Kata Tetangga

Motor trail dengan knalpot yang agak berisik itu menepi di depan sebuah rumah dengan pagar setinggi dada orang dewasa. Cempaka turun dari jok belakang, kemudian menyerahkan helm pada sang kekasih.

“Makasih ya udah anter aku sampek rumah.” Arfan mengangguk, “kamu hati-hati di jalan. Langsung pulang loh jangan keluyuran lagi!”

“Iya pacarku yang bawel.” Arfan mengusap kepala Cempaka penuh kasih sayang.

Cempaka tersenyum diperlakukan manis oleh pacar yang telah merajut hubungan dengannya selama satu tahun belakang ini.

“Oh iya, suruh Abi kamu batalin perjodohan itu. Aku ini ‘kan masih pacarmu. Apa Abi nggak mikirin perasaan aku?”

“Makanya kamu perbaiki sikapmu itu. Biar Abi dengan mudah beri restunya ke kita.”

Arfan mendengus kasar, “Jadi aku lagi yang salah?”

“Disini nggak ada yang nyalah-nyalahin kamu. Cuma minta kamu berubah jadi lebih baik aja sih.”

Arfan menghidupkan kembali mesin motornya, “Udahlah, aku malas bahas ini. Aku pulang dulu.” Lelaki itu melajukan kendaraan roda duanya menuju jalan raya kembali.

Cempaka hanya bisa sabar menerima Arfan yang masih susah untuk dibujuk. Ia harus cari cara buat mengulur waktu agar perjodohan ini tidak cepat-cepat dilaksanakan sampai Arfan dapat restu dari orang tuanya.

“Aka... Cempaka!”

Baru saja masuk dan menutup pagar menuju halaman rumah, seorang wanita paruh baya dengan rambut cepol tinggi memanggil-manggil gadis berambut panjang itu. Ternyata dari tadi ibu itu mengintip Cempaka dari rumahnya.

“Itu tolong dong motor pacar kamu jangan berisik begitu. Pusing saya yang dengar. Ganti knalpotnya!”

Dahi Cempaka mengerut mendengar protes dari tetangga samping rumahnya, “Memang dari sananya motor jenis itu suaranya begitu Bu Tati.”

“Masa nggak bisa diganti? Lagian ngapain sih tiap hari ke sini. Pacaran terus kayak orang suami-istri. Kenapa nggak nikah aja? Padahal ya Umi Indah sama Abi Hamzah tuh orang yang tau agama. Kenapa sih biarin anaknya pacaran begitu?”

Cempaka menghela napas panjang. Baru juga sampai di rumah, tetapi harus menghadapi tetangga resehnya ini.

Gadis itu tersenyum. Tampak terlihat terpaksa. Namun, ia berusaha menahan amarahnya.

“Arfan sama Aka itu masih kuliah Bu Tati. Kami belum kepikiran menikah. Apa lagi Arfan yang umurnya lebih muda satu tahun dari Aka. Perjalanannya masih panjang. Lagian, kita pacaran nggak aneh-aneh kok. Bu Tati tenang aja saya bisa jaga diri.”

“Saya cuma nasihatin aja. Bagaimana pun pacaran itu nggak baik. Mending kamu menikah. Perempuan lebih baik punya pasangan yang lebih tua dari usianya. Bukan brondong kayak pacar kamu. Apa coba kata orang-orang Umi yang suka ceramah di masjid dan Abi Hamzah seorang guru madrasah anaknya punya pergaulan yang bebas. Jaga nama baik keluarga.”

“Udah itu aja?” Cempaka bersedekap dada, “Ibu Tati ya terhormat. Saya kasih tau ya, jadi tetangga itu nggak baik terlalu ngurusin orang lain. Ibu nggak perlu ikut campur sama keluarga saya. Urus aja keluarga ibu itu. Memang keluarga ibu udah bener?”

Setelah melontarkan kekesalannya terhadap tetangga yang menurut Cempaka terlalu ikut campur dengan urusannya. Aka memilih untuk meninggalkan Bu Tati dan melangkah mendekati pintu masuk rumah.

“Yeee! Anak kurang ajar. Beda banget sama orang tuanya. Anak angkat ya situ?”

Baru saja akan mendorong pintu ke dalam, pertanyaan tak mengenakan hati terdengar lagi. Cempaka kembali menoleh ke arah tetangganya.

“BUKAN URUSAN ANDA SAYA ANAK SIAPA. LAGIAN BUKAN ANDA YANG KASIH SAYA MAKAN,” kemudian Cempaka masuk dengan sengaja membanting pintu dan membuat Bu Tati itu tersentak kaget.

“Astagfirullah, Cempaka!” seorang wanita bergamis syar'i mengelus dada karena ikut terkejut oleh suara bantingan pintu, “masuk itu ketuk pintu atau pencet bel, terus ucap salam. Bukan pintunya dibanting seperti itu.”

“Maaf, Umi.” Cempaka berjalan mendekat, lalu mencium punggung tangan ibunya, “habisnya tetangga sebelah itu nyebelin banget. Dia selalu ngurusin hubungan Aka sama Arfan.”

