Selamat membaca
Jangan lupa vote, komen dan jempolnya (👍)
***
VIANA berjalan masuk menuju gedung besar dengan langkah tergesa-gesa. Bibir kecilnya terus berkomat kamit tanpa mengeluarkan suara dirinya merasakan gelisah dan ketakutan mendalam mendengar kabar Ayahnya masuk ke rumah sakit. Karena terjatuh di lantai kamar mandi dan belum sadarkan diri.
Wajahnya terus menekuk. Berdoa dalam hati agar Ayahnya kembali sadar. Bisa melihat senyum pria setengah baya itu yang sedang berbaring di kasur.
Melihat Bundanya setia menemani. Membuat Viana terbayang kembali pembicaraannya dengan kedua orang tuanya.
Sejak kejadian satu bulan yang lalu. Viana terus menghindari Ayah dan Bundanya kalau mereka berada satu ruangan atau tempat.
Di saat Viana menghindari kedua orang tuanya. Ia malah mendengar kabar buruk yang terjadi dengan Ayahnya.
Ini semua salahku. Viana merasa gelisah saat akan hendak memasuki ke ruang inap. Yang sembari tadi hanya berdiri berada di ambang pintu dan melihat Ayahnya dari kaca pintu.
Kamu harus tenang, Viana. Anggap saja masalah satu bulan lalu tidak terjadi. Dan sekarang Viana mengetuk pintu. Ia menelan salivanya.
“Bunda.” Sapa Viana memandang ke arah Nina yang sembari tadi hanya duduk di tepi ranjang memegang erat tangan Ayahnya.
Viana merasa malu. Karena sikapnya pada kedua orang tuanya kelewatan. Mereka tetap menyayangi dirinya. Meskipun sudah berdosa melawan mereka.
“Via. Kamu sudah datang. Cepatlah kemari.” Suara Nina begitu rendah. Ia melambaikan tangan ke arah putrinya agar mendekat.
“Maafkan Via. Ini pasti gara-gara aku kan, Ayah bisa begini.” Sesal Viana meruntuhkan hatinya. Menyesali kesalahannya.
Viana berjongkok di bawah kaki Nina yang sedang duduk.
Air mata keluar begitu saja. Viana menangis. Takut. Yang akan terjadi bila Ayahnya tidak sadar kembali. Ia tidak mau ditinggal saat dirinya banyak dosa yang telah dibuat pada Ayahnya. Nina hanya mengelus rambut Viana lembut dan terus memberi nasehat dan kepercayaan kepadanya bila semuanya sudah jalan-Nya. Ayahnya akan cepat sadar kembali.
Viana berdiri berhadapan dengan Bundanya saling memeluk erat. Menolehkan wajahnya terlihat begitu sembab sejak tadi terus saja menangis. Melihat pada pria setengah baya yang masih belum sadarkan, ia memegang erat tangannya yang lemah.
“Maafkan Via, Ayah. Aku berjanji kalau Ayah sadar. Aku akan terima perjodohan itu . Jadi aku mohon cepat sadarlah. Agar aku bisa melihat senyum, tawa dan teriakan Ayah lagi.” Lirihnya terus mencium tangan Ardan yang berbaring lemah.
Sementara Nina hanya bisa menyaksikan putri yang sudah menyadari kesalahannya. Sejak pembicaraan perjodohan Viana dan Ardan terus bersikap dingin tidak saling bertegur sapa meski satu rumah. Mereka sama-sama memiliki sifat keras kepala.
Tidak ada yang bisa Nina lakukan selain berdiam diri. Membiarkan putrinya sadar akan kesalahan.
Viana melepaskan eratan tangan Ayahnya berjalan ke arah Bundanya yang duduk menopang kepala di sisi pegangan sofa.
“Apa Bunda mau makan sesuatu? Aku akan beli di Kafetaria Rumah Sakit.” tanya Viana cemas akan kesehatan Bundanya setiap jam terus menemani Ayahnya.
“Bunda tidak lapar. Bunda mau kopi saja.” Balas Bundanya.
“Baiklah. Via belikan. Kalau ada apa-apa segera hubungi aku, Bun.”
“Iya. Sayang.”
