Dinginnya malam sebentar lagi akan tergantikan oleh hangatnya sinar sang mentari. Namun sepertinya matahari pun masih ingin bersembunyi. Seakan malu untuk menampakkan diri.
Tentu saja! Lukisan ketampanan yang terpancar dari paras rupawan, seakan meluruhkan sinar sang rawi. Buliran air suci yang mengaliri wajah, tangan dan kaki seakan menambah indahnya paras sang Titisan Dewa Yunani.
Namun sayang, keindahan yang terpampang tak selaras dengan apa yang ada di dalam. Karena kini jiwanya tengah diselimuti oleh kemarahan.
Disaat jalanan masih begitu lengang, dia memacu kuda besinya bak orang kesetanan. Menginjak pedal gas dengan sangat dalam, untuk merasakan adrenalin yang memuncak di setiap tikungan. Karena saat ini, dia sedang butuh pelampiasan.
Tak ada lagi tempat yang bisa dia jadikan sebagai tujuan. Hingga akhirnya dia memutuskan untuk pulang ke kandang.
Ruang tamu yang gelap tampak kembali terang. Para pelayan telah berjajar menyambut kepulangan sang tuan, walau kemudian segera dibubarkan.
"Mr. Alex__" Salah seorang asisten rumah tangganya dengan lancang membuatnya menghentikan langkahnya.
Saat berbalik, ingin sekali dia mencekiknya. Namun apa yang dibawa oleh pelayannya mampu menahannya.
"Maafkan saya tuan. Tetapi ini yang anda minta sejak beberapa bulan lalu." Ucap sang pelayan sambil menyodorkan sebuah benda dengan kedua tangan.
"Di mana kau menemukannya?"
"Di belakang kulkas tuan, terbungkus aluminium foil." Jawab sang asisten dengan suara sedikit bergetar.
"Belakang kulkas?" Dia mengkonfirmasi ulang sambil mengambil album keluarga dari tangan si pelayan.
"Iya, Tuan." Secuil seringai terbersit di sudut bibir Alex. Dia mengangguk tanda mengerti.
Pintar juga. Dia mengakui kecerdasan ibunya.
Menyimpan barang berharga di balik kulkas sungguh di luar pemikiran. Namun itu bisa menyelamatkan barang tersebut bila terjadi kebakaran.
"Pergi lah." Alex mengusir pelayannya dan mulai menaiki tangga.
"Baik, Tuan."
Alex memainkan album tersebut dengan mengetuk-ngetukkannya di telapak tangan. Dia melangkah menuju kamar, melepaskan hoodie dan duduk di tepi ranjang tanpa menyalakan lampu kamar. Matanya sudah terbiasa dengan cahaya temaram. Selaras dengan hidupnya yang diselimuti kegelapan.
Segera dia membuka album keluarga di tangannya. Membalik halaman demi halaman untuk mencari apa yang di carinya. Namun berulang kali dia membaliknya, tetap tidak bisa menemukannya. Hingga frustrasi dan putus asa datang menyapa.
Dia melemparkan album itu ke atas ranjang. Mengusap wajahnya dengan kasar. Lalu menghempaskan tubuhnya dan menutup matanya dengan satu lengan.
Dia harus meregangkan semua ototnya yang tegang. Tak lupa, dia juga mencoba untuk menghempaskan semua isi kepalanya yang terus membayang. Namun otaknya kembali melayang pada jalannya pertandingan.
Tidak dimungkiri bahwa dia sangat terkejut saat seorang wanita keluar dari mobil lawan. Yang artinya dia telah dikalahkan oleh seorang perempuan. Perempuan bodoh yang berhasil membuat suara gemelutuk keras di balik rahang.
Namun setelahnya kejutan apa yang ditemuinya? Yah, bidadari surga!
Khiara, itu lah nama yang di dengarnya. Ujung alisnya berkedut saat Khiara menarik ke belakang ujung hoodie-nya. Menampakkan seluruh wajah di balik tudung yang menghalanginya. Jika saja ini surga, maka dia ingin tetap berada di dalamnya.
Bidadari di hadapannya mampu membuat seorang Alexander terpikat. Kulitnya yang berpendar bagaikan sinar, seolah melambai padanya untuk diusap.
Kilauan cahaya pada mata almond-nya yang sempurna seakan mampu menenggelamkannya. Bak musik indah yang seharusnya hanya bisa didengar oleh telinga, tetapi justru terlihat nyata di matanya.
Sungguh visualisasi yang sempurna. Adakah sesuatu yang bisa mengalihkan pandangannya darinya? Tidak ada.
Tidak ada hingga suara riang membangunkannya. Membuatnya kembali tersadar akan tindakan bodoh yang telah dilakukan Khiara.
Apa? Lebih seru katanya!? Tindakan bodoh apalagi yang akan wanita ini lakukan? Lintasan ini saja sudah sangat membahayakan. Mau lintasan seperti apalagi yang ingin dia taklukkan?
Sumpah Alex tidak akan membiarkan. Jika saja wanita itu melakukan kesalahan, maka dia akan berakhir di dasar jurang. Tetapi wanita itu justru mengatakan hal yang mampu membuatnya mengepalkan kedua tangan.
"Cari tahu semua tentangnya!" Pintanya pada Ata, teman kuliahnya yang menjadi partnernya sekaligus sahabat satu-satunya.
"Maksudmu wanita yang bernama Khiara tadi?" Pertanyaan Ata mampu membuat Alex mengalihkan perhatiannya dari setir mobilnya.
