Milik Tuan Kulkas
"Om, Kulkas! Caca gak mau pulang bareng, Om!"
"Bocil! Mak lu nyuruh gue jemput di sini."
"Om Kulkas bohong!"
"Naik!"
"Gak!"
"Naik atau aku gendong untuk naik ke bangku belakang?" tanyanya dengan senyum menggoda. Melihat hal itu, Chantika Azizah langsung segera naik ke jok belakang milik Riki Arya Pratama seorang pengusaha yang belum besar namun sudah memiliki beberapa cabang di Indonesia. Laki-laki yang memiliki rambut gondrong, tinggi 172cm berat badan 58kg dan hidung mancung serta kulit yang lumayan putih itu merasa menang karena telah membuat wanita yang masih duduk di bangku kelas 12 SMA itu akhirnya luluh.
"Gimana sekolahnya tadi?" tanya Riki mencoba membuka suara agar perjalanan yang macet dan panas ini tak terlalu terasa.
"Gimana apanya, Om?" tanya Caca yang sedikit mendongak melihat kepala Riki.
"Ada yang seru?"
"Gak, b aja tuh."
"Oh," ujar Riki mengangguk. Dirinya akan selalu bertanya tentang apa yang terjadi dan bagaimana dengan kegiatan Caca hari ini, namun terkadang wanita tersebut hanya menjawab, 'B aja'.
"Oh, iya, Om. Tadi ... ada anak pindahan dari luar kota ke kelas, Caca," ujar Caca setengah teriak. Karena, jika tak berteriak mana mungkin suaranya akan kedengeran.
"Ganteng?"
"Lah, kok malah nanya ke fisik?"
"Ganteng atau enggak?"
"Cowok, ya, pasti gantenglah Om Kulkas!"
Riki menepikan sepeda motor miliknya yang berwarna hitam bertuliskan, "R25" tersebut. Hal itu juga membuat, Caca malas untuk ikut dengannya. Pijakan yang terlalu tinggi membuat dirinya terlalu sulit untuk menaikinya.
"Kamu bilang apa tadi?" tanya Riki melihat ke wajah polos Caca yang tak tau apa salahnya.
"Apa, Om Kulkas?"
"Kamu bilang dia ganteng?"
"Iya, emangnya kenapa?"
"Coba ucapkan sekali lagi, biar besok dia hanya tinggal nama!" ujar Riki dengan suara seraknya, dia tersenyum dengan sabar menghadapi bocah yang disukainya itu. Sedangkan, Caca sudah menutup mulutnya untuk tak menyebut jika murid baru itu ganteng meskipun padahal memang seperti itu adanya.
"Om Kulkas! Jangan galak-galak sama, Caca. Ntar, Caca nangis," kata Caca sudah bersiap-siap memulai dramanya.
"Ya, sudah. Jangan ucapkan itu lagi, ya. Sayangnya aku." Riki mengusap kepala Caca yang tertutup hijab, dirinya mulai menghidupkan sepeda motor yang tadinya dirinya matikan.
'Si paling ingin dikatain ganteng, nyeyenye,' batin Caca memajukan bibir bawahnya mengucap kalimat 'nyenyenye.'
Jalanan yang lumayan lancar langsung dilewati Riki dengan kecepatan yang tinggi, sontak membuat Caca langsung memegang ujung jaket laki-laki tersebut. Beruntungnya, dirinya sudah terbiasa dibawa dengan keadaan begini. Meskipun sering kali Caca marah padanya dengan berbagai macam kalimat, namun tak satu pun digubris.
Cit ...!
Suara rem yang berhasil mencuri perhatian pengunjung cafe yang berada di kawasan parkir, Caca melepaskan genggamannya dari jaket Riki dan melihat mereka sampai di mana.
"Turun!"
"Om, Kulkas. Kok kita ke sini? Caca mau pulang aja."
"Makmu lagi pergi, di rumah tidak ada siapa-siapa, Cil! Otomatis, makanan juga gak ada. Jadi, kita makan aja dulu di sini."
"Wih, keren banget!"
"Apanya?" tanya Riki yang masih berada di tempat duduk sepeda motor dengan badan setengah menghadap ke Caca.
"Om, Kulkas bisa ngomong panjang ternyata. Tapi ... kok sama Caca atau orang-orang ngomongnya irit banget, ya?" tanya Caca mengetuk dagunya menggunakan jari.
Riki langsung turun daru bangku sepeda motor dan masuk duluan ke dalam cafe, dirinya membiarkan Caca yang masih berada di jok belakang dengan keadaan sepeda motor telah diturunkan cagaknya.
"Om, Kulkas! Huwa ... Caca takut turun! Motornya lebih tinggi dari, Caca!" teriak Caca sekencang mungkin agar Riki mau berbaik hati untuk menolong manusia yang menyebalkan seperti dirinya itu.
Mereka berdua telah masuk ke cafe dan duduk di dalah satu bangku yang tersedia, Riki sibuk dengan handphone begitupun dengan Caca namun dirinya sesekali melihat orang yang masuk dan keluar cafe ini. Wajar, cafe ini baru pertama kali dia masuki.
