberi perintah.

“Baik, Tuan.” Sahut sang driver patuh.

Beberapa menit kemudian, mobil Rolls Royce Ghost berwarna hitam itu memasuki sebuah kawasan elite di pusat kota.

Mobil itu berhenti tepat di depan lobby masuk marketing office PT Gajahsora Properti, Tbk.

Seorang security dengan sigap membukakan pintu mobil dan sosok pria muda tadi keluar dari mobil mewahnya dengan gagah.

Setiap karyawan yang berpapasan dengan pria muda itu hanya membungkukkan badan sedikit. Namun tidak ada yang berani menyapa.

Beberapa karyawan malah terlihat pura-pura sibuk ketika melihat pria muda itu berjalan melewati mereka.

Sepanjang jalan yang dilewati pria muda itu, atmosfer udara serasa berubah. Aura yang dibawa oleh pria muda tersebut seolah membuat semua makhluk yang ada di sana menjadi tidak nyaman.

“Selamat siang, Pak Ario!” Seorang wanita berusia tiga puluhan memakai blazer pink fuschia menyapa pria muda itu.

“Hemmm… Katakan pada client tadi untuk menemuiku setengah jam lagi.” Perintah pria muda tersebut.

“Baik, pak.” Sahut wanita tersebut yang merupakan sekretaris perusahaan.

Ario Baskoro, pria muda berwajah kejam itu adalah direktur utama PT Gajahsora Properti, Tbk.

Rio adalah sosok pimpinan pekerja keras dan sangat disiplin. Perangainya yang keras dan ketegasannya membuat dia sangat ditakuti oleh para karyawan perusahaan.

Jika ada karyawan yang bekerja leyeh-leyeh atau tidak sesuai dengan peraturan yang telah ditetapkan, Rio tidak akan segan-segan untuk memberhentikan mereka dari pekerjaannya.

Oleh sebab itu, semua karyawan berusaha bekerja dengan baik. Khususnya jika di depan Rio.

Ponsel Rio berdering nyaring. Rio melirik nama yang muncul di layar ponselnya.

“Iya, ma.” Ucap Rio setelah mendengar sapaan dari seorang wanita yang menelponnya.

“Iya. Sudah. Cincin itu sudah kubeli tadi.” Ujar Rio.

“Iya. Cincin berlian sesuai pesanan mama. Ukurannya sudah disesuaikan tadi. Semua sudah beres.” Suara Rio terdengar mulai jengah.

“OK…” Ucap Rio sebelum mengakhiri pembicaraan di telpon dengan mamanya.

Rio membuka koper dan mengeluarkan sebuah paper bag yang berisi sebuah kotak cincin berwarna hitam. Ia membuka kotak cincin itu dan mengamati cincin berlian yang tersemat di dalamnya.

Cincin berlian itu berkilau indah di bawah pantulan cahaya lampu ruangan.

“Perempuan gembel itu pasti terperangah melihat cincin ini. Mungkin seumur hidupnya, dia belum pernah memakai berlian dengan kualitas sebagus ini.” Batin Rio.

Rio menutup kotak cincin itu dan menyimpannya kembali ke dalam paper bag seperti semula. Dia mendengus membayangkan dia akan melamar seorang gadis gembel minggu depan.

Seorang gadis gembel yang berasal dari sebuah keluarga yang bangkrut karena terlilit hutang.

Dia bahkan tidak merasa kepo dengan wajah gadis itu. Secantik apapun tidak akan membuat dirinya berminat.

Ario Baskoro memang tidak pernah betul-betul berminat dengan wanita.

Rio terpaksa menyetujui perjodohan ini karena mempertimbangkan kondisi kesehatan mamanya. Papanya Rio sudah mengalami stroke selama hampir dua tahun ini.

Enam bulan yang lalu mamanya didiagnosa mengalami kanker otak stadium tiga.

Mau tidak mau, Rio harus mengikuti keinginan mamanya. Dia juga tidak ingin memperparah kondisi kesehatan kedua orang tuanya.

“Mama ingin lihat kamu menikah, Rio. Mungkin ini adalah permintaan terakhir mama. Menikahlah dengan Lidya, anaknya teman mama.” Ucapan mamanya terngiang-ngiang lagi di telinga Rio.

“Lidya… Lidya Wati... Huhhh… Namanya saja kampungan begitu!” Rio mendengus.

***

Terpopuler

Comments

bunga karya

2023-05-18

2

Mona Lina

Mona Lina

Hahaha... Tengssss thorrrr

2022-08-29

2

miss N

miss N

Pengen kuliah juga, tapi apa daya umur tak sampai...😂😂...semangat terus ya ..aku kalau baca gak coment gimana gitu...😂😂

2022-08-29

2

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!