Wanita dengan wajah terlihat sejuk apabila dipandang itu menghela napas, lalu tersenyum. Ia mengusap kepala putrinya dengan kasih sayang yang tulus.

“Kamu ‘kan masih bisa bicara yang sopan sama mereka. Nggak perlu marah-marah sampek melupakan salam kayak tadi. Lain kali jangan diulangi!”

“Iya, Umi. Aka khilaf karena Bu Tati tanya kapan nikah terus. Lagi pusing sama maunya Abi, Bu Tati nambah-nambahin. Jadi Aka kesal.”

“Kalau saran Umi, Aka lebih baik ikutin maunya Abi. Pilihan Abi itu yang terbaik buat kamu.”

“Nggak mau, Umi.” Gadis yang rambutnya tergerai ini merengek, “Aka sayang sama Arfan. Aka mau nikahnya sama Arfan. Arfan baik kok Umi.”

“Kata kamu, Arfan sering bolos kuliah. Suka main sampai larut malam. Kamu suka bantu ngerjain tugasnya. Itu yang kamu bilang baik? Arfan belum siap untuk menikah dan mengarungi bahtera rumah tangga sama kamu sayang.”

“Apa salahnya sih Umi saling bantu? Aka bisa jadi Aka bantu Arfan untuk nyelesain tugasnya. Bukan cuma Arfan yang belum siap Umi. Cempaka juga. Kami masih muda. Kami ingin lewatin masa ini lebih lama sampek benar-benar siap untuk berumah tangga.”

Indah menghela napas. Ia tersenyum mendengar putrinya yang dulu masih kecil dan suka mengompol kini sudah pandai berdebat mengeluarkan pendapatnya.

“Tapi Abi maunya kamu nikah sayang. Abi punya calon yang cocok untuk kamu.”

“Cocok untuk Aka atau Abi?” Indah terdiam, “udahlah, Umi. Aka mau ke kamar dulu.”

Setelah itu Cempaka melarikan diri ke lantai dua. Tempat kamarnya berada.

...****************...

Cempaka menjatuhkan tubuh di atas kasur berukuran besar. Seorang wanita muda yang tengah menemani bayi usia delapan bulan yang terlelap di sampingnya itu menoleh ke belakang saat merasakan ada sedikit guncangan pada kasur yang ia tiduri.

“Baru pulang kamu?” tanya Juwita yang perlahan mengubah posisinya menjadi duduk bersandar.

“Iya, Kak. Aka mau curhat.”

Juwita itu istri dari Danish. Yang mana Danish adalah kakak kandung Cempaka. Usia pernikahan Danish dan Juwita baru menginjak dua tahun. Mereka sudah dikaruniai seorang putri kecil yang diberi nama Asha. Karena mereka masih tinggal di satu rumah yang sama, hal ini membuat Cempaka dan Juwita sangat akrab. Bahkan sudah seperti teman sebaya.

“Ya udah curhat aja. Apa sih masalahnya kali ini?”

Cempaka menghela napas terlebih dulu. Pandangannya mengarah ke langit-langit kamar.

“Kenapa sih Umi sama Abi sekarang maksa Aka banget buat nikah sama pilihan Abi? Mereka nggak kelihatan merestui hubungan Aka dan Arfan.”

“Bukannya hal ini udah berlangsung lama ya?” Juwita membenarkan posisi duduknya terlebih dulu, “maksud Kakak, hubungan kamu sama Arfan memang ditentang Abi.”

“Iya, sih.”

“Saran kakak mending ikutin aja kata Abi sama Umi. Kakak yakin pilihan orang tua itu yang paling baik.”

“Ish...” Aka bangkit dari rebahannya. Menatap ke arah kakak iparnya itu, “Kak Juwi kok sama aja kayak Abi dan Umi? Aka nggak mau nikah sama orang nggak dikenal, Kak. Terus Aka bucin sama Arfan.”

Juwita terkekeh kecil mendengar ucapan adik dari suaminya, “Bukan begitu, soalnya Kakak lihat-lihat attitude Arfan itu kurang baik. Ia juga lebih muda dari kamu.”

“Umur bukan penghalang rasa cinta, Kak.”

“Tapi anak manja dan keras kepala kayak kamu memang lebih bagus dapat yang lebih tua.”

Cempaka merengut mendengar penuturan sang kakak tentang dirinya, lalu ia menggeleng, “Nggak mau aki-aki.”

Kini Juwita tertawa lagi, “Nggak aki-aki juga kali, Ka. Coba deh jalanin dulu sama pilihan Abi. Kalian bisa taaruf dulu kayak yang Kakak dan Bang Danish lakuin? Kenalan sebelum menikah, siapa tau benaran jodoh.”

Cempaka berdiri sembari menggelengkan kepala untuk kedua kalinya, “Aka tetap maunya Arfan!” kemudian gadis ini pergi dari kamar Kakak iparnya dan masuk ke kamarnya sendiri.

...****************...

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!