Elea berjalan ke parkiran dimana mobilnya berada dengan perlahan. Kakinya terasa sakit dan ngilu.
"Brengsek banget tuh ketos, gue jadi susah jalan." Umpat Elea. Ia tidak menyadari kehadiran seseorang yang kini berada di depannya dengan senyuman manisnya.
"Perlu bantuan?" Suara itu membuat Elea yang sedari tadi tertunduk memperhatikan kakinya mendongak, melihat kearah sumber suara.
"Kak Gilvin," gumamnya. Senyumnya merekah mengalahkan rasa sakit pada kakinya.
"Gak usah kak, cuma ngilu dikit doang."
"Tapi kamu kaya kesulitan jalan."
Elea di buat terkejut saat pemuda itu berjongkok di depannya, "Ayo!"
Elea tertegun, beberapa kali ia mengedipkan mata. Pemuda yang dia sukai kini mau menggendongnya.
"Ayo...." Suara itu kembali menyadarkannya.
"Emangnya gak papa? Aku berat loh kak," ujar Elea hendak menolak.
"Udah tenang aja, mau seberat apapun kamu, aku pasti bisa gendong."
Dengan mengulum senyum, Elea kini berada di gendongan Gilvin, sang kakak kelas yang juga menjadi idaman para siswi selain Raihan. Baik Raihan maupun Gilvin sama-sama memiliki daya tariknya sendiri. Tapi bagi Elea, Raihan adalah musuh terbesarnya, ketampanan dan berbagai prestasinya tidak terlihat di matanya.
Begitu pula dengan Gilvin yang kini kedua sudut bibirnya menyungging. Dia bisa merasakan detak jantung Elea yang tidak karuan.
"Udah sampe," ujar Gilvin membuat Elea tersadar dari lamunannya.
"Eh?" Elea merasa malu karena sedari tadi mereka sudah sampai di samping mobilnya, sementara dirinya masih saja tidak berniat turun dari gendongan Gilvin.
"Makasih kak, maaf jadi ngerepotin."
"Ga papa El, aku malah seneng kok bisa bantu kamu." Ujarnya seraya tersenyum manis.
Deg...
Terjadi sesuatu di dalam sana. Rasanya gerah, napas Elea sesak. Ingin sekali dirinya berteriak karena bahagia mendengar perkataan Gilvin padanya. Tapi bukan Elea jadinya kalau itu semua terjadi, sebisa mungkin ia mengendalikan lagi dirinya, mengatur lagi napasnya agar bisa normal seperti biasanya. Setelah itu Elea hanya membalas dengan senyuman.
"Aku pergi dulu ya, hati-hati di jalan," ujar Gilvin seraya mengacak-acak poni Elea yang terlihat begitu menggemaskan.
____
Dengan langkah gontai Elea masuk ke dalam kamar. Tubuhnya ia banting pada kasur yang berukuran besar. Matanya kini memandang langit-langit kamar. Rumah sebesar itu hanya ia tempati bersama dua asisten rumah tangga yang sudah mengabdi pada keluarganya selama beberapa tahun.
Elea memejamkan matanya. Ia rindu kebersamaan dirinya bersama kedua orangtuanya. Ia rindu dengan canda tawa mereka yang kini samar di benaknya. Sudah lama sekali mereka bertiga tidak lagi berkumpul bersama, mengingat ayahnya yang sedang berjuang melawan penyakitnya, dan ibunya yang setia menemani ayahnya, namun sesekali menyempatkan untuk pulang melihat keadaanya.
"Pah, Mah, Ara rindu kalian," gumamnya. Tidak terasa air matanya terjatuh perlahan. Ara adalah panggilan untuk Elea dari orang-orang terdekatnya saja. Dan jika di sekolah ia adalah gadis yang terkesan kuat dan arogan, berbeda ketika dirinya berada di rumah, ia akan menjadi gadis yang manis dan rapuh.
Tidak terasa hari semakin gelap dan Elea masih mengenakan seragam sekolahnya. Tubuhnya pun enggan bergerak untuk sekedar mengubah posisi tidurnya karena saking lelahnya.
"Brengsek banget sih tuh ketos, kaki gue beneran gak bisa gerak," ujar Elea seraya memijat-mijat kakinya. Lalu ia pun berusaha beranjak dari kasurnya untuk oergi ke kamar mandi dengan berpegangan pada setiap dinding kamarnya.
____
Pagi sudah menyapa kembali. Elea semakin menarik selimutnya sebelum salah satu asisten rumah tangga membangunkannya. Karena kebiasaan Elea selalu bangun siang, sehingga kedua orang tuanya selalu menitipkan pesan agar sang asisten membangunkan anak semata wayangnya itu.
"Neng El, bangun! Udah siang," ujarnya yang terdengar samar di telinga Elea.
Merasa tidak ada jawaban, sang asisten kembali membangunkannya lagi, "Neng, udah setengah tujuh, ayo bangun nanti telat ke sekolah." Elea hanya menggeliat tidak ada niatan untuk dirinya membuka mata dan meninggalkan tempat yang selalu membuatnya nyaman itu.
