Di daerah sekitar pusat kota Densville, beberapa gedung-gedung yang tidak digunakan lagi telah dijadikan pemerintah sebagai tempat-tempat hiburan masyarakat. Salah satu gedung yang cukup besar dijadikan sebagai gedung opera yang menjadi hiburan warga kota di setiap akhir pekan. Di dalam gedung opera dengan warna dinding yang dicat warna warni, ada sebuah ruangan santai yang sempit. Dalam ruangan itu, perdebatan cukup sengit terjadi antara si artis dan sutradaranya dalam ruangan tersebut.
“Yang benar saja, Tuan Tom, kau ingin aku memerankan peran ini? Tidak, tidak, aku tak akan pernah memerankan peran ini!” Angela melempar kertas skenario yang harus diperankannya. “Tidak akan ... bagaimana bisa aku berperan sebagai pembunuh si gadis kecil? Mereka tidak bisa memintaku melakukannya.” Angela menghembuskan napasnya keras-keras. Ia memperhatikan Tom, sang sutradara opera yang malah sibuk memilih kaset-kaset film lama di rak nya. Ia tidak menjawab pernyataan Angela.
“Apa kau tak dengar? Aku menolak memerankan ini.” Angela menghentakkan kakinya, dengan gusar mengambil kertas yang ia lempar tadi dan melemparkannya ke meja di samping Tom berdiri.
Tom melihat kertas tersebut dan mengambilnya dengan santai. “Ini tak buruk, Angela sayang. Mereka menginginkan kau yang memerankan ini. Kau tahu, kan? Mereka telah memberimu sponsor banyak. Lakukan saja, jadilah profesional.” Tom mengambil salah satu film dokumenter lama yang sudah ia tonton berulang-ulang dan duduk di sebelah Angela.
“Biar bagaimanapun, kau harus memerankannya. Kau akan tahu akibatnya, kan, kalau kau menolak?” Tanya Tom, serius tapi santai. Angela memutar bola matanya dan kembali cemberut.
“Kau memintaku menjadi pembunuh gadis kecil. Kau tidak ingat dengan masa laluku?” Angela balik bertanya sambil menatap Tom dengan wajah marah. Tom tertawa meringis. Sambil mengangkat kaki ke meja ia berkata, “Yeah ... dan juga masa laluku.” Tom melirik Angela. Angela kesal dengan Tom dan mencoba berpikir jernih. Mereka memang memiliki masa lalu yang sama. Di saat penyerangan itu terjadi, Tom kehilangan orang tua sedangkan Angela kehilangan seorang adik. Angela sudah lama kehilangan orang tuanya dan ia hanya dibesarkan oleh seorang bibi yang sangat kasar padanya. Tomlah yang selalu menghiburnya saat ia sedih. Bahkan, di saat mereka berdua sama-sama kehilangan orang yang mereka cintai.
“Kenapa kita tidak menolaknya saja, Tom. Ini sudah keterlaluan. Aku tidak akan melakukannya.” Angela bersikeras. Angela mengingat masa-masa sulitnya ketika ia ditinggalkan oleh adik yang sangat ia sayangi. Lily kecil yang malang. Sekelebat bayangan Lily yang sedang berlarian di taman, tertawa ceria dengan rambut cokelat gelap sebahu yang tergerai. Sayangnya, saat sedang tertawa itulah tiba-tiba sebuah pistol berada di hadapan Lily. Angela sontak menutup matanya. Ia tidak sanggup meneruskan ingatannya.
Tom menghela napas. “Bukankah ini menarik? Mari kita lihat. Pertunjukan seperti apa yang mereka inginkan di balai kota nanti. Semua orang di Kota Densville akan berkumpul dan mendengarkan program pemerintah terbaru. Lakukan saja tugasmu. Kau akan lihat apa yang terjadi.” Tom berujar serius. Angela melirik Tom, memperbaiki posisi duduknya.
“Apa yang kau rencanakan, Tom?” Ia melihat ada kertas yang sudah ada di tangan Tom. “Kau baca saja skenarionya. Berlatihlah seperti skenario yang tadi kau buang, namun, dipertunjukan … mmm … tunjukkan wajah mereka yang sebenarnya. Kau mengerti, kan?”
Angela merebut skenario di tangan Tom. Matanya berkaca-kaca membaca sekilas halaman belakang skenario yang ditulis oleh Tom. Ia menatap Tom dengan pandangan tak percaya. Ia pun yakin dengan apa yang akan ia lakukan.
