Setiap anak tangga ia susuri dengan rasa malas. Rasanya rumah yang amat besar kini terasa sunyi tanpa kehadiran kedua orangtuanya. Elea berhenti sebentar menatap potret dirinya bersama kedua orangtuanya dalam bingkai yang menempel di dinding. Senyum dari mereka yang Elea rindukan saat ini.
"Mah, Pah, Ara rindu. Kapan kalian pulang ke rumah? Ara rindu di gendong papah, rindu masak bareng mamah." Gumamnya lirih. Kemudian melanjutkan langkahnya kembali menuju ke kamarnya.
Jika di sekolah ia mendapat julukan cewek bar-bar karena selalu membuat masalah, berbeda sekali jika dirinya berada di rumah. Saat melangkahkan kaki masuk melewati pintu utama, ia akan menjadi gadis manis yang begitu rapuh sama seperti gadis kebanyakkannya.
Elea bosan di rumah. Setelah mandi ia berniat untuk pergi dan mengembalikan moodnya lagi. Ia akan pergi kes suatu tempat dimana ia bisa menghilangkan beban pikiran yang ada di kepalanya. Elea tidak berniat mengajak kedua temannya, karena ia tahu kedua temannya itu tengah pergi dengan pacarnya masing-masing. Elea tidak akan mengganggu waktu mereka.
____
Alunan irama yang begitu tenang cocok dengan suasana cafe saat ini. Elea menatap keluar, hujan turun di saat dirinya sudah sampai di tempat tujuan. Sepertinya Tuhan turunkan hujan sebagai pemanis dalam galaunya.
Saat dia tengah menikmati minuman yang ia pesan tadi, tiba-tiba seseorang yang ia kenal berjalan menghampirinya dengan senyuman.
"Sendirian aja?" Tanyanya membuat Elea mengangguk.
"Boleh aku duduk disini?" Tanyanya lagi, lalu Elea mengangguk lagi mempersilahkannya.
"Silahkan."
Niatnya Elea nongkrong di cafe agar tidak ada bertemu orang yang ia kenal. Tapi kenyataannya salah, ia kini bertemu Gilvin, orang yang dia sukai yang tempo hari sudah menolongnya.
"Kamu kenapa? Lagi galau? Kalo mau cerita, cerita aja aku siap dengerin," ujarnya. Seolah bisa menebak isi kepala Elea yang kini menumpuk dengan berbagai masalah.
Gadis itu menggeleng seraya tersenyum, "Gak ada kok kak. Mana mungkin seorang Elea si biang masalah galau." Gilvin pun tersenyum dengan ucapan Elea. Lalu balik bertanya.
"Kamu kenapa hobi banget berantem sama Nina?"
Elea membuang napasnya kasar. Andai saja semua orang tahu biang dari masalah ada pada Nina.
"Aku tuh gak mungkin kepancing kalo ga ada yang ngasih umpan." Ujarnya membuat Gilvin berpikir sejenak, lalu mengangguk paham.
"Aku tau kamu gadis yang baik. Kamu ga akan ngelakuin hal bodoh yang bisa ngerugiin diri kamu sendiri."
Elea sedikit terkejut lalu bertanya, "kak Gilvin percaya aku gak ngelakuin itu semua?" Pemuda itu mengangguk sambil tersenyum padanya.
"Tapi kenapa si ketos dan wakilnya itu percaya kalo aku biang masalah. Sebelum aku jelasin, pasti mereka udah siap ngasih hukuman buat aku." Raut wajah Elea sendu, membuat Gilvin iba dan menarik tangannya yang sedari tadi memegang minuman yang kini tersisa setengahnya.
"Kamu tau El, pemimpin itu harus adil. Kalo kamu ga salah, setidaknya kamu punya bukti untuk kamu tunjukkan dan balik menyerang orang yang sudah memfitnah kamu melakukan sesuatu yang tidak kamu lakukan. Tapi aku liat kamu ga pernah membela diri atas tuduhan Nina selama ini."
"Ya aku males aja. Percuma membela diri juga, mereka semua lebih percaya kebohongan Nina dibandingkan dengerin penjelasan aku."