Viana mengambil dompet dari tas dengan cepat dan bergegas keluar menuju tempat Kafetaria Rumah Sakit yang disediakan.
Saat Viana masuk Kafetaria yang lumayan ramai dengan para Dokter yang sedang menikmati istirahat. Ada juga para keluarga pasien yang sekedar makan untuk mengisi perut mereka. Langkah kaki Viana tepat di kedai kopi dan memesan kopi cappuccino dua cup ukuran tall.
Sambil menunggu pesanan. Mata Viana memandang ke kanan dan ke kiri melihat keadaan di sekitar Kafetaria yang lumayan luas. Kafetaria diperuntukkan untuk umum, Dokter, pasien dan pengunjung, berbaur di tempat ini tanpa melihat status dan profesi.
Lima menit menunggu akhirnya kopinya yang di pesan selesai di buatkan. Viana kembali menuju kamar inap Ayah Viana yang cukup jauh dari Kafetaria.
Saat Viana memasuki lorong rumah sakit yang cukup sepi Viana mendapatkan telpon dari Bundanya yang mengabarkan bahwa Ayahnya telah sadar. Dengan hati senang Viana berlari kecil di lorong rumah sakit yang cukup panjang. Tidak sengaja saat berbelok di tikungan Viana tidak sengaja menabrak seorang pria berjas snelli putih.
BRUK
Viana terkejut. Kopi yang di belinya untung tidak tumpah dan mengenainya. Pria itu dengan sigap menahan pinggangnya yang hampir terjatuh.
Pria itu juga terkejut dan menatap tajam ke arahnya masih belum bicara dan merespon. Pandangan mata mereka bertemu seakan ini adalah adegan seperti di drama korea yang sering dia ditonton.
Mata Viana masih mengerjap berkali-kali. Melihat pria tampan itu.
Viana kembali tersadarkan dan mengubah posisi badannya dan pria itu melepaskan tangannya yang berada di pinggang Viana dan membantu berdiri.
Pria itu menyadari perubahan raut wajah pada mata gadis yang dihadapannya itu. Menunggu respon gadis itu dan bersuara.
“Om Dokter. Kalau jalan itu hati-hati dong.” Sentak Vania sembari melihat kondisi kopi yang dia beli.
Mendengarkan bentakan Viana. Pria itu tersenyum masam. Tidak percaya dengan apa yang didengar. Terlebih gadis itu malah memanggilnya dengan sebutan ‘Om’ yang benar saja. Dia masih muda dan belum setua itu.
“Kamu yang salah. Sudah tahu rumah sakit. Dilarang berlari ataupun bersuara kencang. Kamu tahu nggak.”
Pria itu balik membentaknya dan berkacak pinggang seperti memarahi seorang bocah yang terkena salah.
“Loh, Om Dokter sendiri bersuara kencang. Kenapa Om Dokter marah? Saya juga nggak akan lari. Kalau memang nggak urgent.” Kata Viana terus membela diri.
“Jangan panggil saya Om. Memangnya saya itu Om kamu.” Pria itu tampak kesal.
“Bodo amat!”
Viana meninggalkan pria itu yang tampak kesal. Ia berjalan terus tanpa ingin menoleh sedikitpun pada Dokter tersebut dan berlalu begitu saja.
***
“Putra.” Panggil pria di lorong tersebut melambaikan tangannya ke arah Putra.
Ia menoleh ke arah suara dan ternyata sahabatnya serekan profesi memanggil. Dastan namanya. Putra berlari kecil menghampiri. Putra masih kesal dengan kejadian yang baru saja terjadi. Apalagi gadis yang entah siapa namanya pergi begitu saja tanpa ingin meminta maaf ataupun berterima kasih kepadanya.
“Kenapa Bro? Wajah kamu kelihatan kusut banget, why?” tanya Dastan melihat raut wajah Putra terlihat berbeda sejak berada dilorong tadi.
“Aku tadi di tabrak sama gadis aneh. Malah dia yang balik marah-marah. Bukannya dia minta maaf atau terima kasih sudah aku tolongin. Pergi begitu saja. Terus dia malah panggil aku Om. Bagaimana aku tidak kusut muka. Saking kesalnya.” Cerca Putra begitu kesal. Tanpa sadar Dastan menertawakan dirinya di saat Putra sedang bercerita.