“Setuju. Aku akan melakukannya, inilah yang kuinginkan,” ucap Angela, memutar bola matanya.
“Mereka akan lihat, bahwa ketidakadilan sudah terjadi di kota Densville. Dan pemerintah pusat akan menyelamatkan kota Densville dari cengkeraman orang-orang tak bertanggung jawab,” kata Tom. Tom yang sebatang kara, bahkan tetap berpikir positif dengan pemerintahan di kota Densville. Angela mendengus tak percaya dengan ucapan Tom.
Angela sadar bahwa tidak ada yang bisa dipercaya saat ini. Kehidupan Angela yang keras membuat Angela sangat sulit memercayai orang, terutama untuk keadaan kota Densville saat ini. Ketika teror yang berada di mana-mana. Entah kenapa pemerintah terasa lamban dalam menangani hal ini. Ruangan santai sempit itu tiba-tiba sunyi karena Angela dan Tom sama-sama sibuk dengan pikiran masing-masing.
“Hai, mutiaraku!” Sapa seorang pria botak, berbadan gempal dengan tinggi tidak sampai menjangkau dahi Angela. Pria botak itu menggunakan syal, topi kuno yang entah kenapa sangat cocok dengannya. Ia datang ke ruangan Angela dan Tom. Dengan gemulai ia mulai berjalan mengelilingi Angela yang tampak cuek, sedangkan Tom tidak bergeming. Meski sudah berumur 45 tahun, Tuan Anderson selalu terlihat menawan dengan pakaiannya yang nyentrik. Dia adalah bagian wardrobe rangkap juga menjadi manajer Angela.
Angela tersenyum namun matanya tetap menatap kosong dengan tajam. Sedangkan Tom hanya melambaikan tangannya, tidak melepas pandangannya ke video dokumenter yang sekarang sedang ia setel.
“Tampaknya sang burung kecil masih menatap kesepian dalam film kuno yang tidak tampak dan tidak jelas siapa pemeran utamanya. Kau sangat menginginkan wanita yang ada di dalam film itu, ya, Tommy? Atau kau menginginkan film ini dipentaskan kembali?” tanyanya.
“Ha-ha, jangan mimpi,” gumam Angela dengan nada ketus. Ia duduk di kursi dekat meja kecil dalam ruangan santai tersebut tepat di bawah cahaya lampu. Angela tampak seperti seorang putri yang sedang merajuk karena pangeran yang diinginkan tidak kunjung datang. Seperti itulah Tuan Anderson mengartikan arti ekspresi Angela yang jarang tersenyum, selalu ketus dan mengatakan segalanya dengan apa adanya. Atau lebih tepatnya,
seenaknya. Tuan Anderson memperhatikan make up Angela yang saat ini tampak berantakan. Ia meringis dengan tatapan menghina ke Angela. Tom masih terpaku dengan film dokumenter yang ia tonton. Film sekitar 8 tahun lalu, ketika peperangan dimulai dan kekacauan terjadi di kota Densville. Banyak anak hilang dan banyak juga yang tidak selamat.
“Kurasa aku mau memerankan tokoh pria ini,” Tom dengan cuek menyambut ledekkan dari Tuan Anderson sambil menunjuk seorang saksi yang sedang diwawancara. Pria saksi tersebut sedang mengatakan bahwa Kota Densville di bawah ancaman namun tidak bisa diambil alih oleh siapa pun.
Tuan Anderson berdehem. Ia duduk di sofa di sebelah Tom dan merangkul bahu Tom.
“Kurasa pertunjukan nanti akan sangat diminati. Jangan mengecewakanku, Tom. Kita sudah bekerja keras agar panggung opera ini diizinkan pemerintah untuk bisa mengadakan pertunjukan. Kau akan menyebabkan matinya reputasiku yang sudah kubangun belasan tahun.”
“Pria ini!” Teriak Tom yang kemudian memencet tombol pause di remote, tak menghiraukan kata Tuan Anderson. Monitor memperlihatkan seorang pria tua yang terlihat berada di belakang saksi, meski kamera tidak fokus padanya, namun terlihat bahwa ia sengaja menampakkan diri. “Pria ini yang kemarin kuceritakan padamu!” katanya pada Angela. Angela yang sedang memoleskan cat kukunya di meja melirik sedikit ke layar, tampak tidak tertarik. Tom menoleh ke Tuan Anderson yang posisi duduknya jadi tegang, tanpa diduga malah wajah Tuan Anderson yang tampak pucat pasi.
