Sad Boy

..."Berharap kepada manusia itu sumber kekecewaan, sedangkan pada Allah tidak"...

...Thank You Captain...

...Karya Alfia Ramadhani...

"Bandung, I am coming," ujar Arfan saat baru pertama kali menapakkan kakinya di kota kembang ini.

"I will find you soon, calon jodoh" ujar Arfan dan kakinya mulai melangkah ke suatu tempat yang sudah menjadi tujuan utamanya datang ke sini.

Jalanan Bandung kali ini relatif ramai lancar, rasanya orang-orang sudah sampai di tempat kerjanya masing-masing, jadi tak ada lagi dari mereka yang memenuhi jalanan. Arfan memilih untuk berjalan kaki, karena cuaca pagi menjelang siang ini tak terlalu panas. Tak lupa masker dan kacamata ia kenakan, gayanya sudah persis seperti para idol, sayangnya tidak ada yang mengawal.

Jalanan yang Arfan lewati cukup aestethic, tapi lagi-lagi ia tidak ada teman untuk diminta memotretnya. Padahal kamera DSLR turunan dari Babanya selalu ia bawa kemana-mana. Masih ingat kan, kamera yang selalu Azril dan Azifa pakai untuk berfoto-foto dengan Rendy sang fotografer handalnya? Ya, itulah kamera Arfan saat ini, kata Baba disini banyak sekali kenangan dengan Ummanya. Jadi alangkah lebih baiknya jika Arfan juga menumpuk kenangannya disini, untuk dilihat di kemudian hari.

"Dasar jomblo, sini gue fotoin," tiba-tiba tangan seseorang mendarat di pundak Arfan.

"Astaghfirullah, siapa Lo," ujar Arfan kaget.

"Astaghfirullah sepupu nggak tau diri, masa liat yang begini kayak liat setan," balasnya.

"Lo yang nggak tau diri, ngagetin orang aja. Gue kira copet, dasar adik kecil," ujar Arfan tertawa terbahak-bahak.

"Jangan panggil saya adik kecil, nama saya Razi," ujarnya mengikuti gaya kartun shiva yang selalu mereka tonton bersama waktu kecil.

"Yaudah, gua nggak ada waktu. Jangan nongol-nongol lagi." Arfan segera bergegas, namun ternyata Razi ikut mengejar.

"Woi, perlu gua bawa ke THT?"

"Yaelah Bang, santai dong. Kalau nggak disuruh Ammah Azifa gue juga nggak akan cari kerjaan ngikuti Lo," Razi menghalangi langkah sepupunya.

"Ya Allah Umma, kenapa harus dia."

"Gua ini anak TNI Bang, jadi bisa ngelindungin lo dari mara bahaya atau ancaman SARA," ujar Razi.

Arfan hanya melongo, sepupunya yang satu ini memang aneh.

"Stop diem, kalau mau ikut ada syaratnya. Pertama, diem. Kedua, diem. Ketiga, diem. Intinya jangan berisik!" Arfan membiarkan langkahnya diikuti sepupu anehnya itu.

Mereka tidak berjalan beriringan, melainkan depan belakang. Arfan sudah seperti idol yang diikuti oleh seorang bodyguardnya dibelakang, tapi sayangnya hanya satu. Sementara Razi pasrah berjalan, ia hanya ingin memenuhi amanah ammah dan om nya agar menemani abang sepupunya itu. Bahkan sampai saat ini Razi belum tau apa tujuan Arfan yang sebenarnya. Tapi ia malas bertanya lebih lanjut, abang sepupunya itu sedang galak-galaknya.

Beberapa menit kemudian mereka sampai di MRT, Arfan masuk begitu saja. Sedangkan Razi masih diam di tempat, ia merogoh sakunya. Benda yang ia cari tak kunjung ditemukan, ah sial, Razi tidak membawanya. Dari awal memang tak pernah terpikirkan olehnya untuk membawa kartu MRT. Lalu bagaimana ini? Sedangkan Arfan terus saja berjalan tapi menoleh kebelakang sedikitpun.

