Perjodohan

“haha...”

Mavin tertawa keras mendengar cerita dari teman lamanya itu. Sudah dua minggu lebih Hanafi ada di Indonesia kembali, tetapi Mavin sebagai teman yang sudah mengenal Hanafi sejak di bangku SMA baru sempat berkunjung ke rumah sahabatnya ini.

Hanafi meletakkan satu kaleng minuman di depan Mavin, “Puas banget lo ngetawain gue.”

“Iya-iya maaf.” Mavin mencoba meredakan tawanya walau sedikit susah karena cerita Hanafi barusan sangat menggelitik perutnya, “bisa-bisanya mahasiswi lo sendiri ngira lo tukang ojek.”

“Nggak ngerti juga. Memang gue ada tampang-tampang tukang ojek ya?”

Mavin memerhatikan lekuk wajah Hanafi, “Sedikit haha...” ia kembali tertawa lagi.

Hanafi berdecak sebal, mengalihkan pandangan, lalu meneguk minuman miliknya.

“Jangan ngambek gitu ah, gue bercanda!” Mavin membuka segel dari minuman dinginnya, “oh iya, katanya lo pulang bukan karena dapet kerjaan di sini aja, tapi mau dijodohin juga?”

Hanafi mengangguk, “Iya, bokap mau jodohin gue sama anak temannya.”

“Cantik nggak?”

Pria itu mengedikkan kedua bahu, kemudian menatap sahabatnya. “Gue belum ketemu sama dia.”

“Gimana mau nikah, tapi nggak tau muka calon istri sendiri. Lo mau-mau aja lagi.”

Angin malam berembus menerpa helai rambut kedua pria yang sedang duduk di teras rumah itu. Angin itu tidak membuat mereka merasa kedinginan. Malam ini cukup cerah dengan banyaknya bintang di langit.

“Demi Ayah sama Bunda, mungkin ini saatnya gue buat berbakti. Gue percaya pilihan mereka itu pasti yang terbaik. Gue nggak penting dia cantik rupanya yang penting akhlaknya.”

“Lo bisa berbakti dengan cara lain ‘kan? Sekarang lo udah kerja bisa biayain orang tua. Bahkan waktu di Aussie lo juga kuliah sambil kerja. Lo udah sangat meringankan beban mereka. Untuk yang bersama lo sampai akhir hayat nanti lo nggak pengen pilih sendiri?”

Hanafi menggelengkan kepala dengan menampakkan wajah polosnya.

“Itu aja masih kurang, Vin.” Hanafi duduk menghadap ke jalan kompleks, “memilih calon istri itu susah, Vin. Yang benar-benar pas nggak akan ada. Kita tuh cuma perlu saling melengkapi.”

Mavin mengangguk-angguk pelan, “Itu gue setuju. Gue selalu support lo. Semoga pilihan orang tua lo bener-bener jodoh lo dunia akhirat.”

“Aamiin...” Hanafi menoleh lagi ke samping, “terus lo sama Nisa kapan nikah? Udah dua tahun ‘kan pacaran?”

“Jalan 3 tahun. Dana gue masih tipis, Bro. Nanti anak orang mau gue kasih makan apa?”

“Jangan lama-lama! Pacaran itu cuma numpuk dosa, kata Ayah.” Hanafi tersenyum lebar ke arah Mavin yang meneguk saliva sendiri dengan susah payah.

Malam itu mereka manfaatkan untuk berbincang ringan sembari bertukar pikiran. Sesekali Mavin melempar lelucon agar Hanafi tertawa bersamanya.

...****************...

“Tunggu sebentar!” Seorang wanita bergamis dengan hijab lebar menutupi dadanya berjalan tergesa-gesa ke arah pintu utama saat mendengar suara bel yang ditekan, “siapa sih bertamu nggak ucap salam.” Terdengar wanita ini sedikit menggerutu di perjalanannya.

“Pagi menjelang siang Umi!” Arfan tersenyum hangat ketika pintu besar itu terbuka untuknya.

Indah mengangguk sembari membalas dengan senyuman seadanya, “Waalaikumsalam, Umi kira siapa. Ternyata kamu, Fan.”

Arfan yang merasa tidak enak hanya cengengesan sembari menggaruk belakang kepalanya yang tidak gatal.

“Lain kali pakai salam kalau bertamu!”

Arfan mengangguk, “Maaf, Umi. Arfan ke sini mau jemput Aka. Katanya, hari ini kuliah siang.”

“Iya, Cempaka masih siap-siap di kamarnya.” Indah membuka pintu lebih lebar, “ayo masuk dulu! Tunggu di dalam aja.”

Cowok itu lantas masuk dan duduk di ruang tamu. Indah pamit meninggalkan pacar anaknya, lalu pergi ke atas untuk menyuruh Cempaka agar lebih cepat.

Ketika Cempaka turun dari lantai dua terlihat Arfan yang celingukan memerhatikan ruangan sekitarnya.

“Kenapa sayang?” tanya Cempaka ikut menoleh ke kanan dan kiri.

“Abi lagi nggak di rumah?”

Cempaka tersenyum, “Abi kalau jam segini udah pergi ngajar di Madrasah. Kamu lupa kalau Abi aku itu guru?”

“Oh iya, aku terlalu khawatir.”