“Dia? Kau mengenalnya Tom? Kurasa ... kurasa aku mengenalnya.” Tuan Anderson menelan ludah. Ia tampak tertarik. Semakin mencoba mengingat pria tersebut, badannya semakin tegang. Angela kelihatan ikut tertarik mendengar suara Tuan Anderson yang kedengarannya tidak biasa. Yang Angela tahu, memang Tuan Anderson ‘terjebak’ di kota Densville. Karena, saat kejadian 8 tahun lalu, ia hanya singgah untuk mengadakan pertunjukan bersama rombongan sirkus sandiwaranya. Ia tidak mengenal siapa pun di kota ini. Dan yang Angela ingat, pria yang diperlihatkan Tom ini adalah pria yang selama ini menghantui pikiran Tom. Tom selalu kepikiran karena pria ini tampak misterius. Tom tidak henti-hentinya membicarakan pria ini dan Tom yakin dan sangat yakin pernah melihatnya di suatu tempat namun ingatan Tom kurang jernih. Tak heran Tom senang menemukannya di film ini, pikir Angela dalam hati.
Angela memperhatikan layar monitor. Ia penasaran dan bertanya ke Tuan Anderson. “Memangnya dia siapa? Bagaimana Anda mengenalnya?” tanya Angela terdengar ingin tahu.
“Dia ... dia pria yang menuliskan simbol ….” Tuan Anderson tercekat. Matanya yang suka menatap orang dengan tatapan hina berubah seperti mata yang tersirat sedikit ketakutan.
“Simbol?” Angela dan Tom bertanya bersamaan.
“Aku tak ingat ... aku tak ingat.” Tuan Anderson menggeleng-gelengkan kepalanya. Ia tampak seperti bocah 5 tahun yang dipaksa mengaku kesalahan yang ia tidak lakukan.
Tom berdiri dan menuju buku-buku koleksinya di sebelah kaset-kaset film nya. Ia mengambil sebuah buku bersampul biru tua yang agak usang. Dengan ragu-ragu tapi penuh ingin tahu ia membuka bukunya.
“Apakah ada yang seperti ini?” Tom memperlihatkan gambar-gambar dalam buku itu.
“Hmmm ... biar kulihat.” Tuan Anderson memicingkan matanya, ia tidak memegang buku Tom, hanya memandangnya dari jarak jauh. “Kurasa ... aku tak bisa ingat.”
Tom membuka halaman-halaman berikutnya sementara Tuan Anderson menyimak dan menggeleng setiap gambar yang diperlihatkan oleh Tom tidak bisa diingat lagi. Angela ikut menunggu semakin penasaran. Ia ingin tahu apa masalah Tom yang sebenarnya dengan pria yang ada di video dan juga gambar-gambar yang ada di buku usang Tom. Tiba-tiba Angela dikagetkan dengan suara Tuan Anderson. “Ini dia!” Pekiknya. “Ya! Ini dia! Aku mengingatnya! Karena ... karena Kamelia sempat memperlihatkan gambar ini sebelumnya.”
“Apa ini, Tom?” Angela makin tidak suka dengan rasa penasarannya yang masih membuncah sedangkan pembicaraan Tuan Anderson dan Tom makin absurd baginya. Gambar apa? Tanyanya dalam hati.
Angela melirik. Ia melihat gambar seperti naga api yang melingkar dan membentuk seperti ... seperti sebuah angka.
“Kamelia yang malang. Ia menceritakan padaku, bahwa seseorang akan membawanya ke tempat yang ia idamkan. Cocok untuknya. Ia akan dipuja tanpa harus bekerja keras. Tempat di mana ia akan menjadi dirinya sendiri. Kamelia ... sekarang aku ingat, karena seorang pria mendatanginya setiap malam. Tapi ... tapi ku tak pernah bertemu ....” Tuan Anderson bersandar ke sofa, gaya perlentenya hilang seiring ketegangan bertambah dalam tubuhnya.
“Kamelia, di malam penyerangan itu, ia malah menghilang.” Tuan Anderson melanjutkan ceritanya.
“Menghilang?” Tom memperhatikan gambar tersebut sambil bertanya.
“Menghilang. Tepatnya, tidak ditemukan,” kata Tuan Anderson.
“Hubungannya dengan pria di video ini?” Angela menatap Tuan Anderson, sekarang ia ikut berdiri di belakang sofa tempat Tom dan Tuan Anderson duduk.
