..." Sesuatu yang dikerjakan dengan terburu-buru itu hasilnya akan kurang maksimal. Jadi alangkah lebih baiknya, jika apa-apa itu dipersiapkan dengan matang terlebih dahulu"...
...Thank You Captain...
...Karya Alfia Ramadhani...
"Bang, bangun. Sahur-sahur woi."
"Berisik. Ini bukan bulan ramadhan." Arfan menutup telinganya dengan bantal.
"Ayah, Abang nggak mau bangun," teriak Razi.
"Yaelah, dasar bocil ngaduan. Emang kenapa sih harus bangun?" Ujarnya yang masih memejamkan mata.
"Udah ditungguin calon mempelai wanita."
"Aamiin," ujar Arfan setengah sadar.
"Giliran nikah aja ya. Yaudah ini handuk, buruan masuk kamar mandi. Bentar lagi Om sama Ammah dateng," ujar Razi sembari melemparkan handuk pada abang sepupunya itu.
"Ha? Ngapain Umma sama Baba kesini?"
Bukannya menjawab, Razi malah menarik tangan Arfan dengan sekuat tenaga. Arfan yang masih lemah terpaksa ikut. Sepupunya itu membawanya masuk ke kamar mandi dan menutup pintunya kasar.
"Zi, Razi," tidak ada jawaban. Hanya ada suara gebrakan pintu ditutup.
Razi meninggalkan Arfan dengan pertanyaan yang belum ia jawab. Soal kedatangan umma dan babanya ke Bandung hari ini. Sebenarnya untuk apa mereka datang? Padahal kemarin Arfan sudah bilang bahwa ia akan segera pulang sore nanti. Tak ingin penasaran lama-lama, Arfan buru-buru menyelesaikan mandinya.
Selesai mandi, Arfan membuka handphone yang ada di nakas. Baru saja layar kunci, disana sudah terpampang 10 panggilan tak terjawab. Siapa lagi kalau bukan dari Umma, Baba, dan Zia. Mereka sungguh aneh, pikir Arfan. Jelas-jelas tidak ada satupun dari telfon mereka yang ia angkat, lalu kenapa semuanya menelpon? Setelah Arfan lihat, ternyata ada perbedaan waktu diantara ketiganya.
Baru saja Arfan hendak menelpon balik, tiba-tiba ia mendengar suara mobil berhenti tepat di depan kamar yang ia tempati sekarang. Menyadari jika itu mobil Babanya, Arfan buru-buru keluar. Ia hanya memakai kaos oblong dan celana training selutut.
"Abang," panggil Zia yang baru keluar dari mobil.
"Ngapain ke sini?" Tanyanya.
Zia hanya mengarahkan wajahnya pada Umma dan Baba yang baru saja turun dari mobil. Melihat itu, Arfan segera menghampiri kedua orangtuanya. Ia mencium punggung tangan mereka, kemudian bersama-sama masuk. Di dalam, sudah disambut oleh Om Ariq, Aunty Fidya, juga Razi.
"Kalian kenapa sih tiba-tiba kesini, padahal kan nanti sore Arfan juga pulang," ujar Om Ariq pada Azifa dan Azril.
"Kak, ayo ikut." Azifa menarik tangan Kak Ariq sembari mengisyaratkan agar Kak Fidya juga ikut. Setelah itu di ikuti oleh Azril dibelakangnya.
Sementara Arfan dan Razi masih mematung di tempatnya, dengan raut wajah yang tampak kebingungan. Ada apa dengan orang tua mereka, kenapa tiba-tiba masuk begitu saja. Sepertinya ada obrolan penting yang mereka berdua tidak boleh tau, tapi apa?
Arfan dan Razi tampak saling berbisik, sepertinya mereka sedang merencanakan sesuatu. Dan benar saja, perlahan mereka mulai mendekat ke arah pintu penghubung ruang tamu dan ruang keluarga. Razi menempelkan telinganya ke pintu berwarna hijau itu. Berharap ia mendengar sesuatu dari dalam sana. Namun hasilnya nihil, sepertinya orang tua mereka sedang berbincang-bincang di dapur.
