Duduk di kantin yang hampir tak ada orang, itulah yang saat ini Dinda lakukan setelah Mas Arya menelepon untuk menunggunya berlatih basket.
Mas Arya yang dimaksud di sini adalah Mas Arya Dinda, Mas Arya yang benar-benar Dinda sukai.
Beruntung Dinda tak harus menunggu Mas Arya sendirian. Ada beberapa orang yang juga menunggu jemputan.
Dua di antaranya berada satu kelompok dengan Dinda saat outbound tadi dan salah satunya merupakan sepupu dari teman satu kelompoknya.
Mereka berbincang sebentar dan inilah waktu yang tepat. Dinda menceritakan tentang kesalahpahaman yang terjadi padanya.
Mereka bertiga mengangguk mengerti. Dinda bersyukur ketiga orang ini percaya padanya.
Ardi dan Lola pamit duluan karena jemputan mereka sudah tiba. Tinggalah Dinda dan Fany yang masih duduk berdua di kantin.
Tak berselang lama jemputan Fany menyusul. Sekarang Dinda hanya duduk sendirian dengan jus jeruk yang dia minum sedikit demi sedikit sebagai teman menunggunya.
Bahkan jus itu mulai terasa hambar karena esnya yang sudah mencair.
Sebuah pesan dari Mas Arya masuk. Dinda tersenyum saat membaca isi pesan yang mengatakan bahwa latihan basketnya sudah selesai.
Dia berlari menuju lapangan basket yang berada di seberang kantin.
Dinda melihat Maa Arya yang tengah bercanda dengan salah seorang temannya di tim basket.
Teman Mas Arya masih memakai kaos basketnya, sedangkan Mas Arya sendiri sudah berganti baju.
Dinda tak bisa melihat wajah teman Mas Arya itu karena posisi berdiri si cowok yang membelakanginya.
Sambil menunggu Mas Arya selesai berbincang, Dinda lebih memilih melihat sejenak para pemain basket lain yang masih berlatih dengan bergantian memasukan bola ke dalam ring.
Dinda terkesima saat melihat betapa kerennya para pemain basket yang menjulang tinggi itu berhasil mencetak skor.
Tahu begini Dinda memilih menunggu di lapangan basket saja, sekalian cuci mata. Daripada harus menunggu di kantin.
Sedangkan di kantin tadi hanya ada Ardi yang merupakan cowok jadi-jadian. Ya, Ardi sedikit melambai dan juga mas penjaga kantin yang sebenarnya sudah pantas dipanggil Pak.
“Si Alien!” tunjuk seorang cowok pada Dinda.
Dinda merasa tak asing dengan suara menyebalkan itu. Dinda berdoa semoga apa yang dia pikirkan salah.
Sayangnya Dewi Fortuna sedang tak berpihak padanya. Kak Arya, si Arya jadi-jadian tengah berada di samping Mas Arya yang sangat Dinda sukai.
“Alien?” tanya Arya tak mengerti.
“Iya. Alien yang gue ceritain tadi.”
Mati. Apa yang cowok itu ceritakan pada Mas Arya.
“Dia bukan Alien, namanya Dinda,” ujar Mas Arya yang tak suka mendengar temannya mengejek Dinda dengan panggilan aneh.
“Gue balik dulu,” pamit Mas Arya pada temannya.
“Ayo pulang,” ajak Mas Arya menarik tangan Dinda yang masih terdiam di tempatnya.
Mereka sampai diparkiran dengan keduanya yang masih terdiam. Kalau Mas Arya memang dasarnya jarang bicara jika lawan bicaranya tak memulai.
Berbeda dengan Dinda yang akan terus mengoceh lebih dulu tanpa henti.
Dinda naik ke atas montor Arya. Sejak dari lapangan basket tadi sebenarnya Dinda merasa Mas Arya terus mendiamkannya, membuat Dinda tak berani untuk memulai bersuara.
Bahkan saat perjalanan pulang Mas Arya terus berdiam diri. Padahal Dinda penasaran apa yang Kak Arya itu ceritakan pada Mas Arya-nya.
Hah, bahkan Dinda sudah berani menyebut Mas Arya sebagai miliknya.
Padahal rencananya Dinda akan menembak Mas Arya setelah pulang sekolah. Tapi kenapa semuanya jadi serumit ini.