"Masuk." Seseorang menyodorkan kartu MRT.

"Alhamdulillah, Abang gua masih peduli." Razi menerima kartu itu.

"Berisik, yaudah cepet." Arfan menarik tangan sepupunya.

"Bang, gue ada salah apa sih. Please jangan galak-galak, gua beneran takut." Arfan bergidik ngeri.

"Gue nggak mau lo ikut," tegas Arfan.

"Tapi kan ini amanah dari Ammah Bang. Takutnya Abang kenapa-kenapa,"

"Gue bisa jaga diri. Sekarang gue udah pesenin lo tiket, pergi sana. Biar gue urusin urusan gue sendiri." Arfan berlalu meninggalkan Razi yang tampak kebingungan.

Jujur saja, sebenarnya Arfan punya alasan untuk ini. Ia tidak mau nantinya Razi ikut susah jika bersamanya. Apalagi Arfan sendiri belum bisa memastikan siapa perempuan itu. Ia hanya tidak mau menyusahkan orang lain, apalagi ini adalah masalah pribadinya. Arfan ingin mereka nantinya ikut merasakan kebahagiaan yang ia rasakan, tanpa harus ikut pusing dan bingung.

Agar tak terus mengganjal dalam pikirannya, Arfan memutuskan untuk mengirimkan pesan permintaan maaf dan penjelasan akan sikapnya ini pada Razi. Arfan juga mengatakan agar Razi tidak perlu menyampaikan apapun tentang ini pada Umma dan Babanya. Jika tidak, Arfan takut Razi akan diomeli oleh Baba dan Ummanya.

Orang-orang berdesakan untuk masuk ke MRT, sementara Arfan yang berada di tengah-tengah ikut terombang-ambing, jujur ini membuatnya pusing. Tak ingin terus larut dalam kerumunan ini, akhirnya Arfan memutuskan menepi dulu, tak peduli apakah nanti ia mendapatkan tempat duduk atau tidak, yang terpenting sekarang ia selamat.

"Maaf ini kertasnya jatuh." Seseorang menyodorkan kertas berwarna biru pada Arfan.

"Oh iya, terima-." Saat Arfan akan mendongak, di depannya sudah tidak ada siapa-siapa.

Netranya menelusuri ke seluruh sudut, namun hasilnya nihil. Tampak orang-orang didepannya sibuk berlalu-lalang dengan urusannya masing-masing. Lalu siapa yang memberikan kertas itu? Tunggu, bahkan Arfan tidak tahu kertas apa yang ada di genggamannya sekarang.

Perlahan Arfan mulai membuka kertas biru itu. Sontak ia terkejut saat melihat fotonya di tempel disana. Arfan menempelkan jari telunjuk di dahinya, laki-laki itu sedang berpikir. Sedetik kemudian ia ingat, foto itu diambil 3 tahun yang lalu saat ia akan masuk sekolah penerbangan.

"Ck, ganteng juga gue dulu," Arfan memuji dirinya sendiri.

Pandangan Arfan mulai fokus pada tulisan rapi di kertas itu. Bibirnya juga bergumam, tanda ia sedang membaca isinya. Arfan tau, itu adalah tulisan Ummanya. Tapi untuk apa Umma menulis ini. Dan kapan Umma memberikan ini padanya. Ah, rasanya Arfan harus membaca dulu untuk tau itu semua.

"Umma," gumam Arfan lirih.

Netranya masih fokus kepada tulisan yang baru saja ia baca. Seketika terbesit keraguan dalam benak Arfan. Keraguan akan tujuannya datang ke Bandung untuk mencari seseorang yang membuat hatinya merasakan jatuh cinta. Tiba-tiba Arfan ragu dengan perasaan itu, apa benar itu yang dinamakan jatuh cinta? Atau hanya getaran biasa karena gugup?

"Ya Allah." Arfan mengusapkan kedua tangannya pada wajah.

"Ah, bagaimana ini?" Lagi-lagi Arfan mengusap wajahnya kasar.