"Adakah orang lain yang menjadi topik utama kita?"
"Tidak ada." Alex mengangkat sebelah alisnya. "Jika dilihat, banyak orang yang mengenalnya. Sepertinya akan mudah mencari informasi tentangnya."
Apakah itu akan mudah atau tidak, Alex tidak peduli. Dia tetap harus mendapatkan informasi. Ata tahu akan hal ini.
Tujuh tahun adalah waktu yang cukup untuk mengenal Alex dengan seluruh tabiat yang dimiliki. Bukan karena Alex orang yang mudah didekati dan dimengerti, hanya saja Ata terlalu pintar untuk memahami bagaimana Alex yang sulit dipahami.
"Wajah itu___" Alex bergumam dalam kegelapan.
***
Seorang wanita berdarah campuran Asia-Rusia langsung membanting tubuhnya ke sofa. Lelah, itu lah yang dirasakannya.
Sudah dua hari sejak kepulangannya. Tempat ini, menjadi sangat asing baginya. Mungkin karena sudah banyak perubahan yang terjadi di kotanya.
Yah, itu wajar saja. Karena empat-lima tahun adalah waktu yang cukup lama.
dia meraih tablet dari dalam tasnya, dan beranjak menuju dapur, mencari air putih untuk meredakan dahaganya.
Segelas air putih telah membasahi kerongkongannya. Kini dia tengah memusatkan perhatian pada tabletnya. Profil seseorang tengah terpampang di sana.
Meskipun sudah hafal di luar kepala, dia tetap saja membukanya. Berharap ada update terbaru tentangnya. Dan tiba-tiba, sekelebat rasa penasaran muncul di benaknya. Segera dia menuju ke ruang kerjanya.
Komputer dengan empat multiple monitor mendominasi sudut ruang kerjanya. Jemari lentiknya mulai menari di atas keyboard, menuliskan berbagai kode di layar monitornya.
Sebuah portal universitas ternama tengah terbuka di hadapannya. Dia mulai mengetikkan sebuah nama.
Alexander Sebastian.
Sebuah senyum samar muncul di sudut bibirnya. Menampakkan kepuasan dalam dirinya. Sepertinya dia akan menambah daftar pekerjaannya. Dia meraih bingkai foto yang tergeletak di samping monitornya. Tampak foto ceria dirinya bersama seorang wanita.
Tiba-tiba saja, awan mendung mulai menyelimuti wajah cantiknya. Setetes air hujan yang turun dari kelopak matanya mulai membasahi pipi mulusnya.
Kenangan masa lalu seakan mencubit hatinya. Buru-buru dia membalik bingkai fotonya. Seakan tak kuasa membendung rasa yang menyesakkan dada.
Dia kembali menekuni monitor di hadapannya. Membuka website universitasnya untuk mengganti beberapa kelas yang akan di ambilnya.
Setelah selesai, dia segera mematikan komputernya. Dia beranjak dari tempatnya menuju kamar di sebelahnya.
Di bawah cahaya bulan yang temaram, dia menghela napas dalam. Tak ada niatan untuk menyalakan lampu kamarnya, karena dia hanya perlu merebahkan tubuhnya. Berharap dia bisa tidur nyenyak walau hanya sekejap.
Kota ini memberikan ribuan kenangan manis untuknya. Namun, kota ini juga menorehkan kenangan pahit baginya. Sebenarnya dia sangat enggan untuk kembali. Namun sebuah tanggung jawab harus dia sunggi.
Rasa takut, frustrasi, dan depresi yang dahulu pernah menjamahnya kini kembali mendatangi. Bayang-bayang kelam itu kembali memenuhi memori. Berbagai pertanyaan menghinggapi diri. Apakah dia yakin dapat bertahan sendiri? Tanpa ada seorang pun yang menemani?
Tak mau ambil pusing, dia memutuskan untuk memejamkan kedua bola matanya. Istirahat, itu lah yang dibutuhkannya. Meski kini tidur nyenyak merupakan barang langka untuknya. Tetapi dia tetap berharap, dia bisa tertidur pulas tanpa dihantui bayang-bayang kelam yang menyesakkan dada.
Namun apa mau dikata? Harapan hanya sekadar harapan. Malam ini pun, tidur nyenyak sepertinya tidak bisa dia dapatkan. Dalam tidurnya, dia kembali menyaksikan kenangan pahit masa lalunya. Membuatnya terlonjak dari tidurnya.
Kulit pucat pasi terpatri di wajahnya. Menandakan ada yang tidak beres dengan dirinya. Keringat mengucur dengan derasnya. Layaknya usai melakukan lari maraton puluhan kilometer jauhnya. Nafasnya yang terus menggebu-gebu, dan detak jantung yang terus memburu.
"Hahhh___ haahh___ hahhh___ haaahh___.”
Dia segera membuka laci nakas dan mengambil obat yang tersimpan di dalamnya. Membuka botol obat dan menenggak beberapa pil dengan segera. Ketenangan perlahan demi perlahan mulai didapatkannya.
Jam dinding di seberang ranjangnya sudah menunjukkan pukul setengah lima. Dengan langkah gontai dia menuju kamar mandi untuk mengambil air wudu yang menyejukkan jiwa. Mengadu pada Tuhannya adalah pilihan yang sempurna.
***
-Eh itu obat apaan?? Jangan bilang itu narkoba ya, ntar sakau loe jadinya.-
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 71 Episodes
Comments
Sulis Tiyono
Alhamdulillah pelarian yg tepat
2022-11-05
1