Mimpi Buruk Eliya

Eliya mendengarkan dengan saksama saat ibunya menyanyikan lagu lullaby kesukaannya. Ia duduk di pinggiran tempat tidurnya. Di sebelah ia duduk, kakak kembarnya ikut mengamati ibunya yang cantik sembari menggoyangkan kaki mungilnya yang saling melipat, seperti kebiasaannya selalu saat berpikir. Ibunya tersenyum melihat James, menangkap kakinya dan menurunkannya sambil tetap bersenandung. Eliya tertawa dan menutup mata sambil tersenyum. Mereka sudah cukup besar untuk dinyanyikan lagu lullaby tapi ia menyukai ini. Bahkan James pun tidak pernah protes.

Besok ulang tahun mereka yang ke-9. Ayah mereka yang seorang ilmuwan berjanji akan mengantarkan mereka berkeliling kota, hal yang selama ini Eliya idam-idamkan. Ibunya menyiapkan selimut yang membuat Eliya dan James sontak segera berbaring di tempat tidur mereka masing-masing. Eliya melirik James yang berada di sebelahnya, tempat tidur mereka hanya dipisahkan sebuah meja kecil untuk lampu tidur mereka. James terlihat berusaha tidur meski masih terlihat bahwa ia masih sadar karena Eliya masih bisa melihat James tersenyum samar.

Sepertinya, pikirannya sama dengan James. Meski mereka tidak kembar identik, tapi ikatan kembar mereka cukup kuat. Ibunya selesai menyanyikan lagu lullaby, kemudian menarik selimut untuk menyelimuti mereka bersamaan dengan suara derum mesin mobil yang terdengar depan rumah. Ayah James dan Eliya sudah pulang.

Eliya menutup rapat matanya sambil berpikir dan yakin ayahnya pulang telat malam ini mungkin karena membelikan mereka hadiah. Tetapi, ia merasa suara mesin mobil terlalu berat untuk mobil mereka. Eliya samar-samar mulai tertidur. Baru saja Eliya akan terlelap, terdengar suara pintu yang dibanting dengan sangat keras. Ia dengan samar melihat ibunya keluar kamar dengan cepat. Tak lama dari itu, Eliya samar-samar mendengar teriakan-teriakan, tidak hanya dari rumahnya, namun dari tetangga-tetangga di sebelah rumahnya.

Eliya terbangun. Begitu pula James yang bergerak cepat di sampingnya. Mereka segera turun dari tempat tidur saat mendengar suara teriakan ibunya. Tidak hanya itu, suara ayahnya juga terdengar samar-samar yang sedang berteriak. Eliya dan James mengintip dari pintu kamar mereka. James dengan cepat menghalangi pandangan Eliya. Terdengar suara senapan, teriakan ayahnya dan senapan terdengar lagi. Senyap.

Eliya sempat terdiam beberapa detik sebelum menyadari bahwa ia tidak mendengar suara teriakan ayah dan ibunya lagi. Bersahut-sahutan, begitu banyak suara senapan yang ia dengar dari segala sisi di tetangga mereka. Eliya yang penasaran berusaha menarik baju James untuk melihat langsung apa yang terjadi. Ia terhenyak melihat ayah dan ibunya sudah terkapar di lantai di ruang keluarga depan kamar mereka, dengan darah di mana-mana dan berceceran di karpet biru muda. Ia melihat mata ibunya yang masih membelalak ngeri. Seolah paham ibunya meminta James dan Eliya untuk lari, tanpa sempat berteriak, James menarik lengan Eliya dan membawanya lari dari kamar mereka. James sudah pernah dilatih ayahnya jika dalam keadaan darurat atau sesuatu terjadi pada mereka, “Pergilah ke ruang bawah tanah yang ada di kamar kalian,” Ayah James berkata saat ia melatih James. James menuju ke balik pintu lemari mereka yang memang terdapat jalan menuju bawah tanah.