"Mas, maaf MRT nya sudah mau berangkat," ujar seseorang disampingnya.

"Astaghfirullah, terimakasih Pak." Setelah mengucapkan terimakasih Arfan segera bergegas masuk ke MRT.

Dan benar saja, di dalam MRT Arfan tidak mendapatkan tempat duduk. Ia terpaksa berdiri dan menyandarkan badannya. Pikirannya masih berkecamuk dengan keraguan-keraguan tadi. Surat dari ummanya benar-benar membuat mata Arfan terbuka. Apa jangan-jangan ini hanya nafsu belaka? Nafsu akan perasaan yang ia pikir adalah jatuh cinta. Sehingga ia datang kesini untuk mencari perempuan itu. Ya Allah, berikanlah Arfan petunjuk.

Lima belas menit kemudian, Arfan menginjakkan kakinya di stasiun. Ia berjalan menyusuri area stasiun hingga menemukan pintu keluar. Setelah itu ada tukang becak menawarinya tumpangan, seketika itu Azril bersedia. Lagi pula pikirannya sedang tidak baik-baik saja, bisa-bisa ia berjalan sambil melamun.

"Mau kemana Mas?" Tanya tukang becak itu.

"Teras Cikapundung Pak," jawab Arfan.

Tukang becak itu mengayuh becaknya menuju Teras Cikapundung, salah satu tempat wisata di Bandung. Di sana terdapat jembatan merah. Ya, di sanalah tempat Arfan menemukan perempuan yang ia maksud. Perempuan berwajah samar yang mengucapkan terimakasih saat Arfan mengambilkan brosnya yang jatuh.

Saat tukang becak memberitahu bahwa tujuan sudah dekat, saat itu juga Arfan merasakan degupan jantungnya berdetak lebih kencang. Bersamaan dengan itu, hatinya berharap perempuan yang ia temui seminggu yang lalu itu kembali ia temukan hari ini.

"Ini Pak." Arfan memberikan lembaran uang 50 ribuan pada tukang becak.

"Maaf Mas, terlalu banyak." Tukang becak itu hendak mengembalikan uang yang Arfan berikan.

"Ambil aja Pak, saya ikhlas. Permisi." Arfan buru-buru beranjak meninggalkan tukang becak yang tampak kegirangan itu.

Suasana Teras Cikapundung siang ini tidak terlalu ramai, hanya ada beberapa orang yang sedang berlalu-lalang, mungkin mereka adalah para karyawan kantor yang sedang menikmati jam-jam istirahat.

Arfan terus berjalan menuju jembatan merah yang sudah tampak di depan matanya. Tapi, perasaannya berubah menjadi kecewa, pasalnya disana tidak ada siapapun. Termasuk perempuan yang sedang ia cari. Namun Arfan tak menyerah, walau berat ia tetap melangkahkan kakinya. Arfan selalu berpikir positif, bisa saja tiba-tiba seseorang itu datang.

Arfan menyandarkan tubuhnya di jembatan merah sambil menikmati udara segar Teras Cikapundung yang dipenuhi pohon-pohon besar. Kemudian ia beralih memperhatikan sungai di bawah jembatan itu. Airnya memang tidak cukup jernih, namun alirannya mampu membuat Arfan tenang. Ia memejamkan mata, berharap dengan ini bisa merilekskan pikirannya lagi.

Arfan memperhatikan pantulan dirinya di sungai, tapi tiba-tiba muncul pantulan yang lain, tepat disampingnya. Pantulan yang sama persis dengan posisinya, tunggu siapa dia. Arfan menggosok-gosok matanya, memastikan bahwa indra penglihatannya tidak salah menangkap. Dan hasilnya masih sama, Arfan melihat bayangan itu.

"Allah kembali mempertemukan kita," suara lembut itu tertangkap oleh telinga Arfan.

Arfan mengangkat kepalanya, ia harus memastikan siapa orang disampingnya. Suara lembutnya benar-benar menggetarkan hati Arfan, suara itu benar-benar tidak asing di telinganya. Tapi suara siapa itu? Dimana Arfan pernah mendengarnya? Jujur, ia juga tidak tahu.

