..."Perempuan itu bukan jemuran yang bisa seenaknya digantung tanpa tahu kapan akan diangkat. Tapi ia adalah berlian dalam kaca, untuk mendapatkannya membutuhkan usaha yang tak main-main"...
...Thank You Captain...
...Karya Alfia Ramadhani...
"Ekhm, jadi Abang lagi naksir siapa?"
"Uhuk..uhuk." Arfan yang sedang minum tiba-tiba tersedak karena pertanyaan spontan Ummanya.
"Sayang, Arfan lagi minum loh." Azril menoleh kepada Azifa. Sementara yang dimaksud hanya senyum-senyum menampakkan deretan gigi putihnya.
"Jujur aja bang, kasihan Umma sama Baba udah penasaran banget tuh," ujar Zia terkekeh.
Sontak saja gadis itu mendapat tatapan tajam dari kedua orang tuanya. Zia tak berhenti terkekeh, akhirnya ia memilih untuk menghindar dengan dalih membereskan piring dan gelas kotor.
Suasana di meja makan masih hening, tampak Arfan sedari tadi masih memegang gelas minumnya. Sementara umma dan baba tampak santai menghabiskan makanannya. Tak tahan dengan suasana canggung seperti ini, akhirnya Arfan memutuskan untuk berbicara.
"Umma, Baba," ujar Arfan lirih.
"Iya Abang." balas Azifa sembari meletakkan sendok dan garpunya.
"S-sebenernya Abang memang lagi menaruh perasaan sama seseorang. Tapi-," Arfan menghela napasnya,"Abang belum yakin," tampak raut wajah Arfan sedikit lebih lega.
"Sebaiknya jangan terlalu lama di pendam, nggak baik juga. Tapi kalau Abang belum yakin, satu-satunya cara adalah sholat istikharah." Umma meraih tangan putranya.
"Iya Umma, Abang sudah ikhtiarkan sholat istikharah, tapi belum dapat jawabannya. Sebenarnya Abang memang akan kasih tau Baba sama Umma kalau sudah yakin, tapi doi udah bocorin dulu, dasar." Arfan memberikan tatapan tajam pada Zia.
"Abang sayang, Zia minta maaf ya. Soalnya Zia keceplosan." Zia mendekat ke abangnya.
"Dasar adek tukang keceplosan," ujar Arfan. Zia tampak terkekeh.
"Berarti Umma sama Baba ngga boleh tanya-tanya lebih lanjut?"
"Besok aja ya Umma, Abang ngantuk," Arfan seakan menghindar. Ia buru-buru naik ke lantai atas.
"Yaudah biarin aja, kasih dia kesempatan dulu," Azril meyakinkan istrinya. Azifa mengangguk setuju.
Azifa dibantu Zia mulai membereskan semua perlengkapan dapur sisa makan malam kali ini. Prinsipnya sejak masih gadis memang begitu, Azifa tidak akan tenang jika belum membersihkan peralatan dapur sebelum tidur. Alhasil ia selalu biasakan hal ini pada Zia, maka dari itu sekarang Zia sebelas dua belas dengan Ummanya.
Setelah semua perlengkapan selesai dicuci dan dirapikan, kini saatnya istirahat. Zia sudah lebih dulu masuk kamar, menyisakan Azifa yang masih menemani suaminya menikmati teh hangat. Azifa memandangi wajah Azril, sudah 22 tahun lamanya ia hidup bersama dengan Azril. Laki-laki yang pernah membuatnya hancur kala musibah pesawat waktu itu. Namun saat ini Azifa sangat bersyukur karena ia masih bisa hidup bersama dengan Azril, sampai sekarang putra putri mereka sudah sebesar ini.
"Umma." Azril mencubit pipi Azifa.
"Eh, iya Ba," Azifa tersadar dari lamunannya.
"Kenapa merhatiin Mas kayak gitu sayang? Mas salting loh ini." Azril membelai pipi Azifa.
"Nggak, aku ngga nyangka aja. Kita udah sama-sama selama 22 tahun ya Mas kita sama-sama kayak gini. Bahkan sekarang anak-anak kita sudah sebesar ini," jawabnya meraih tangan sang suami.
"Iya sayang, Mas juga nggak nyangka. Kayaknya baru kemarin nemenin bumil ngidam bubur ayam tiap hari," Azril menggoda istrinya. Pasalnya di kehamilan Arfan dan Zia, bubur ayam selalu menjadi primadona ngidam Azifa yang tak pernah terlewatkan.
"Sama roti boy," ujar keduanya bersamaan, diiringi dengan suara tawa.
"Mas peluk." Azifa menghamburkan dirinya di dada bidang Azril.
