Filosofi Sepatu

Riki mencari keberadaan Caca, dirinya sedikit kelelahan karena Caca sudah menghilang entah ke mana tujuan wanita yang masih menggunakan seragam sekolah itu.

"Gak enak ternyata kalau seseorang menyukai kita hanya karena kasihan, hahaha. Berharap lagi berharap lagi. Kenapa, sih? Jadi dewasa itu semenyakitkan ini?"

"Kalau diakhiri, boleh kali, ya? Biar semuanya selesai dengan cepat," sambung wanita yang duduk di pinggiran danau. Dirinya melihat hamparan sungai yang tenang, suasana yang sunyi dan angin yang sesekali menggoyangkan hijabnya.

"Caca?"

Caca yang merasa namanya dipanggil langsung mendongak dan melihat ke sumber suara itu, wajah yang sudah tersenyum bahagia.

"Eh, Amel? Kamu ngapain di sini?" tanya Caca dengan posisi tetap duduk.

"Enggak, aku tadi sengaja lewat-lewat sini. Pengen me time," ucap Amel Anatasya. Teman Caca di lingkungan, mereka berbeda sekolah dan memang Amel jarang sekali keluar rumah pun Caca begitu juga.

"Yuk, sini duduk!" seru Caca sambil menepuk-nepuk bangku yang terbuat dari besi tersebut. Amel langsung mengangguk dan duduk di samping Caca, dirinya menyelipkan rambutnya di telinganya agar lebih rapi.

"Kamu udah lama di sini?" tanya Amel melihat ke wajah Caca yang fokus melihat air danau.

"Enggak, baru aja kok."

"Kok kamu belum ganti baju? Belum pulang ke rumah?"

Amel hanya mendapatkan beberapa gelengan sebagai jawaban dari pertanyaannya, "Kenapa?"

"Gak papa, lagi pengen sendiri aja dulu. Kayak yang kamu bilang," ucap Caca menatap wajah Amel, "me time," sambungnya tersenyum.

"Iya, sih. Me time mah me time, tapi ganti baju juga kali."

"Gak papa, kalo udah ganti baju me timenya bukan di luar rumah. Tapi, di kamar," tawa Caca agar suasana tidak terlalu menyedihkan.

"Kamu tumben banget sendiri? Biasanya sama pacar kamu, mana dia?" tanya Caca.

"Aku putus sama dia."

"Kenapa?"

"Entahlah, dia selalu ingin menang sendiri."

"Egois? Hahaha, banyak orang dewasa yang ingin menjalani hubungan. Berpikir bahwa di umurnya sekarang pasti sudah tak ada lagi egois, namun dengan mereka merasa bahwa tidak akan ada lagi egois itu saja sudah salah."

"Ya, begitulah. Dia mau kalau ada masalah hari ini, besok sudah harus gak ada."

"Bagus, dong."

"Iya, bagus. Tapi, niat dia buat menjelaskan masalah itu gak ada. Aku lebih suka kalau kita berantem habis-habisan hari itu tapi masalahnya selesai, daripada harus diam-diaman dan besoknya sudah sok baikan padahal bisa jadi di antaranya masih kesel atau belum bisa memaafkan masalah kemarin," ujar Amel yang membuat Caca terdiam. Dirinya langsung menatap air kembali, bagaimana pun yang dikatakan Amel sangat benar. Lebih baik berantem habis-habisan kemudian saling baikan, daripada harus diam-diaman dan besoknya seolah tak ada masalah.

"Ternyata benar, ya, filosofi tentang sepatu itu," ujar Caca tersenyum, "Kalau dia menyakitimu berarti dia bukan ukuranmu." Amel menatap, Caca. Dirinya sedikit tak paham dengan apa yang diucapkan wanita di sampingnya ini.

"Jika seseorang menyakiti dirimu, maka lepaskan dia dan cari yang benar-benar bisa membahagiakanmu. Karena, kalo dia menyakiti artinya dia bukan yang terbaik," sambung Caca menatap Amel.

Amel hanya tersenyum dan menghela nafas panjang, dirinya pun tak tau sekarang apa yang harus dilakukannya.

"Oh, iya. Aku pulang duluan, ya. Kamu hati-hati di sini," ujar Caca sambil memakai tas ranselnya kembali.

"Kenapa hati-hati?" tanya Amel menaikkan satu alisnya.

"Soalnya banyak buaya."

"Ha?" Amel langsung melihat danau yang ada di depannya itu.

"Buaya darat. Hahahaha" goda Caca di dekat telinga Amel dan langsung berlari karena merasa berhasil menakuti tetangganya itu.