"Kk-kamu?"

Arfan menoleh, tapi tidak ada siapa-siapa disampingnya. Lagi-lagi Arfan menggosok-gosok matanya, kali ini ia berharap penglihatannya salah. Ia berharap seseorang itu masih ada disampingnya. Namun hasilnya nihil, Arfan tidak melihatnya. Netranya masih mencoba menelusuri ke sekitarnya.

"Hei, dimana perempuan tadi?" Arfan benar-benar kebingungan, ia masih mencoba mencari-cari perempuan tadi. Ia berjalan dari tempatnya sekarang sampai ujung jembatan, namun hasilnya tetap nihil.

"Mas, ada apa?" Seorang laki-laki menghampiri Arfan.

"Dimana perempuan yang tadi berada di samping saya?" Arfan bertanya balik.

"Perempuan?" Laki-laki itu tampak kebingungan.

"Iya perempuan yang ada di samping saya," ujar Arfan mempertegas.

"Saya sudah dari tadi berada disini, tapi tidak ada siapapun di samping anda," ujar laki-laki itu. Sontak Arfan terkejut, bagaimana mungkin tidak ada siapapun, jelas-jelas ia mendengar ucapan perempuan itu tadi.

"Astaghfirullah," Arfan menempelkan kedua tangannya menutup wajah.

Ternyata sedari tadi ia hanya berhalusinasi, pasalnya tidak ada siapapun disini. Arfan tak hentinya beristighfar, harapannya terlalu berlebihan, sampai-sampai pikirannya berhalusinasi. Bersamaan dengan itu harapannya seakan runtuh, baru saja Arfan merasakan kebahagiaan, tapi sayangnya itu hanya halusinasinya.

"Sayang, ini minumannya."

"MasyaAllah, terimakasih istriku tersayang."

Deg

"Apa dia bilang, istriku tersayang?"

Bukan, bukan karena Arfan terbawa perasaan saat melihat adegan romantis di depannya. Tapi, ada satu hal yang membuatnya teringat akan kejadian sekilas waktu itu. Arfan masih memperhatikan sepasang kekasih di depannya, lebih tepatnya memperhatikan jaket yang dikenakan perempuan yang tak lain adalah istri laki-laki tadi.

"Blazernya mirip sekali," gumam Arfan.

Entah ini sebuah kebetulan atau apa, yang jelas Arfan tidak salah lagi. Blazer yang dikenakan perempuan di depannya sangat mirip dengan blazer perempuan yang ia tolong saat itu. Blazer berwarna abu-abu muda yang ia lihat sekilas dari perempuan itu.

Arfan tak bisa menepis pikirannya, walaupun ia tahu mungkin saja ini hanya kebetulan, pasalnya seringkali banyak orang menggunakan pakaian yang sama. Tapi entah mengapa ia benar-benar yakin jika perempuan di depannya saat ini adalah perempuan yang ia temui seminggu yang lalu di tempat yang sama, jembatan tempatnya berdiri sekarang. Hanya saja, ternyata perempuan itu sudah menikah.

Rasanya seperti ada ribuan bom menghantam tubuhnya, hatinya benar-benar sakit sekarang. Ia melihat dengan mata kepalanya sendiri, seseorang yang membuat hatinya tergetar, ternyata sudah menjadi milik orang lain. Mungkin jika Arfan perempuan, pasti ia sudah menangis sejadi-jadinya. Tapi saat ini dirinya tidak ingin menangis, hanya ingin segera pergi dari sini. Bersama kekecewaan yang ia ciptakan sendiri.

"Ya Allah, ternyata seperti ini sakitnya berharap kepada manusia. Ampuni hamba ya Allah," Arfan menjatuhkan dirinya ke kursi taman, ia menunduk dan membiarkan tangannya menutupi wajah kekecewaan dan penyesalannya saat ini.