Salah satu hal yang membuat langgeng kedua pasangan ini adalah sikap mereka yang tetap romantis sampai saat ini, bahkan saat ini anak-anak mereka sudah besar. Dan yang tak kalah penting juga saling keterbukaan satu sama lain, sejak kejadian salah paham waktu itu, baik Azril maupun Azifa bertekad untuk saling terbuka satu sama lain dalam hal apapun itu.
Dan yang tak kalah penting adalah kerjasama mereka dalam mendidik Arfan dan Zia. Mendidik dan membesarkan anak pahalanya memang besar, namun itu juga bukan tugas yang mudah. Oleh karena itu, kerjasama keduanya dalam mendidik anak-anaknya bisa dikatakan berhasil. Termasuk dalam mendidik sesuai dengan nilai-nilai agama.
Sampai saat ini, Arfan dan Zia mempunyai bekal ilmu agama yang cukup dari kedua orangtuanya. Bahkan sejak kecil Azifa dan Azril juga mengajarkan hafalan Al-Quran kepada mereka. Alhasil saat ini keduanya bisa melihat anak-anak mereka tumbuh sebagai pribadi yang paham agama.
"Terimakasih ya sayang, karena kesabaran dan kerja keras kamu, sekarang anak-anak kita tumbuh menjadi pribadi yang sholeh dan sholeha." Azril mengelus puncak kepala Azifa yang tertutup hijab.
"Mas Azril juga, kita ini ibarat mengemudikan pesawat Mas. Tanpa seorang Captain, maka pesawat nggak akan bisa terbang. Pun tanpa kopilot, pesawat tidak akan terbang sempurna. Begitupun aku tanpa Mas Azril, aku juga belum tentu bisa mendidik mereka. Jadi ini semua berkat kerjasama kita, tentunya dengan doa orang tua juga ridho Allah."
"Ekhm, pasangan teruwuw sepanjang masa."
Tiba-tiba Arfan muncul dengan membawa botol tupperware, sepertinya ia akan mengisinya dengan air galon. Namun saat melewati meja makan, netranya menangkap keromantisan Baba dan Ummanya, dan percayalah ini bukan pemandangan yang pertama kali Arfan lihat. Arfan hanya bisa geleng-geleng kepala dan pura-pura tidak melihat. Di sisi lain ia juga ikut bahagia dengan kebahagiaan Baba dan Ummanya walaupun rasanya ingin terbang ke mars.
"Abang," ujar Azril dan Azifa bersamaan, mereka berdua terlihat menahan malu.
"Abang merem, Abang nggak liat." Arfan memalingkan wajah kemudian memejamkan matanya dan segera naik kembali ke lantai atas.
Arfan tampak ngos-ngosan sampai di lantai atas. Ia disambut oleh Zia yang tampak aneh melihatnya. Adiknya itu sedang berdiri tepat di depan kamarnya, tangannya menyendekap, persis seperti ibu kos yang akan menarik biaya bulanan.
"Kenapa Bang?" Tanya Zia.
"Nggak kuat liat keuwuan Baba sama Umma. Yaudah minggir Abang ngantuk." Arfan menerobos Zia hingga gadis itu terjatuh ke lantai.
"Dasar Abang nggak ada akhlak, main dorong-dorong aja. Sakit tau," ujar Zia sembari berusaha bangkit.
"Sorry, sorry, yaudah sana keluar. Abang mau tidur Zia sayang," Arfan sudah memposisikan dirinya di atas kasur.
"Dasar jomblo ngebet nikah, awas besok pasti diintrogasi sama Umma Baba." Zia menutup pintu kamar abangnya.
Ceklek.
"Woi, ngapa di kunci," teriak Arfan dari dal kamar.
"Rasain, biar besok nggak bisa kabur lagi dari Umma Baba," ujar Zia terkekeh.
"Ziaaa, tega banget sama Abang. Awas nggak Abang jajanin lagi kamu," ujar Arfan mengancam. Tak ada jawaban dari Zia, gadis itu memang sudah masuk ke kamarnya.
*****
Sayup-sayup mata Arfan mulai terbuka, tangannya mengerjap-ngerjap mencari benda pipih yang semalam membantunya untuk tidur. Tak kunjung menemukan, akhirnya Arfan memaksakan diri untuk bangun. Tampak netranya menelusuri ke seluruh bagian kasur, namun hasilnya nihil.
"Cari ini?" Tiba-tiba sebuah tangan muncul memegang benda yang ia cari.
"Eh kok bisa sama Umma." Arfan meraih ponsel yang ada di tangan Ummanya.
"Abang, biasakan kalau tidur handphonenya letakkan di nakas. Ngga baik tidur dekat handphone," ujar Azifa.
"Iya Umma maaf, semalem Abang nggak bisa tidur, jadi setel murrotal," Arfan menatap perempuan cantik bermukenah itu.