"Nggak denger Bang," ujar Razi putus asa.
"Lagian mereka ngomongin apa sih. Emang Lo nggak dikasih tau?"
"Ya kalau gue dikasih tau, ngapain gue nguping gini Bang," Arfan berdecik kesal.
Ceklek
Pintu ruang tengah terbuka, umma, baba, om Ariq, dan aunty Fidya muncul dari balik pintu itu. Tatapan umma fokus pada Arfan, wanita itu mendekat ke arah putranya, membawa Arfan duduk di kursi ruang tamu. Suasana berubah menjadi tegang, sampai Zia datang dengan suara hebohnya sambil membawa kantong kresek berisi minuman dingin.
"Zia, duduk," titah Babanya.
Zia mengangguk, dia duduk di samping Aunty Fidya. Tatapannya seakan bertanya-tanya pada orang sekitar, namun ummanya hanya membalas dengan senyuman, begitupun dengan Aunty Fidya.
"Ekhm," Azril berdehem.
"Abang, kedatangan Umma sama Baba kesini sebenarnya bukan hanya sekedar untuk menjemput Abang. Tapi," baba menggantung ucapannya, membuat Arfan semakin tak karuan.
"Kita akan ke rumah sakit sekarang," lanjut baba.
"Ngapain Ba?"
"Menjenguk teman Umma yang sakit," jawab Azril.
"Tapi kenapa kita harus ikut?"
"Memang seharusnya kita semua ikut, terutama Abang," jawab Azifa.
"Yaudah sekarang siap-siap dulu, Umma sama Baba tunggu di mobil." Azril dan Azifa beranjak keluar, begitupun dengan Zia yang mengikuti langkah umma dan babanya.
"Om, Aunty?"
"Abang siap-siap ya. Razi juga, nanti kamu ikut mobil Ammah. Ayah sama ibu mau jemput Asyifa dulu." Om Ariq dan Aunty Fidya juga ikut keluar.
Kini hanya tinggal Arfan dan Razi diruang tamu, dengan raut wajah kebingungan mereka. Ada apa ini, menjenguk orang sakit saja kenapa harus dua keluarga semuanya ikut?
"Yaudahlah Bang, mending siap-siap. Nanti juga tau." Razi menarik tangan abang sepupunya itu.
Lima belas menit kemudian Arfan dan Razi sudah siap, mereka menyusul masuk ke mobil. Setelah semuanya siap, Azril mulai melajukan mobilnya. Jalanan Bandung kali ini cukup padat, alhasil mereka harus terjebak macet beberapa menit. Selama perjalanan suasana mobil hening, bahkan Arfan pun merasa enggan untuk memulai berbicara.
Setelah berhasil keluar dari kemacetan, lima menit kemudian mobil alphard hitam itu berhenti di depan sebuah cafe. Hal ini justru semakin membuat Arfan bingung. Katanya tadi mereka akan pergi ke rumah sakit, lalu kenapa malah berhenti di cafe?
Arfan mengikuti langkah umma dan babanya masuk cafe, diikuti oleh Zia dan Razi dibelakangnya. Entah kenapa, umma dan baba memilih di meka paling ujung, padahal masih banyak meja kosong yang lain. Tapi Azril menahan pertanyaannya, lebih baik ia ikuti saja mereka.
"Nak, gimana dengan perempuan yang sedang kamu cari?" Azril mulai bertanya.
Tak ada jawaban dari Arfan, laki-laki itu malah menunduk. Menyembunyikan wajah malunya dari hadapan baba umma. Ia yang sudah sangat semangat dan yakin bisa menemukan perempuan itu. Ya, sebenarnya Arfan sudah menemukannya. Hanya saja, ternyata perempuan itu sudah menjadi milik orang lain.
Manusia hanya bisa berencana, selebihnya Allah yang menentukan. Sekuat apapun kita berusaha, jika bukan takdirnya, maka sampai kapanpun tidak akan pernah menjadi milik kita. Pun sebaliknya, jika memang sudah takdir, Allah pasti akan memberikan seribu satu jalan untuk kita bisa memilikinya. Sekalipun kita tidak pernah berharap.