Mungkin ini balasan dari Allah karena ia terlalu berharap kepada manusia. Ia memang meminta petunjuk Tuhannya dengan beristikharah, tapi tidak bisa dipungkiri, harapannya lebih besar daripada petunjuk yang Allah berikan untuknya.

"Abang tau nggak sumber kekecewaan terbesar itu apa?" Arfan menggeleng.

"Berharap kepada manusia," ujar Umma.

Seketika Arfan teringat ucapan ummanya waktu itu. Saat ini Arfan benar-benar merasakan. Harapannya yang terlalu besar pada perempuan itu mengantarkannya pada kekecewaan yang sama sekali tak pernah ia bayangkan. Jika bisa memutar waktu kembali, lebih baik ia tak pernah bertemu dan merasakan suatu getaran yang ia yakini sebagai getaran cinta.

Lama termenung, Arfan mengangkat kepalanya dan merilekskan ke kanan dan ke kiri. Ternyata di depannya sudah banyak orang berlalu-lalang, tempat ini sudah mulai ramai dikunjungi banyak orang. Entah apa yang ada di pikiran orang-orang tadi saat melihat kondisi Arfan. Tapi Arfan tak peduli, mungkin mereka akan merasakan yang sama saat berada di posisinya sekarang.

Allahuakbar.. Allahuakbar

Suara adzan dzuhur mulai terdengar, seketika Arfan segera bangkit dan bergegas memenuhi panggilan Allah. Rupanya masjid berada tak jauh dari sini, karena suara adzan begitu nyaring terdengar. Arfan menelusuri jalan keluar dan berjalan beberapa menit hingga ia sampai di masjid. Dengan segera ia menuju ke tempat wudhu, karena sebentar lagi sholat akan dimulai.

Selesai wudhu, Arfan masuk pada barisan orang-orang yang sudah merapatkan shaf. Imam sudah memulai gerakan takbir, Arfan mengikutinya hingga semua rangkaian shalat selesai. Banyak tipe-tipe manusia saat setelah imam melakukan salam. Ada yang buru-buru bergegas, mungkin ini kebanyakan para pekerja kantoran yang dituntut untuk segera masuk kembali, tapi ada juga yang hanya sekedar ingin cepat-cepat pulang. Ada yang tetap khusyu' mengikuti dzikir dan doa yang dipimpin oleh imam. Dan kini Arfan berada di tipe yang kedua. Sejak kecil, Arfan selalu diajak babanya ke masjid komplek. Namun Arfan selalu mendapati babanya tak bersegera pulang, bahkan saat yang lain sudah beranjak.

"Ba, ayo pulang. Itu Om sama Pakde sudah banyak yang pulang," rengek Arfan kecil pada babanya, Azril.

"Arfan, sebentar lagi ya nak," ujar babanya.

Tak ada pilihan lain, Arfan kecil terpaksa menuruti titah babanya. Lagi pula ini masjid, setaunya kalau berada di tempat ini dilarang berisik. Jadi Arfan berusaha sabar, saat selesai nanti Arfan akan menanyakan ini pada babanya.

"Jadi kenapa Baba tadi nggak pulang cepet-cepet kayak Om dan Pakde yang lain?" Tanya Arfan pada babanya, saat ini mereka sedang duduk-duduk di teras masjid.

"Abang, jadi setelah sholat itu waktu mustajab bagi seorang hamba untuk berdo'a," jawab baba.

"Mustajab itu apa Ba?"

"Waktu mustajab itu adalah waktu-waktu dikabulkannya doa. Salah satu waktu itu ada saat selesai sholat fardhu. Sunnah yang lain juga berdzikir, jadi selesai sholat lebih baik kita jangan buru-buru beranjak, tapi berdzikir dan berdo'a dulu. Gitu nak," jelas Baba. Arfan kecil mengangguk tanda paham.

"MasyaAllah, nanti Abang ngga akan ngerengek lagi deh Ba. Arfan mau berdoa banyak-banyak sama Allah." Azril mencubit pipi putranya gemas.

Terpopuler

Comments

manda_

manda_

lanjut

2022-10-18

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!