"Yaudah, ayo tahajjud. Baba sama Zia sudah dibawah." Azifa bangkit meninggalkan putranya.
"Siap Umma," balas Arfan. Kemudian laki-laki itu segera bersiap-siap.
Salah satu kebiasaan yang selalu Azifa dan Azril ajarkan kepada putra-putrinya adalah sholat tahajjud. Bahkan sejak usia mereka lima tahun, mereka sudah sering ikut umma dan babanya, walaupun masih belum terlalu mengerti. Namun saat usianya sudah tujuh tahun, Azifa dan Azril sudah benar-benar menanamkan ini pada mereka.
"Shodaqallahul'adziim"
Rangkaian ibadah pagi hari ini diakhiri dengan tilawah bersama. Biasanya jika Azril sedang libur, ia akan menyempatkan untuk bicara dari hati ke hati dengan keluarganya. Termasuk hari ini, semalam ia dan Azifa sudah merencanakannya.
"Abang, jadi gimana nak. Masih belum mau cerita?" Azifa memulai pembicaraan.
"Umma, Abang kan belum tau diterima atau nggak lamarannya," jawab Arfan.
"Abang?" Semua yang ada disana terperanjat kaget.
"Jadi Abang sudah ngelamar anak orang tanpa sepengetahuan kita?" Azril mempertegas pertanyaannya.
Bukannya menjawab, Arfan malah tertawa terbahak-bahak. Membuat Umma, Baba, dan Zia semakin kebingungan.
"Bukan itu Umma, maksudnya lamaran buat jadi pilot di maskapai A," ujar Arfan.
"Ya Allah, Abang bikin kita deg-degan aja," Azifa mengelus dadanya lega.
"Kalau untuk masalah itu Umma sama Baba paham. Tapi yang jadi pertanyaan kita, perempuan yang kamu maksud itu siapa?"
Deg.
Arfan semakin dibuat dag dig dug dengan pertanyaan Ummanya. Ia bingung, apakah sudah sekarang waktunya ia memberitahu semuanya? Tentang perempuan yang ia temui beberapa bulan yang lalu di Bandung. Perempuan yang membuatnya merasakan jatuh cinta untuk yang pertama kalinya. Hanya karena sebuah ucapan.
"Terimakasih"
Suara itu kembali mengusik pikiran Arfan. Bayang-bayang tentang perempuan itu memenuhi isi kepalanya. Arfan menunduk, berusaha menetralkan detak jantungnya yang berdegup kencang hanya karena mengingat perempuan itu.
"Abang?" Azifa memastikan keadaan putranya.
"Arfan belum tau namanya Umma." Seketika semua mata menatapnya, seakan masih mencoba mencerna apa yang Arfan ucapkan baru saja.
"Loh terus gimana Bang?" Tanya Zia.
"Ya Abang emang belum tau siapa namanya," jawab Arfan santai.
"Terus Zia kemarin dapet cerita gimana dari Abang?" Tanya Azifa pada putrinya.
"Abang cuma bilang lagi naksir sama seseorang Umma, udah gitu aja. Aku tanya lebih lanjut eh malah ngancem-ngancem yaudah," jawab Zia apa adanya.
Arfan terkekeh dengan raut kekecewaan dari mereka yang ada di depannya. Jujur saja, semalam Arfan menghindar karena memang ia belum siap menjelaskan. Pasalnya ia benar-benar tidak tahu siapa perempuan itu, bahkan wajahnya saja masih samar ia lihat. Walaupun tadi bayang-bayang wajah perempuan itu berputar-putar di benaknya, itupun juga belum jelas.
"Abang akan cari perempuan itu ke Bandung," ujar Arfan yakin.
"Lah, sampe segitunya Bang?" Tanya Zia tak percaya.
"Abang, sini dengerin Umma." Azifa meraih tangan putranya.
"Memangnya Abang sudah yakin ingin menikah?"
"Pernikahan itu bukan main-main nak, hanya sekali seumur hidup. Jadi memang perlu persiapan lahir batin. Bukan hanya karena kita menyukai seseorang, kita menikah. Abang juga harus pastikan alasan kenapa Abang ingin menikah dengan dia. Abang juga harus meyakinkan diri lagi. Jangan sampai jauh-jauh datang ke Bandung, terus bertemu orangnya, tiba-tiba abang jadi nggak yakin." Azifa menghela napasnya.
"Pokoknya Umma nggak mau kalau Abang sampai ngegantung anak orang, Umma sama Baba nggak ridho. Ingat, perempuan itu bukan jemuran yang bisa seenaknya digantung tanpa tahu kapan akan diangkat. Tapi ia adalah berlian dalam kaca, untuk mendapatkannya membutuhkan usaha yang tak main-main," jelas Azifa tegas.