Gilvin sedikit lebih paham tentang Elea. Kini walaupun gadis itu tidak menunjukan ekspresi sedih, tapi ia tahu ada sisi rapuh dalam dirinya.
Hujan pun mulai reda. Gilvin berniat mengajak Elea pergi dari cafe menuju ke suatu tempat yang dapat membuat Elea menjadi lebih baik.
"Ikut aku yuk," ajaknya.
"Kemana?" Tanpa menunggu jawaban dari Gilvin, gadis itu mulai melangkah mengikutinya.
Dengan rasa bingung dan penasaran, Elea menatap Gilvin yang membawanya ke rooftop cafe tadi. Memang, suasana diatas sana lebih tenang ditambah udara yang sejuk karena hujan yang mengguyur tadi.
"Kenapa kita kesini?" Tanya Elea memberanikan diri setelah Gilvin berhenti di sebuah meja kecil, hanya cukup untuk dua orang.
"Aku tau kamu lagi galau, makanya aku bawa kamu kesini." Ujar Gilvin seraya tersenyum. Lagi-lagi senyum itu membuat Elea terpana. Seperti tahu apa yang sedang Elea rasakan dan butuhkan, kini gadis itu menyandarkan punggungnya dan memejamkan mata. Sementara Gilvin yang duduk di hadapannya, menatap Elea datar, membiarkan gadis itu menghilangkan beban yang ada di pikirannya. Dia tidak akan bertanya inti masalah yang ada di kehidupan gadis itu, dia akan membuat gadis itu nyaman sampai mau berbagi cerita sendiri kepadanya. Gilvin pun ikut memejamkan mata, menikmati udara yang begitu sejuk dan terasa segar. Sampai suara Elea terdengar, membuat dirinya membuka mata.
"Kak!" Suara Elea begitu lirih, namun Gilvin bisa mendengarnya.
"Ada apa?"
"Menurut kak Gilvin, aku ini orangnya kaya apa sih?" Pertanyaan itu akhirnya keluar juga dari mulut Elea. Selama ini ia hanya membiarkan pertanyaan itu bersarang di benaknya. Ia ingin tahu pendapat orang lain tentang dirinya.
"Hm... Kenapa nanya gitu?" Gilvin pura-pura tidak tahu dengan maksud dari ucapan Elea.
"Kak Gilvin kan tahu, disekolah aku selalu dapat julukan 'cewek bermasalah'" sontak saja Elea terkejut saat pemuda yang ada di hadapannya itu tertawa.
"Sejak kapan kamu punya julukan seperti itu?" Elea merasa malu karena ditertawai oleh pemuda itu, dia pun tidak niat lagi menjawab pertanyaannya. Memang aneh sih jika dirinya menanyakan hal semacam itu kepada Gilvin, toh sebenarnya mungkin saja Gilvin tidak peduli bahkan tidak tahu tentang dirinya selama ini.
_____
Elea sudah sampai di rumahnya. Kini ia membaringkan tubuhnya dikasur. Ia merasa sekujur tubuhnya terasa ngilu dan sakit. Kali ini Elea langsung tertidur pulas, ia tidak ada waktu memikirkan kedua orang tuanya saking lelahnya. Entah apa yang membuatnya sedih, dalam keadaan tidur pun Elea masih sempat menangis. Air mata itu jatuh perlahan.
Hari berganti pagi. Seperti biasa, sang asisten rumah tangga akan membangunkannya lagi dengan berbagai cara.
"Neng ayo bangun, udah siang, nanti terlambat ke sekolah," ujarnya membujuk Elea sambil menggoyang-goyangkan tubuh Elea.
"Bi... Aku ga enak badan. Aku ijin aja yah...." Ujar Elea seraya menepis tangan sang asisten. Tangan sang asisten terangkat dan menempel di kening Elea.
"Iya, panas," batinnya. Kemudian ia membiarkan Elea tidur kembali dan pergi dari ruangan itu untuk membuatkan bubur.