Caca berjalan ke arah jalan raya, dirinya memeriksa saku baju dan roknya, "Dih, uang dua ribunya udah habis pulak. Mana laper lagi, apa perlu aku ngamen dulu, ya? Hahaha," ujar Caca bertanya dan menjawab ucapannya sendiri.

Di tengah perjalanan pulang dengan sesekali bernyanyi, "Sayo nara-sayo nara." Ada seseorang yang membunyikan klaksonnya dan membuat Caca langsung menepi dan melihat ke belakang.

Dirinya berjalan lebih cepat dari tadi, setelah melihat orang yang dilihatnya tadi. Memegang kedua tali tas dan sedikit berlari, dengan kepala menunduk melihat jalan.

Motor tersebut langsung berhenti tepat di depan Caca, hampir saja Caca akan tertabrak jika kepalanya tak di pegang terlebih dulu oleh pemilik sepeda motor tersebut.

"Ih, apa sih Om!" ucap Caca sambil melepaskan tangan Riki dari kepalanya.

"Naik!"

"Gak!" tolak Caca sambil menyilangkan tangannya.

"Naik, atau saya yang naikkan kamu ke jok belakang ini?"

"Dih, dasar! Taunya cuma ngancem doang!"

"Naik, Sayang."

"Iya-iya!"

Caca menghentak kakinya ketika berjalan ke arah motor Riki, namun bukannya marah laki-laki tersebut hanya tertawa melihat kelakukan perempuan tersebut.

"Nih, makan!" ucap Riki memberikan sebungkus roti.

"Gak."

"Makan! Kamu belum makan tadi."

"Makan atau ...," ucap Riki menggantung karena melihat Caca yang tak kunjung mengambil sebungkus roti darinya itu. Secepat kilat Caca langsung mengambil, dirinya tak ingin mendengar ancaman yang aneh-aneh keluar dari mulut Riki.

"Kita jalan, ya?"

"Serah!" jawab Caca sambil mengunyah rotinya. Riki hanya tertawa dan melajukan motor miliknya itu.

'Kirain pulang duluan, ternyata masih nyariin toh!' batin Caca sambil senyum dan mengunyah rotinya.

"Gak mungkin saya pulang duluan, bisa-bisa saya di amuk sama Bunda saya, Cil!" Riki berucap tiba-tiba yang membuat Caca langsung mendatarkan wajahnya.

.

'Dih, sejak kapan dia punya ilmu hitam?'

"Gak nanya," jawab Caca singkat.

Beberapa menit kemudian, hanya terdengar suara motor-motor milik pengendara. Mereka semua hanyut dalam pikiran masing-masing, sedangkan Caca hanya melihat bangunan yang hampir tiap hari dirinya lalui.

"Maaf, ya. Masih belum bisa jadi laki-laki yang baik untuk Caca."

"Caca udah biasa akan hal itu, santai aja Om." Caca tersenyum ke dan dilihat Riki dari kaca spion.

"Lagian, Caca selalu berpikir. Kalau cinta pertama Caca aja bisa menyakiti, apalagi orang lain? Pasti bisa lebih menyakiti," sambung Caca membuang nafasnya perlahan.

"Maaf. Maaf karena membuat kamu trauma untuk kenal orang baru atau membuka hati lagi."

"Ternyata, orang yang pernah menangis di depan kita dan untuk kita itu gak ada bedanya sama yang gak nangis, ya, Om? Sama-sama pencipta luka terhebat," ujar Caca yang membuat Riki langsung terdiam.

Memang, Caca selalu bercerita tentang segalanya kepada Riki termasuk tentang keluarganya. Walaupun mereka tetangga, tapi bukan berarti masalah-masalah yang terjadi di keluarga Caca bisa dengan mudah diketahui oleh tetangga. Pun, Caca juga sangat menutup diri dari orang-orang tentang keluarganya. Jadi, tak heran jika orang lain tak mengetahui apa yang terjadi pada keluarganya.

Dan Riki, adalah orang pertama yang dengan mudahnya dapat mengetahui tentang kehidupan Caca. Namun, ternyata itu sama aja. Manusia yang mengetahui tentang kita bisa jadi pencipta luka yang lebih dalam dari yang kita bayangkan sebelumnya.

Terpopuler

Comments

tris tanto

tris tanto

pinggiran danau kok jd hmparan sungai,,deketan kali ya

2023-06-22

0

tris tanto

tris tanto

dirinya*dia lbh enak thor untuk kt gnti nm

2023-06-22

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!