"Abang nggak cerita Om, yang jelas kemarin sore dia pulang dengan wajah lesu, kayak orang lagi patah hati gitu," ujar Razi jujur sesuai dengan apa yang dilihatnya kemarin.
"Abang patah hati?" Zia mengintip wajah Arfan dari celah tangannya. Kemudian beralih mengelus lengan Abangnya itu.
"Biarin Abang tenang dulu ya," ujar Umma.
Beberapa detik kemudian, seorang waitress datang membawa minuman pesanan mereka. Azril sengaja hanya memesan minuman, karena sebenarnya tujuan mereka kesini bukan untuk makan-makan, melainkan ingin menyampaikan sesuatu pada Arfan.
"Bang, minumannya." Zia menempelkan gelas berisi jus dingin ke tangan Arfan. Hal itu sontak membuat Arfan kaget, karena dinginnya.
Arfan tak berani menatap umma dan babanya, ia masih agak menunduk sambil meminum jus anggur. Rasanya masih malu jika harus benar-benar menatap orang tuanya. Mereka pasti akan menertawakan Arfan akan sikapnya yang terlalu yakin dan terburu-buru, hingga akhirnya semua tak sesuai rencana. Lebih dari itu, Arfan juga takut umma dan babanya kecewa akan sikapnya kemarin.
"Jadi gimana sayang?" Tanya Azifa lembut pada putranya.
"Ee, i-itu Umma," jawab Arfan gugup.
"Nggak papa, Umma sama Baba nggak akan marah," ujar Azifa meyakinkan.
"Arfan gagal," jawabnya.
"Maksudnya?" Penyataan Arfan begitu menggantung orang di sekelilingnya.
"Sebenarnya Abang sudah menemukan perempuan itu, tapi-," lagi-lagi Arfan menggantung ucapannya.
"Tapi apa Bang?" Tanya Zia yang sudah tidak sabar.
"T-tapi, ternyata dia sudah-,"
"Sudah menikah," ujar Arfan lega.
Semua orang menatapnya tak percaya, termasuk Azril dan Azifa. Sedari tadi mereka hanya berpikir jika Arfan tidak bisa menemukan perempuan itu, hingga ia merasa patah hati. Namun itu semua salah, ternyata putra mereka sudah menemukan perempuan itu, tapi dia sudah menikah.
Sebenarnya sesuatu yang dikerjakan dengan terburu-buru itu hasilnya akan kurang maksimal. Alangkah lebih baiknya, jika apa-apa itu dipersiapkan dengan matang terlebih dahulu. Walaupun lambat, jika hasilnya memuaskan kenapa tidak? Kalaupun cepat, jika hasilnya kurang memuaskan, maka yang akan kita dapat juga tidak akan sesuai dengan ekspektasi.
Sama juga dengan Arfan, sekarang ia baru menyadari. Sikapnya kemarin itu memang terkesan buru-buru. Hanya sekali istikharah, ia sudah sangat yakin akan keputusannya berangkat ke Bandung. Tidak, tidak yakin sepenuhnya. Hanya nafsunya saja yang tergesa-gesa. Sebenarnya dalam hati kecil Arfan masih memiliki keraguan. Seharusnya, ia harus mengulang istikharahnya lagi sampai benar-benar yakin. Karena anjurannya memang begitu, jika tidak yakin maka perlu diulangi lagi sampai yakin.
"Umma maaf ini salah Abang. Abang emang terlalu buru-buru," ujar Arfan.
"Gapapa nak, lain kali jadikan ini pelajaran ya,"
"Percayalah, jodoh itu nggak akan kemana. Jadi abang nggak perlu buru-buru, kalau dia memang takdir abang, pasti akhirnya akan sama abang juga. Sebaliknya, kalau dia bukan takdir abang, sekuat apapun abang berusaha, sampai kapanpun kalian nggak akan bersatu." Azifa menggenggam erat tangan putranya. Wanita paruh baya itu seakan ikut merasakan kesedihan dan kekecewaan putranya.
"Iya Umma, mungkin ini balasan dari Allah karena Abang terlalu berharap sama manusia." Arfan berhambur dalam pelukan Ummanya.
