Siang ini matahari cukup terik, mungkin itu yang membuat pengunjung cafe hanya segelintir saja.
Seperti biasa Nadira sedang menunggu seseorang di luar sana. Ya, siapa lagi kalau bukan Daffa Pratama. Pria tampan berusia 25 tahun ini selalu memberikan kejutan setiap kali datang menghampiri Nadira.
Semenit setelah itu, pria yang ia harapkan kedatangannya datang dengan sejuta pesona.
"Mas Daffa, akhirnya kamu datang!"
"Hai, Nadira, senang aku mendengar kamu menyambutku dengan begitu ceria, padahal cuaca begitu panas!" Daffa segera duduk.
"Apakah mas Daffa ingin memesan yang seperti biasa ?"
"Tidak, Nadira. Kali ini berbeda, aku ingin kamu bungkus dua puluh nasi bowl chicken." ujar Daffa setelah memilih menu.
"Dua puluh ?" Nadira heran tak biasanya Daffa memesan begitu banyak.
"Iya, itu semua untuk karyawan di kantor."
Nadira segera mencatat dan pergi ke dapur. Namun, sebelum ia melangkah pergi, Daffa mencegahnya. "Nadira, ini untukmu!" amplop cokelat berada di tangan Daffa.
"Apa ini?" Nadira menatap amplop itu.
"Aku tahu kamu lagi butuh ini. Terimalah dan segera kirim ke ibumu!"
Nadira menerima dan melihat isi nya.
"Itu ada dua puluh juta." imbuh Daffa.
Nadira tahu itu adalah uang dengan jumlah besar. Dengan uang itu ia dapat menggunakan untuk membeli apa pun. Tapi ia bukan wanita materialis. Meski hidup dalam kemiskinan, prinsip yang ibunya tanamkan sejak kecil adalah bekerja lebih baik dari pada meminta -minta. Nadira hampir saja tergoda, tapi ia segera sadar dan mengembalikan amplop itu.
Seminggu yang lalu, Daffa mendengar percakapan antara Nadira dengan ibunya di telepon. Ibunya meminta kiriman uang untuk biaya hidup di desa. Selain itu untuk biaya sekolah kedua adiknya.
"Mas Daffa, aku ... aku tak bisa menerimanya," tolak Nadira dengan sopan.
"Kenapa?" Daffa sedikit tersinggung dengan penolakan yang Nadira berikan.
"Aku tahu, aku sangat memerlukan uang. Tapi tidak dengan semudah ini aku mendapatkan nya. Aku harus bekerja. Meski sejak kecil kami hidup susah, ibu melarangku untuk menerima pemberian orang lain." jelas Nadira membuat Daffa termangu.
"Tapi, aku kan bukan orang lain. Kita ...."
"Tetap saja tak bisa. Tolong, hargai prinsip hidup saya!"
Daffa memahami perasaan gadis di depannya, kemudian dia menarik kembali amplop itu dan berkata. "Baiklah, kalau begitu tambah lagi pesanan ku menjadi seratus."
"Apa?" Nadira kaget dibuatnya.
Daffa tidak segan -segan melakuan itu pada Nadira, karena menolak uangnya. Dengan cara membayar makanan lah, Nadira akan mau menerima uangnya.
Atasan Nadira tahu kalau Daffa sedang mencoba untuk mendekatinya, dengan begitu cafenya tidak pernah sepi pengunjung. Jadi, dia sangat senang mempekerjakan seorang Nadira di cafe.
Daffa menyunggingkan senyum puas setelah memborong makanan.
"Mas Daffa, seratus kotak makan ini ditaruh di mana?" Nadira beserta pelayan cafe yang lain menjinjing tas keresek besar.
Daffa menuntun mereka menuju mobil dan membuka bagasi. "Masukkan ke sini!"
"Terima kasih atas kunjungan Anda! Jangan bosan untuk datang lagi!" ujar Nadira setelah memasukan semua kotak makan.
"Eum, Nadira!" panggil Daffa sebelum masuk ke dalam mobil.
Nadira yang mematung segera menyahut, "Iya,"
"Aku belum punya nomor ponselmu."
Bagai mendapat bunga sekebun rasanya, Nadira menunduk malu.
"Boleh aku mencatat nomormu?" Daffa mengeluarkan ponsel dan menyodorkan ke Nadira.
Nadira sedikit canggung menerimanya, "Iya," kemudian ia mengetikkan nomor kontak. Setelah selesai menyerahkan kembali. "Ini,"
"Terima kasih, Nadira, nanti aku akan menghubungi!"
***
Tiga hari kemudian saat Nadira membereskan meja, ia dikejutkan dengan suara pria yang selama ini sangat ia rindukan.
Nadira menoleh dan berteriak, "Mas Daffa!"
Daffa tersenyum dan berkata, "Selamat pagi, Nadira, apakah cafenya sudah buka? Aku ingin memesan makanan untuk karyawan ku di kantor." padahal dia tahu kalau cafe ini sudah buka. Sekedar basa-basi saja.