"I-iya Umma, Abang janji nggak akan ngelakuin itu. T-tapi, istikharah Abang selalu memberi petunjuk untuk Abang datang ke Bandung," ujar Arfan gugup.
Azifa menatap lekat kedua netra putranya, ia dapat melihat jelas raut keseriusan disana. Mungkin memang seharusnya ia mengizinkan Arfan untuk pergi ke Bandung, mencari separuh agamanya. Bukan, bukannya Azifa ingin mengatur-atur Arfan. Dia hanya ingin yang terbaik untuk putranya, sama seperti waktu itu, saat Ayah dan Bunda hendak mencarikan jodoh untuknya.
Azifa beralih menatap Azril, suaminya. Sedari tadi laki-laki itu hanya diam dan memperhatikan obrolan mereka. Azril tersenyum, mengisyaratkan kesetujuannya pada ucapan Azifa tadi. Namun ada sesuatu yang ingin ia ucapkan, tapi sejak tadi rasanya tak ada kesempatan untuk berbicara.
"Abang, carilah perempuan itu. Jika nanti abang sudah menemukan. Pastikan abang melihat Umma dalam dirinya," ujar Azril.
Tak terkecuali Arfan, Azifa dan Zia juga bingung dengan ucapan Azril. Sebenarnya apa maksudnya, apa nanti harus ada kemiripan antara wajah wanita itu dengan Ummanya?
"Siapa perempuan terbaik yang Abang cintai saat ini?" Tanya Azril.
"Umma," jawab Arfan.
"Kenapa Umma?"Azril balik bertanya.
"Abang nggak punya alasan untuk nggak mencintai Umma. Perempuan yang sudah mengorbankan hidup dan matinya untuk melahirkan Abang. Perempuan yang merawat dan mendidik Arfan sampai saat ini. Perempuan yang selalu ada untuk segala keluh kesah Abang. Dan perempuan yang di kakinya ada Syurga untuk Abang raih. Uhibbuki fillah Umma sayang," jawab Arfan haru.
"Pastikan anak-anak Abang nanti akan menjawab seperti itu tentang ibunya," ujar Azril.
Arfan mengangguk, ia paham dengan maksud babanya. Ternyata baba bukan meminta Arfan menemukan perempuan yang fisiknya mirip dengan umma. Melainkan sifat dan hatinya, yang dengan itu menjadi alasan bagi Arfan untuk mencintainya.
Arfan beranjak dan memeluk Ummanya. Perempuan yang sampai kapanpun selalu menjadi nomer satu dalam hidupnya. Azifa membalas pelukan putranya. Ia benar-benar tidak menyangka, saat ini sudah detik-detik ia akan melepaskan putranya untuk hidup berumah tangga. Sekarang ia mengerti bagaimana beratnya ayah dan bunda dulu, walaupun sebenarnya mereka tidak menampakkan, melainkan menjadi orang yang paling bersemangat.
"Ubibbuka fillah Arfan sayang," kalimat itu Azifa bisikkan di telinga Arfan.
"Pergilah ke Bandung, doa Baba dan Umma senantiasa mengiringi Abang." Azifa melonggarkan pelukannya.
Arfan tersenyum dan mengangguk, kini ia beralih memeluk Babanya. Laki-laki yang selalu menjadi panutan dan hero dalam hidupnya. Laki-laki yang menjadi bagian penting dalam hidupnya, termasuk kesuksesannya saat ini. Arfan selalu belajar dari Babanya, bagaimana menjadi seorang suami yang baik untuk Ummanya. Bagaimana cara memuliakan perempuan, seperti Baba memuliakan Umma. Bagaimana caranya menjadi seorang pilot yang handal, bukan hanya soal menerbangkan pesawat, tapi mengantarkan penumpang dengan selamat.
Arfan sudah mendengar penuturan dari Umma, tentang kejadian 19 tahun lalu yang menimpa babanya. Tentang pendaratan darurat pesawat yang Azril kemudikan. Yang membuat Arfan salut, disaat itu yang babanya pentingkan adalah keselamatan para penumpang. Tak peduli dirinya terombang-ambing di sungai sampai orang-orang baik menolongnya. Hingga akhirnya Azril bisa mendapatkan penghargaan atas kerja kerasnya menyelamatkan penumpang.
"Baba akan selalu menjadi panutan Abang."
"Apa-apa yang baik dari Baba, silahkan Abang ambil. Yang buruk, jadikan pembelajaran saja ya nak." Azril menepuk pundak putranya.
"Semangat."
"Semangat '45."
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 40 Episodes
Comments
manda_
lanjut thor semangat buat up lagi ya
2022-10-18
0