"Strong boy-nya Baba. Jangan lama-lama patah hatinya, insyaAllah sebentar lagi semuanya akan terobati." Azril juga ikut memeluk putranya.
"Sangat mengharukan," ujar Razi dan Zia bersamaan.
"Dramatis banget ya," sambung mereka.
"Iya," keduanya sama-sama mengangguk sambil memperhatikan adegan haru di depan mereka.
Suasana kembali menjadi lebih tenang setelah Azril dan Azifa melonggarkan pelukannya pada putra mereka. Arfan juga terlihat jauh lebih tenang dan lega sekarang. Ia sadar, bahwa dirinya harus segera bangkit. Percuma juga, semuanya sudah terjadi. Yang terpenting sekarang adalah bagaimana ia bisa menerima kenyataan ini dengan lapang dada. Seperti kata umma, perempuan itu memang bukan takdirnya. Maka Allah tidak akan pernah menyatukan mereka. Dan perempuan itu sudah menemukan takdirnya.
Jika Arfan tak kunjung bangkit, menyedihkan sekali dirinya. Perempuan itu bahkan tidak mengenalnya. Dia sudah bahagia bersama pasangannya. Lalu untuk apa Arfan meratapinya, seharusnya dia bisa cepat melupakan dan menemukan perempuan yang benar-benar jodohnya.
Abang, lihat ini." Azifa menunjukkan sesuatu dari layar handphonenya.
"Kenapa Umma?" Arfan meraih handphone ummanya.
Azizah konveksi dinyatakan mengalami kebangkrutan, diduga uang konveksi dibawa kabur oleh adik ipar pemilik konveksi Ibu Azizah Atmajaya.
"Astaghfirullah, Umma, ini bukannya Tante Azizah yang waktu itu Umma ceritakan?" Tanya Arfan.
"Iya Abang, kemarin suami Tante Azizah meninggal dunia, beliau mengalami serangan jantung setelah tahu kenyataan ini."
"Innalilahi wa innailaihi raji'un," ujar Arfan, Razi, dan Zia bersamaan.
"Tante Azizah sekarang juga kritis, penyakitnya kambuh setelah mengetahui kenyataan ini juga," jelas Umma.
"Astaghfirullah," ujar Arfan.
"Jadi sekarang kita mau jenguk Tante Azizah?" Tanya Arfan.
"Abang, Umma sama Baba nggak tau gimana reaksi abang setelah mendengar penjelasan kami sebentar lagi." Azifa menatap Azril, kemudian beralih menatap putranya.
Entah mengapa, ucapan Ummanya itu membuat perasaan Arfan semakin tak karuan. Rasa penasaran, takut, bingung semuanya menjadi satu, berputar-putar dalam pikirannya. Suasana tegang juga mendukung Arfan semakin getar-getir. Ya Allah, ada apa ini sebenarnya?
"Nak, kalau misalnya Abang diminta untuk menikah hari ini juga gimana?"
"Ya nggak mungkin Umma. Orang jodohnya aja belum ada," Arfan menanggapi pertanyaan Ummanya sebagai candaan untuk menutupi kegugupannya.
"Kalau misalnya ada?" tanya Umma.
"Umma jangan bercanda dong, ya nggak mungkin lah," Arfan masih tetap menanggapi dengan candaan.
"Yaudah Umma, Baba, katanya mau jenguk Tante Azizah. Iyakan double Zi?" Arfan beralih menghadap adik dan sepupunya. Arfan memang begitu, jika dua orang itu berkumpul, ia memanggilnya double Zi. Namanya saja Zia dan Razi.
Bukan tanpa alasan, Arfan berujar demikian karena bermaksud menghindar dari pertanyaan ummanya tadi. Sejujurnya Arfan juga tidak tahu itu mengarah pada keseriusan atau hanya sekedar bertanya saja. Tapi yang jelas, ada rasa yang tak bisa dijelaskan sekarang. Pertanyaan itu masih terngiang-ngiang di pikirannya.
"Abang duduk," tegas Azifa.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 40 Episodes
Comments
manda_
lanjut thor semangat
2022-10-18
0