“Pasti kamu takut Abi introgasi kayak seminggu yang lalu ya?”

Arfan berdiri dari duduknya, “Sedikit, aku masih belum siap kalau didesak suruh nikahin kamu.”

Cempaka mendekat pada kekasihnya. Ia mengusap-usap lengan Arfan menyalurkan kasih sayangnya terhadap cowok itu.

“Udah jangan dipikirin! Aku juga belum siap nikah.” Cempaka mengecek jam yang melingkar di pergelangan tangan, “ayo berangkat! Nanti kita terlambat. Aku nggak mau ditandain lagi sama Dosen gara-gara terlambat.”

Arfan tertawa mendengar keluhan pacarnya, “Ya udah, ayo!”

Cempaka menutup pintu setelah melangkah keluar dari rumah. Indah tidak keluar lagi karena sudah malas dengan pacar anaknya itu.

...****************...

Hamzah adalah pria dewasa berumur 52 tahun. Kini jabatannya dalam pekerjaan yaitu seorang guru Madrasah di Madrasah Aliyah Negeri. Menjelang makan siang sesudah menyelesaikan jam mengajar pria berbaju kedinasan itu memasuki sebuah restoran. Biasanya Hamzah akan memakan bekal dari sang istri pada siang hari. Namun, hari ini sedikit berbeda karena ia ada janji dengan seseorang.

Walau sudah berumur setengah abad Hamzah masih terlihat bugar dengan tubuh tinggi yang berisi. Jika tenang seperti ini ia tampak seram, tetapi sebenarnya para murid di Madrasah sangat mengenal dirinya sebagai guru yang asyik. Hamzah punya senyuman manis.

Seperti yang ia tampakkan sekarang pada seseorang yang menghampiri mejanya.

“Mau pesan apa, Pak?” tanya pelayan memberikan buku menu.

“Saya masih menunggu teman. Nanti—“

“Assalamu’alaikum, Hamzah!” sapa seorang pria berkemeja biru yang membuat perhatian Hamzah berpaling.

“Nah, ini orangnya datang.” Hamzah berdiri, berjabat tangan dengan orang yang disebutnya teman, “Walaikumsalam, Adam.”

Adam membalas uluran tangan sahabat lamanya, “Bagaimana kabarmu?”

“Aku baik. Kita pesan makan dulu bagaimana? Mumpung pelayannya sedang di sini.”

“Boleh-boleh.” Adam menarik kursi untuk duduk di hadapan temannya. Kedua pria itu terlebih dulu memesan makan siang. Sebelum melanjutkan obrolan kembali.

“Sekarang kamu PNS?” tanya Adam setelah pelayan menyelesaikan mencatat pesanan mereka.

“Iya, lebih tepatnya aku guru di Madrasah. Sudah ada 20 tahunan menjabat.”

“Alhamdulillah, cita-citamu dulu itu terkabul.”

“Kamu bagaimana Adam. Apa pekerjaan selama puluhan tahun kita tidak bertemu?”

Adam bersandar, menyanggah kedua siku di tangan kursi. Ia sekilas tampak tersenyum, “Aku menggeluti bisnis ekspor-impor. Selama ini sering berpindah-pindah. Bahkan dulu aku sempat tinggal di Papua.”

“Wow jauh sekali. Pantas aku tidak pernah melihatmu di Jakarta.”

“Setelah wisuda saat itu aku langsung pergi merantau. Jadi, seperti ini sekarang. Alhamdulillah, udah bisa menetap lagi di kota kelahiran.”

Hamzah mengangguk-angguk paham. Mereka bertemu saat bergabung di Unit Kegiatan Mahasiswa. Dari fakultas yang berbeda mereka bisa akrab dan bersahabat.

Makanan yang mereka pesan pun datang. Kedua lelaki itu menikmati hidangan dari restoran saat ini.

“Anakmu mau ‘kan dengan putriku, Dam?”

Adam mengangguk, “Dia bilang padaku, bagaimana baiknya Ayah saja, saya ikut. Putrimu bagaimana?”

Hamzah terkekeh kecil. Mendengar jawaban temannya, anaknya sendiri sangat jauh berbeda.

“Anakmu sangat patuh.”

“Putraku memang dari dulu tidak banyak bicara dan bergaul. Punya teman aja hanya beberapa orang. Aku juga tidak pernah melihatnya membawa gadis ke rumah. Alhamdulillahnya, saya beruntung punya anak yang seperti dia. Menurut sekali orangnya.”

“Sangat berbeda dengan Cempaka. Putriku itu sangat banyak temannya, pintar bergaul, sedikit keras kepala. Ia bahkan menolak perjodohan ini.”

“Lalu bagaimana? Apa kita batalkan aja. Aku tidak ingin putrimu merasa terpaksa. Walau ini perjodohan sebisa mungkin mereka memang saling ada ketertarikan.

Hamzah meletakkan sendok dan garpu saat terkejut mendengar perkataan Adam, “Jangan! Aku udah suka dengan putramu. Ia menantu yang pas untukku. Aku yakin dia juga yang terbaik untuk putriku. Mereka hanya belum kenal. Siapa tau setelah bertemu mereka saling suka?”

“Kapan kita akan mempertemukan mereka?”

...****************...

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!