James menarik lengan Eliya dengan cepat. Eliya menangis tersedu-sedu dan dengan cepat mereka bersembunyi di dalam lemari. Dalam lemari masih penuh dengan baju-baju Eliya dan James, dalam ukuran sempit lemari yang gelap, James meraba-raba mencari-cari kunci untuk membuka pintu bawah tanah, James memimpin dengan mencoba membuka pintu bawah tanah tanpa kunci, tetapi tetap tidak bisa dibuka. James teringat sesuatu, dengan aba-aba tangannya meminta Eliya untuk bersabar dan menunggunya untuk mengambilkan kunci di kamar ayah dan ibunya. Namun, Eliya menunggu dan menunggu di dalam lemari hingga pagi tiba, James tidak pernah kembali membawa kunci mereka untuk berlari menuju ruang bawah tanah.

Eliya dengan samar akhirnya melihat James kecil. “James ... James ... kau dari mana?” Eliya memanggil James, namun yang ia dengar hanyalah bunyi alarm yang sangat keras. Eliya terbangun. Kejadian 8 tahun lalu masih menghantuinya hingga sekarang. Berkeringat dingin, Eliya berusaha membersihkan keringatnya yang bercucuran dengan tisu yang ada di sampingnya. Nona Fugan datang membawa sprei baru dan melihat Eliya dengan pandangan cemas.

“Kau mimpi buruk lagi?” tanya Nona Fugan sambil menyibakkan sprei baru di sebelah tempat tidur Eliya. Eliya tersenyum kecut, tidak menjawab hanya mengangguk dan memperhatikan Nona Fugan membereskan tempat tidur di sebelahnya.

“Apa ada anak baru lagi?” tanya Eliya sambil bangkit dari tempat tidurnya dan mulai membereskan tempat tidur yang berantakan.

“Ya, kali ini korban dari pemboman market, kau sudah melihatnya di koran, kan?” Nona Fugan tersenyum, Eliya balas tersenyum. Ia tahu Nona Fugan tidak ingin membicarakan lebih lanjut. Ia cukup tahu bahwa tiap ada anak korban dari pemboman, dari penyerangan orang-orang tak dikenal, selalu sekamar dengannya, di panti asuhan ini, yang diasuh oleh Nyonya Gerry. Dan setiap anak baru, selalu sekamar dengan Eliya, dengan harapan Eliya yang akan menguatkan hati mereka. Karena, Eliya terbukti masih tetap bisa bersekolah meskipun sudah mengalami masa kelam.

“Mandilah dan turun ke bawah untuk sarapan. Dan kau masih punya waktu untuk menyapa adik-adikmu dulu sebelum ke perpustakaan.” Nona Fugan menutup pintu kamar Eliya.

Eliya duduk di kursi belajarnya dan berpikir. Ia sangat yakin James masih hidup, tapi entah bagaimana caranya dia harus bertemu dengan James. Ia berusaha mencari James di kota Densville tetapi sejak kejadian itu tak ada satu pun yang mengetahui keberadaan James.

Ada yang mengatakan bahwa James ikut dibasmi oleh para penyerang bertopeng hitam tersebut, yang menyerang kawasan militer tempatnya tinggal bersama ayah dan ibunya. Di saat kelam itu, banyak juga yang kehilangan orang tuanya. Sejak saat itu pun, kota militer dan area pemerintahan diperbantukan dari pusat. Eliya yang ditemukan oleh tim penyelamat kemudian dibawa ke panti asuhan. Ia tak hentinya meronta dan menginginkan James kembali bersamanya. Namun, usahanya sia-sia.

Ia yakin tak ada yang bisa membantunya. Kota Densville terlihat sudah mulai kacau tetapi beberapa warga sekitar sepertinya tidak ambil pusing dengan itu semua. Bahkan sekolah-sekolah menengah seperti sekolah Eliya diliburkan oleh pemerintah sampai pertemuan di balai kota selesai. Hal tersebut membuat Eliya bertanya-tanya, mengapa warga di sini tidak berani untuk bersuara. Ia merasa ada yang tidak beres.