“Ah, ya. Pria ini tak lama datang ke tenda kami, ia menanyakan apakah ada tanda-tanda atau apa pun yang pernah kami lihat, dan ia memperlihatkan gambar yang pernah Kamelia tunjukkan.”
Tom dan Angela bertatapan dan kembali melihat Tuan Anderson.
“Dan kurasa, pria tersebut berusaha mencari siapa saja yang pernah melihatnya. Sayangnya, hanya aku yang ditunjukkan oleh Kamelia, dan Kamelia menghilang. Pria ini pun menghilang.” Tuan Anderson menarik napas, “Kamelia yang malang. Kuharap bisa bertemu lagi dengannya.” Ia menoleh ke Tom, dan matanya kembali dengan mata normalnya yang penuh hinaan ke orang-orang. “Lantas, apa hubungan pria ini denganmu, Tom?” tanyanya.
Tom terhenyak. Ia tak sanggup mengatakan, bahwa pria ini juga sempat mengajaknya bicara, meski hanya menanyakan pertanyaan-pertanyaan basa-basi seperti menanyakan alamat. Sayangnya Tom tidak begitu mengacuhkan. Namun, beberapa kali ia melihat pria ini seolah sedang menyelidiknya, pria tua tersebut juga seolah terang-terangan ingin dikenali Tom, dan ingin diketahui Tom bahwa dirinya memang sengaja menemui Tom. “Ia bahkan membeli karcis pertunjukan,” Tom menjawab, menginformasikan ke dirinya sendiri, tidak nyambung dengan pertanyaan Tuan Anderson.
“Well ... apa pun itu, Tom, jangan coba-coba berbuat macam-macam.” Ia mengambil tongkat kecilnya dan memukulkannya sekali ke pinggang Tom. “Pertunjukan sebentar lagi. Jadi anak baik, tim yang baik, dan jaga sikapmu Angela, sudah waktunya kau harus dewasa.” Ia menoleh ke Angela yang langsung membuang muka tak peduli dan kembali ke kursi duduknya.
Tuan Anderson berjalan ke luar ruangan. “Baiklah anak-anak, apa pun yang kukatakan, jangan dipikirkan. Kalian tahu kan di pertemuan balai kota nanti aku akan terlambat jadi tak ada yang mengawasi pertunjukkan kalian kali ini. Sahabatku Lorenza ingin menemuiku di hari itu sebelum ke balai kota dan ini sangat mendadak, entahlah apa yang terjadi, sudah lama aku juga tak bertemu dengannya. Jadi aku bisa saja melewatkan pertunjukkan drama kalian. Dan kau, Tom, mungkin pria ini hanyalah pria kota Densville yang kebetulan mencari seseorang dan tertarik dengan pertunjukan kita, tak perlu mencari tahu atau penasaran. Fokus, fokus, dan ... fokus,” ia memelankan suaranya, yang entah mengapa malah terdengar mengerikan. Tuan Anderson keluar dari ruangan, meninggalkan Tom dan Angela yang menatapnya keluar ruangan.
Angela mendekati Tom. “Kau yakin, mau melakukannya?” tanya Angela, ia melipat lengannya, pertanda bahwa ia setengah marah, karena suaranya malah makin tenang.
“Yah, kurasa. Kurasa untuk memancing ini semua, dan menguak rahasia ini semua, aku yakin ini semua berkaitan.” Tom membuka buku usangnya, di sana ia menggambarkan simbol, kemudian menunjuk gambar pria di video, dan kemudian gambar pemerintahan yang ada di halaman bukunya.
“Bagaimana kita mencari tahu kalau ini semua berhubungan?” tanya Angela, ia tampak ketakutan namun berpura-pura tegar.
“Mari kita lihat reaksi pemerintah, atau oknum lainnya, ketika kita pentaskan apa yang sudah menjadi misi kita,” ujar Tom sambil mematikan monitor.
“Ini terlalu beresiko. Apa kau yakin?” Angela memegang lengan Tom, Tom menatapnya.
“Yakin. Jika kau ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi pada adikmu, dan padamu saat itu, hanya ini satu-satunya cara yang bisa kita lakukan.” Tom menutup pembicaraan dengan melengos pergi.
Angela yang kebingungan hanya bisa menatap Tom yang keluar dari ruangan santai mereka, sedikit hampir berubah pikiran karena tidak yakin dengan rencana Tom dan apakah ia yakin mau melakukannya di pertunjukan nanti sesuai arahan Tom.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 26 Episodes
Comments