Lagi-lagi tidak ada respon dari Elea, sang asisten rumah tangga pergi ke luar kamar, dan kembali dengan satu gelas air putih. Lalu menyipratkannya pada wajah Elea. Gadis itu mengerjap kaget, lalu perlahan membuka matanya dan, "iya, iya aku bangun bi," ujar Elea menutupi wajahnya agar tidak terkena air cipratan itu lagi. Lalu terduduk mengumpulkan nyawanya yang tadi malam berpetualangan entah kemana.
"Sekarang jam berapa bi?" Tanya Elea malas masih dengan mata tertutup.
"Jam setengah tujuh neng," jawabnya berbohong. Itu dilakukan agar Elea segera mandi dan berangkat ke sekolah, jika asisten itu mengatakan yang sebenarnya, bisa saja sekarang Elea masih bergulung dengan selimutnya.
"Apa? Kenapa gak bangunin dari tadi sih," ujar Elea sewot lalu berlari ke kamar mandi.
Sang asisten hanya menggelengkan kepalanya, sudah paham dengan kelakuan anak majikannya itu.
____
Elea berjalan dengan perasaan kesal. Lagi-lagi ia di bohongi oleh asistennya. Tapi ada untungnya juga, akhirnya ia tidak datang terlambat lagi. Kalau sampai terjadi, bisa-bisa kakinya beneran patah karena harus berlari mengelilingi lapangan basket lagi.
"Heh, cewek ganjen!" Suara seseorang menghentikan langkahnya. Tapi Elea tidak menoleh, ia pun melanjutkan lagi langkahnya yang sempat terhenti. Tapi belum juga kakinya melangkah, tiba-tiba rambutnya di tarik oleh seseorang dari arah belakang.
"Lo tuh ya masih kecil udah ganjen," ujar seorang yang membuat Elea sangat marah. Elea tidak berniat menangapinya, karena sudah seperti kebiasaan kakak kelasnya itu mencari gara-gara dengannya. Setelah rambutnya terlepas, ia berniat pergi tanpa ingin tahu maksud Nina.
Lagi-lagi rambutnya ditarik, kali ini sampe dirinya terjatuh.
"Lo jangan kurang ajar sama gue, dengerin kalo orang ngomong!"
"Emangnya Lo orang? Gue ngerasa Lo itu setan yang suka gangguin gue. Makanya gue males sama Lo," ujar Elea santai berusaha menahan rasa kesalnya.
"Ni anak kurang ajar banget Nin," ujar salah satu teman Nina.
"Kasih pelajaran aja dia, songong banget." Ujar salah satu temannya ikut mengompori.
"Emang harus di kasih pelajaran nih anak," ujar Nina membuka tutup botol minum, lalu berniat menyiram wajah Elea.
Byur....
Air dingin itu tepat di wajah Elea. Gadis itu kini terpejam seraya merasakan rasa dingin dari air yang menyentuh permukaan kulit wajahnya. Kali ini amarahnya tidak bisa ia tahan, dengan cepat tangannya sudah menjambak rambut Nina dengan kuat. Sampai gadis itu berjongkok mengikuti gerakan tangan Elea. Lalu merintih kesakitan. Sementara kedua temannya mencoba membantu melepaskan tangan Elea, tapi tidak bisa.
"Gue udah sabar ngadepin Lo, tapi kenapa Lo selalu cari gara-gara sama gue? Lo gak suka gue karena gue cantik? Makanya perawatan!" Elea kini melepaskan rambut kepala Nina dengan kasar, sampai gadis itu jatuh ke lantai.
Bersamaan dengan kejadian itu, Raihan, Bima dan Gilvin datang. Mereka melihat kejadian itu, dimana dua gadis tengah bergulat beradu kekuatan.
"Stop!" Suara itu mengejutkan keduanya. Kejadian ini Nina gunakan untuk mencari simpatik dari para pemuda tampan yang datang menghampiri mereka.
"Lo kenapa gak ada kapoknya sih El," bentak Bima marah. Sementara Gilvin hanya terdiam menatap Elea penuh arti. Sedangkan Raihan, Elea bisa melihat amarahnya dari sorot matanya.
Sambil menangis Nina berkata, "Gue salah apa sih sama Lo El?" Mendengar itu, Elea tersenyum miris. Dia sempat berpikir, jadi apa yang di lakukan oleh Nina untuk membuat image nya buruk lagi. Padahal yang nyari gara-gara duluan jelas saja Nina.
"Iya El, Lo kenapa segitu bencinya sama Nina. Dia lagi jalan tiba-tiba Lo tarik rambutnya." Ujar salah satu teman Nina membuat Elea melotot menatapnya.
"Lo ikut gue!" Ujar Raihan lalu pergi. Elea tidak mau membela diri, percuma saja. Karena dua orang teman Nina berkata sama dengan Nina, dan itu akan membuat anggota osis lebih percaya merek dibandingkan dirinya. Dia pun mengikuti Raihan, Bima dan Gilvin yang sudah terlebih dulu berjalan, tanpa penolakan.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 37 Episodes
Comments