Eliya turun dan sarapan sebentar. Eliya melihat di ruang makan ada seorang gadis cantik dengan wajah murung sedang duduk di salah satu kursi di meja makan. Eliya menarik kursinya, melirik sedikit ke gadis tersebut. Nona Fugan mempersiapkan piring dan menaruhnya di meja makan. Ia memperkenalkan Eliya dengan Keyla, gadis yang akan sekamar dengannya. Eliya dengan sopan menyapa dan tersenyum. Sayangnya, Keyla hanya diam saja bahkan tidak memandang Eliya sama sekali. Eliya mengangkat alisnya, berusaha maklum dengan sikap Keyla yang seperti itu.

Anak-anak asuh Nyonya Gerry mulai berdatangan. Suara riuh perlahan memenuhi ruangan makan yang besarnya tak seberapa itu. Beberapa di antaranya ada yang berebutan roti. Mereka bertingkah sangat lucu hingga membuat Eliya menahan tawanya sambil memperhatikan mereka. Ia merasa tidak enak tertawa di saat Keyla di sebelahnya terlihat sedang terpukul. Ada sekitar 15 anak dari anak asuh Nyonya Gerry. Tanpa bantuan pemerintah, Nyonya Gerry membantu anak-anak ini agar mereka mendapat perlindungan yang layak. Menurut Eliya, Nyonya Gerry juga termasuk salah satu yang tidak mempercayai pemerintahan saat ini.

Keyla masih sama sekali tidak tersenyum. Tetapi Eliya bisa mengerti perasaannya. Ia melirik sedikit ke Keyla. Keyla gadis yang cantik dan terlihat seumuran dengan Eliya. Namun, kecantikannya tertutupi oleh rasa pedih yang saat ini disimpannya. Eliya berusaha mencairkan suasana hati Keyla. Ia mengambilkan roti untuknya.

“Ini ... makanlah … kau harus makan sebelum melakukan hal-hal hebat hari ini.” Eliya mengambilkan roti dan susu, menaruhnya di hadapan Keyla. Namun, Keyla bahkan tidak menatap roti maupun Eliya. Ia hanya menatap kosong seolah Eliya tak ada di sana. Keyla sepertinya memikirkan orang tuanya karena ia mulai terisak. Belum sempat Eliya berbicara sesuatu untuk menenangkan, Nona Fugan melihat Keyla dan memberi kode ke Eliya agar tidak berbicara dulu. Eliya mengerti. Eliya baru saja menggigit roti saat Nyonya Gerry datang. Nyonya Gya pun meminta agar anak-anak menghabiskan roti dan susunya. Tanpa bersikap menghakimi, Nyonya Gerry datang dengan diam dan mengambil roti dan susu untuk dirinya sendiri. Keyla yang terisak terdengar semakin keras sehingga anak-anak lain mulai memperhatikan Keyla. Eliya berusaha memberi kode kepada anak-anak seolah-olah tidak ada yang terjadi. Anak-anak asuh Nyonya Gerry, yang sudah terbiasa dengan pemandangan seperti itu khususnya anak-anak baru, mulai sibuk dengan makanan mereka masing-masing. Nyonya Gerry tiba-tiba berbicara pada Cherryl, gadis paling kecil yang melahap rotinya dengan nikmat.

“Apa kau menyukai rotimu hari ini, Cherryl?” tanya Nyonya Gerry sambil tersenyum ke Cherryl. Cherryl yang sedang memakan roti dengan selai cokelat kacang kesukaannya menatap Nyonya Gerry.

“Tentu saja Nyonya Gerry. Roti ini sangat enak sekali!” kata Cherryl kecil sambil menatap Nyonya Gerry. Ia kembali menambahkan selai cokelat kacang di atas rotinya.