Apa iya Dinda harus menjelaskan sekaligus menyatakan perasaannya pada Mas Arya.
“Jadi, kamu menyukai Arya?” tanya Arya kemudian memulai pembicaraan saat mereka tengah berada di depan rumah Dinda.
“Nggak, Mas. Tadi itu cuma salah paham..”
“Dengar Dinda, Mas nggak masalah kamu suka sama cowok, tapi jangan pacaran dulu. Kamu juga baru lulus SMP, kan?"
"Dan Mas juga nggak setuju kalau kamu sama Arya. Bukannya apa-apa. Arya itu populer di sekolah, takutnya nanti kamu banyak kena masalah dari cewek-cewek yang naksir dia.”
Dinda tersenyum senang mendengar penuturan panjang Mas Arya. Dinda senang karena Arya peduli padanya. Bolehkah Dinda berharap bahwa perasaannya akan terbalas.
“Mas Arya khawatir ya sama Dinda?”
“Iyalah, kamu kan adikku. Mas nggak mau kamu sakit hati gara-gara Arya.”
Hancur sudah harapan Dinda mendengar jawaban dari Mas Arya.
Jadi selama ini Mas Arya hanya menganggapnya sebagai adik, tidak lebih.
Semua perhatian Mas Arya hanya sebatas hubungan kakak yang menjaga adiknya. Bodohnya dia yang berharap terlalu tinggi.
“Oiya, kalau di sekolah jangan panggil Mas Arya. Nanti nggak ada yang tahu. Soalnya teman-teman Mas, manggilnya Tama.”
Lengkap sudah penderitaan Dinda. Kenapa juga Tama baru memberitahunya sekarang.
Ya, Kak Arya dengan Mas Arya memang memiliki nama belakang yang berbeda. Kak Arya Mahendra dan Mas Arya Dwi Pratama.
Jadi Mas Arya lebih dipanggil nama belakangnya. Kalau saja Tama memberitahu Dinda lebih awal, mungkin kesalahpahaman ini tak akan terjadi.
Tapi Dinda juga yang bodoh. Mau-maunya mengaku pada Seryl yang menjadi asal mula masalah ini.
Jika tak sedang memakai helm mungkin Dinda sudah menjambak rambutnya sekarang. Melampiaskan kebodohannya yang unlimited ini.
“Kamu kenapa?” tanya Tama khawatir saat melihat Dinda terlihat lesu.
Mas Arya menatap khawatir karena adiknya itu begitu pendiam hari ini.
“Nggak kok, Mas. Dinda cuma capek aja.”
“Ya udah, istirahat sana. MOS-nya baru sehari lho.”
“Iya.”
"Kalau ada apa-apa cerita sama Mas. Misalnya kalau ada kakak kelas yang galak teus ngusilin kamu bilang sama Mas. Mas kenal semua panitia MOS, jadi mas bisa ngomong ke mereka."
Dinda mengangguk paham. Masalahnya ini semua tidak semudah itu. Bagaimana cara Dinda jujur ke Mas Arya jika cowok itu sudah menolaknya tanpa Dinda sempat mengungkapkan perasaannya.
Tama mengusap puncuk kepala Dinda sayang sebelum pamit pergi.
Dinda terus memperhatikan sampai Tama memasukan montornya ke garasi rumah disebelahnya.
Andai saja Tama tak menjelaskan secara gamblang hubungan mereka tadi, mungkin harinya akan menjadi lebih buruk dari ini.
Mungkin jika Dinda menyatakan cinta dan ditolak. Dia tak akan berani bertemu dengan Tama lagi.
Dinda akan merasa canggung di dekat Tama dan ingin mengubur diri hidup-hidup saja.
Masalahnya Dinda tak bisa hanya diam saja. Jika dia hanya diam maka kesalahpahaman semua orang padanya akan terus berlanjut.
Apa iya Dinda harus membiarkan semuanya salah paham. Sudahlah, biarkan saja. Toh berita itu akan menghilang dengan sendirinya.
Daripada Dinda harus menjadi canggung dengan Tama, dia tak mau hal itu terjadi.
Mungkin membiarkan semua orang salah paham jauh lebih baik daripada meluruskannya tapi dengan resiko harus kehilangan Tama.
~oOo~
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 50 Episodes
Comments