"Eh, Riki!" sapa seseorang yang datang tiba-tiba. Sontak mereka berdua langsung menatap ke arah suara tersebut, seorang wanita yang; cantik, tinggi, putih, dengan tubuh ideal dan senyum manisnya.
"Diva? Kamu sama siapa di sini?" tanya Riki yang langsung berdiri membalas senyuman Diva.
Sedangkan Caca, hanya diam dan tetap fokus ke gadget miliknya. Tak berniat tersenyum ke arah Diva, lagian pun Diva tak ada menyapa dirinya atau bertanya dia siapa. Jadi, buat apa untuk memperkenalkan diri atau sok manis di depan orang baru.
"Kamu apa kabar?"
"Aku baik, Div. Kamu sendiri?"
"Aku masih lanjutin kuliah S2 aku, nih di luar negri"
"Wah ... hebat banget!"
"Ya ... ini juga gara-gara kamu, aku harus sekolah di tempat jauh agar bisa lupa sama kamu. Eh, sekarang malah ketemu di sini. Ingat balik dong semuanya lagi," tawa Diva sambil memegang tangan Riki sedangkan Riki yang merasa di sindir melalui candaan menampilkan senyuman kikuk.
"Gak usah sekolah jauh seharusnya, benturkan aja tuh kepala atau tabrakkan ke mobil. Palingan akan terjadi dua pilihan pertama mati kedua hilang ingatan, tergantung sama Tuhan dan amal kebaikan aja," celetuk Caca tersenyum miring menatap Diva. Caca berdiri, "Saya ke toilet dulu, ya."
Riki menampilkan wajah datarnya namun sudah pasti hatinya menggebu-gebu ingin memarahi wanita tersebut, sedangkan Diva langsung memasang wajah marahnya dengan wanita yang bahkan belum sempat kenalan dengannya.
"Dia kenapa?" tanya Diva yang kebingungan dengan apa yang terjadi.
"Hahaha, dia bercanda."
"Siapa kamu? Anak tetangga? Kalau pacar sih gak mungkin, mana mungkin kamu mau modelan kayak dia."
"Dia anak tetangga aku. Untuk ucapan kamu yang ngatain dia gak mungkin tadi, aku rasa harus kamu perbaiki lagi. Attitude kamu gak berubah, masih saja minus." Riki berlalu meninggalkan Diva di meja tersebut, sedangkan Riki menuju toilet juga.
"Oh ... pantasan aja belain tuh cewek segitunya, ternyata oh ternyata anak orang kaya. Apalah aku yang kayak gembel ini, outfit kayak gembel mau bersaing sama yang kayak sultan? Mimpi aja dah lu, Ca!" ujar Caca di toilet dengan melihat dirinya dari kaca. Setelah kekesalannya lumayan menghilang, dirinya memilih keluar dan berniat kembali ke meja mereka.
"Bocil!" Caca langsung melihat ke belakang, mencari siapa yang menyebut namanya itu, "Ada apa, Om?" tanyanya saat mendapati Rikilah yang memanggilnya.
"Kita pulang aja, yuk! Aku udah pesan dan bungkus makanannya tadi."
"Ok," ujarnya dan berjalan duluan meninggalkan Riki ke parkiran.
"Kamu tidak boleh seperti itu padanya," nasehat Riki yang berjalan di samping Caca dengan melihat ke arah wanita itu.
"Iya."
"Kamu bisa dibilangin, gak, sih?!" bentak Riki yang membuat langkah Caca terhenti dan langsung melihat ke arahnya.
Caca terdiam dan mencerna apa yang terjadi, dirinya tersenyum dan menaruh kedua tangannya ke belakang, "Maaf! Maaf ... karena saya tadi lancang untuk ikut campur dalam obrolan manusia-manusia dewasa yang hebat, saya gak akan melakukan itu lagi. Dan kamu ... saya mohon jangan ikut campur juga dalam kehidupan saya!" tegas Caca. Dirinya langsung pergi dengan berlari, mungkin dia akan pulang menggunakan angkot atau apa saja yang ada.
Riki tersadar dengan apa yang baru saja dilakukannya, dirinya menjambak rambutnya sendiri tanda frustasi dengan apa yang terjadi. Kalimat tersebut begitu saja keluar tanpa mengetahui apa dan kenapa bisa terucap, Riki langsung berlari dan mencari keberadaan Caca.
"Caca ...!" teriak Riki di sekitaran parkiran dengan tangan yang membawa dua kantong plastik berisikan makanan yang awalnya untuknya dan untuk Caca.
"Arghh ... gue bodoh!" ucap Riki membuang makanan karena merasa semua ini sebabnya dan kesalahannya. Dia langsung berlari ke motor miliknya, suara motor terdengar dan motor beberapa detik menjauh dari cafe.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 57 Episodes
Comments
tris tanto
ktnya kulkas,itu ngomngnya puanjng bener kalo kulkas kn lebih cuek gk basabasi lebih dikit bgt omongnnya
2023-06-22
0
abdan syakura
Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarokatuh
Salken, kak Nisa ..
Aq mampir nih..
2023-02-01
0