“Coba katakan. Bisakah kau jelaskan kepada kami semua mengapa roti ini enak sekali bagimu?” Nyonya Gerry ikut mengambil selai cokelat kacang, “kau membuatku ingin mencobanya, bukankah ini yang sudah setiap hari kita makan bersama?” Nyonya Gerry mengedipkan matanya ke Cherryl.

Cherryl terdiam dan sejenak berpikir. Ia sangat menggemaskan. Ada noda cokelat kacang di pinggiran bibirnya dan membelalak tak percaya dengan apa yang baru saja dikatakan Nyonya Gerry.

“Yang benar saja, Nyonya Gerry. Tentu saja ini cokelat kacang yang sama dengan kemarin. Aku banyak belajar, bahwa cokelat kacang ini akan terasa lebih senang jika kau memakannya dengan penuh rasa syukur dan melupakan masalah-masalahmu. Cokelat kacang yang ada di roti ini membuatku ketagihan dan memakannya bersama kalian adalah rasa bahagia yang luar biasa.” Eliya menatap Cherryl dengan gemas, tak menyangka jawaban polos Cherryl benar-benar bisa membangkitkan suasana hatinya.

Nyonya Gerry tampak puas dengan jawaban Cherryl. Eliya ikut tersenyum memandang Cherryl. Sungguh, anak ini luar biasa. Kedua orang tuanya pun hilang entah ke mana. Namun, ia masih bisa tersenyum dan menikmati selai roti cokelat kacang ini.

“Cepatlah, kalian akan terlambat ke sekolah. Ini sekolah terakhir kalian sebelum pertemuan balai kota. Eliya, kau akan ke perpustakaan pusat kan? Aku ingin kau meminjamkan buku yang kemarin kuminta padamu. Aku pikir aku butuh beberapa bahan yang bisa kubawakan di pidato di balai kota nanti.” Nyonya Gerry menatap Eliya, Eliya mengangguk. “Dengan senang hati, Nyonya Gerry,” jawabnya singkat. Nyonya Gerry melanjutkan sarapannya, sedangkan sebagian anak-anak juga sudah menyelesaikan sarapan mereka. Satu per satu mulai meninggalkan meja makan.

Eliya sempat terhenyak sebentar teringat dengan kejadian di toko buku waktu itu. Ia sempat bertemu dengan seorang pria tua yang menatapnya begitu lama. Namun, bukan karena tertarik kepada Eliya. Pria lebih dari setengah baya tersebut sepertinya menatap Eliya dengan ketertarikan akan hal lain. Eliya yakin kakek itu ingin membicarakan suatu hal.

Tetapi Eliya yang sudah sangat terburu-buru segera meninggalkan perpustakaan. Dan ada hal lain yang juga mengganggu Eliya. Pertemuan warga di balai kota itu, yang sudah beberapa minggu ini selalu dibicarakan warga. Tak ada pertemuan sejak 8 tahun lalu. Eliya menebak apa yang pemerintah inginkan untuk kota Densville kali ini. Namun, pembicaraan mengenai pertemuan di balai kota ini sudah menjadi bahan pembicaraan orang-orang di kota Densville. “Kau tidak terlambat, Eliya?” Suara Nona Fugan yang bertanya pada Eliya sambil membereskan meja membuyarkan lamunan.

“Ah ... kurasa.” Eliya tersenyum dan pamit. Sebelum pamit, ia merogoh saku celana jeans-nya dan memberikan sesuatu ke tangan Keyla. “Makanlah ini, ini permen cokelat kesukaanku dan terbaik dikota ini. Percayalah, kau pasti akan menyukainya juga.” Kali ini Keyla menatap wajah Eliya, Eliya tersenyum meski Keyla tak tersenyum. Eliya pamit dan berharap akan bertemu dengan kakek itu lagi saat ia melewati toko buku.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!