Setelah menyadari kepergian asistennya. Elea pun menoleh mengangkat kepala, dengan senyuman puas ia berkata, "bisa juga lu gue bohongi, untung ada ini," ujarnya seraya tersenyum puas. Elea sudah tahu sang asisten akan membangunkannya lagi, dia pun menyiapkan sebuah botol minum yang sudah terisi air hangat kemudian ia tempelkan ke keningnya tadi sebelum sang asisten mengecek suhu tubuhnya. Tanpa rasa berdosa, Elea melanjutkan lagi tidurnya yang sempat terganggu. Hari ini dirinya benar-benar bolos. Ia akan menikmati hari dimana tidak akan ada orang yang mencari gara-gara lagi dengannya. Sungguh ia benar-benar malas bertemu Nina dan berurusan dengan anggota osis, terutama Raihan.
Tok... Tok... Tok....
Mata Elea terbuka saat terdengar suara ketukan di balik pintu kamarnya. Ia menyipitkan mata, mencari fokusnya yang masih terasa samar.
"Masuk!" Ujarnya dengan suara lantang agar orang di luar mendengar suaranya.
Elea masih belum beranjak walau ia mendengar pintu terbuka dan suara langkah kaki seseorang kian mendekat padanya. Sampai akhirnya belaian lembut di puncuk kepalanya membuat ia menyadari sesuatu yang berbeda, belaian yang ia kenal dan ia rindui hampir beberapa bulan ini tidak ia rasakan.
"Mamah?" Elea berhambur memeluk ibunya yang tersenyum padanya.
"Ara rindu mamah," ujarnya kembali, kini diiringi dengan jatuhnya air mata yang membasahi pipi.
"Mamah juga rindu sama Ara. Maafin mamah karena jarang pulang nengokin kamu sayang." Elea mengerti keadaan, ibunya jarang pulang karena menemani ayahnya yang terbaring lemah di rumah sakit yang berada di luar kota. Ditambah ibunya pun kini mengambil alih kekuasaan perusahaan sementara selama ayahnya sakit. Beban yang ibunya pikul kini sangat berat. Elea sedih karena belum bisa menjadi anak yang berguna bagi kedua orangtuanya.
"Maafin Ara mah, Ara belum bisa jadi anak yang bisa di andalkan." Ujarnya lirih seraya mempererat pelukannya.
"Tidak papa sayang, kamu sekolah yang bener aja udah bikin mamah sama papah bangga."
"Tapi, tumben mamah pulang, papah udah baikan?" Tanya Ara menatap lekat wajah yang terlihat lelah itu.
"Belum. Doakan terus papah ya Ra, biar bisa kumpul lagi sama kita," ujar ibunya gemetar seperti tengah menahan air matanya. Ia sadar tidak boleh terlihat lemah di hadapan gadis kecilnya yang sudah beranjak dewasa itu, ia tidak mau membuat Elea sedih dengan melihatnya menangis.
"Tanpa di diminta, Ara selalu doain papah."
"Makasih sayang," ujar ibunya. Keduanya masih enggan untuk melepaskan pelukannya. Mereka masih meluapkan rasa rindu karena sudah lama tidak bertemu.
"Tapi, kenapa kamu gak sekolah? Ini bukan hari libur." Tanya sang ibu membuat Elea tersenyum kikuk seraya memamerkan barisan giginya yang rapih.
"Kamu sengaja kan bohong sama bibi, biar bisa tidur sampe siang?" Selidiknya membuat Elea tidak mampu menjawab pertanyaan ibunya, karena tebakan ibunya memang benar.
"Sekali ini doang kok mah, besok-besok ngga lagi. Janji," ujar Elea sembari membentuk huruf V pada jarinya.
Sebelumnya memang Mala, ibu dari Elea mendapat telepon dari sang asisten rumah tangga kalau anaknya tengah demam, badannya panas. Dan saat itu juga Mala langsung bergegas pulang ke rumah, dengan jarak tempuh hampir memakan waktu empat jam. Cukup melelahkan memang. Tapi demi anaknya apapun akan ia lakukan.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 37 Episodes
Comments