"Sudah Mas Daffa, silahkan mau pesan apa?"
"Seperti yang terakhir aku pesan."
"Nasi bowl chicken, kan!"
Daffa mengangguk, "Kamu pintar!"
Nadira tersenyum malu dengan kalimat pujian itu. "Bukannya pintar, tapi emang aku ingat kok." jawaban Nadira membuat Daffa tertawa dan baginya Nadira sangatlah lucu dan menggemaskan.
"Mas Daffa baik ya, masih mau beli makanan buat karyawan,"
"Alah, biasa aja kok!"
"Mas Daffa tunggu sebentar ya, aku bungkus dulu!"
Daffa mengangguk lalu menarik kursi dan duduk.
Melihat wajah Nadira yang berseri, Erni menegurnya, "Cieh, yang punya gebetan!"
Nadira merasa tersipu dan mengelak, "Apaan sih, Mbak Erni jangan mulai deh!"
"Eh, kesempatan bagus jangan disiakan! Pepet terus dia!"
"Ssttt, Mbak Erni bisa diam nggak sih! Dia itu spesial, dan biarkan aku menjalani kedekatan dulu."
"Kelamaan, udah langsung gas pol aja!"
"Emang sepeda motor, udah ah, aku antar pesanan dulu!" Nadira meninggalkan Erni yang mencibir.
Erni, adalah sahabat yang membantu Nadira mendapatkan pekerjaan di cafe.
"Ini Mas Daffa pesanan nya!"
Daffa menoleh dan berdiri. Mengeluarkan uang dari dompetnya. "Ambillah sisanya!"
"Ta-tapi Mas Daffa, aku ...." Nadira tertahan kalimatnya, menatap uang itu.
Daffa tersenyum, "Sudahlah, anggap saja dapat rejeki nomplok!" Daffa meletakkan uang pada genggaman Nadira kemudian melangkah pergi.
Nadira merasa berdebar jantungnya dengan kebaikan dan perhatian yang Daffa berikan.
Erni mendekat dan berkata dengan sinis, "Halah, nggak usah pura-pura nolak gitu, senang kan sekarang!"
"Bahkan aku belum seratus persen merayu, dia sudah selangkah maju lebih cepat dari yang aku duga." gumam Nadira.
"Nadira, percaya nggak sih, kamu itu cantik dan berhak mendapat pria seperti Daffa, jadi jangan terlalu lama membiarkan nya. Goda dia agar mau menikahi kamu!"
"Tapi, apa dia mau?"
"Aku lihat, dia suka sama kamu,"
Nadira melamun, jika pria tampan dan kaya seperti Daffa menyukainya apakah terlihat pantas Nadira yang miskin bersanding dengan seorang pangeran?
Erni menepuk bahu Nadira, "Berjuanglah, apa pun keputusan kamu, aku akan mendukungmu." kemudian dia meninggal Nadira.
Nadira melanjutkan pekerjaan nya tanpa mengenal lelah, peluhnya bercucuran tak ia hiraukan. Asalkan mendapatkan uang saja baginya sudah cukup. Ia mengelap meja dan membawa tumpukan piring kotor ke belakang. Setelah semua pekerjaan selesai ia segera mengganti seragam nya dengan pakaian biasa. Tepat pukul 7 malam, ia meninggalkan cafe.
Nadira teringat dengan berbagai kebutuhan di rumah kosnya habis. Ia berhenti di sebuah alfamart dan membeli seperlunya.
Ada pembalut wanita yang letaknya begitu tinggi hingga dia tak bisa mencapainya.
Seseorang yang tepat berada di belakangnya mengulurkan tangan mengambil kan barang itu.
"Mas Daffa!"
"Kamu lagi datang bulan ya," terka Daffa yang membuat hati gadis berusia 20 tahun itu malu.
Nadira hanya diam. Saru rasanya menjawab.
"Mas Daffa lagi cari apa?"
"Oh, ini, beli parfum. Kebetulan aku teringat dengan parfum di rumah yang sudah habis."
"Oh, kalau begitu saya duluan!" pamit Nadira yang segera melewati dada bidang Daffa.
Daffa tak membiarkan kesempatan emas ini terlewatkan. "Nadira, tunggu!"
Nadira menoleh, "Iya,"
"Kamu tinggal di mana, ini sudah malam, bagaimana kalau aku antar kamu?"
"Hah, mas Daffa mau antar aku pulang!" batin Nadira bersorak.
"Tidak, aku sudah terbiasa jalan kaki pulang sendirian!"
Daffa tak menyerah dan terus mendesak agar mengantarkan pulang. Nadira akhirnya mau. Setelah membayar di kasir. Nadira masuk ke dalam mobil yang mewah. Sepanjang perjalanan tidak ada obrolan yang serius.
Sesampainya di kamar kos, ia segera mandi lalu tidur. Seharian membuat badannya lelah, namun mengingat momen peristiwa bersama Daffa membuat ia tak merasakan lelah di tubuh nya.
Hampir pukul 11 malam, Nadira baru terpejam sambil memeluk guling.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 46 Episodes
Comments