Putra menyipitkan matanya heran “Kenapa ketawa? Memang ada sesuatu yang lucu?”
“Santai dong. Kamu nggak sadar. Pertama kali dalam hidup Dastan mendengarkan seorang Putra Bagus Rahardian berbicara panjang lebar. Biasanya juga cuma lima sampai sepuluh kata. Kalau bukan urusan pasien. Aku harus berterima kasih sama gadis aneh yang sudah menabrakmu. Ini sesuatu yang amat langka.” Ucap Dastan.
“Serahlah.”
“Baru saja tadi di sanjung. Bagaimana sama calon mertua kamu. Katanya sudah sadar?”
“Sudah. Tapi hari ini aku ada jadwal operasi dan besok ada seminar, belum sempat aku mengunjungi.”
“Terus bagaimana dengan calon istrimu. Apa kamu sudah bertemu dengannya?”
“Belum.” Singkatnya.
“Masa belum ketemu? Memang kamu nggak penasaran sama calon istrimu. Dia itu yang akan mendampingi kamu nanti.” Sahutnya merasa gemas dengan sikap Putra kurang greget dengan wanita sejak kejadian dulu.
“Itu urusanku.”
“Kamu tahu. Aku berharap gadis aneh tadi menabrak kamu itu jodohmu. Biar gadis itu bisa buat temanku ini sadar.” Cetus Dastan ngasal. Putra menatap Dastan tajam akan ucapan gila, temanya.
“Sembarangan kalau bicara. Aku berharap tidak akan pernah bertemu kembali dengan gadis aneh itu lagi. Melihatnya saja sudah kesal. Apalagi berumah tangga dengannya yang ada buat aku stres dengan sikapnya yang kekanakan dan abnormalnya.” Elak Putra menolak keras.
“Kamu sadar nggak, setiap membicarakan gadis itu. Kamu berbicara panjang lebar. Aku berdoa kalian berjodoh.”
"Dalam mimpimu."
Mereka melanjutkan kembali tugasnya dan Putra bersiap untuk melakukan operasi kecil pada pasiennya.
Semenjak tahu dirinya akan dijodohkan oleh orang tuanya. Putra sempat menolak. Tapi, dia berpikir kembali tidak ingin menyakiti kedua orang tuanya terutama Mamanya. Cukup dengan masa lalunya yang begitu menyakitkan. Di mana dia harus menelan kecewa saat wanita yang di sayanginya malah meninggalkan pernikahan dan lebih mementingkan keegoisannya dan menjadi seorang model internasional di Paris.
Pilihannya yang membuat orang tua Putra malu harus membatalkan acara pernikahan secara satu pihak. Berkali-kali juga keluarga dari pihak wanita terus meminta maaf pada keluarganya.
Keluarga R A H A R D I A N yang memang masuk dalam keluarga terpandang karena merupakan keluarga Dokter terbaik di sini. Siapa yang tidak mengenal? Banyak Rumah Sakit yang sudah di bangun dan Perguruan Tinggi Kedokteran terbaik dengan yayasan keluarga Rahardian.
Dan sekarang ia menerima perjodohan ini, meski wanita yang akan di jodohkannya itu masih belum menjawab. Putra tetap akan menunggu.
Mungkin cinta akan datang karena terbiasa. Masa depan tidak ada yang tahu.
***
Viana memasuki ruangan dan melihat pria setengah baya itu sudah sadar. Viana cepat menghampirinya dan meletakkan kopinya di atas nakas.
Dokter dan suster yang memeriksa Ardan keluar setelah selesai mengecek Ayahnya.
Viana bernafas lega tidak ada hal-hal yang serius tentang kesehatan Ayahnya.
Viana memandang Ayahnya dengan raut muka yang gusar. Ardan memandang lemah putrinya terlihat di wajahnya ada suatu penyesalan.
“Ayah!” Viana pilu sambil memeluk Ardan yang masih lemah. Air matanya menghiasi kedua pipi.
Merasa senang doa Viana telah dikabulkan.
Terima kasih, Ya Allah...
Ardan mengelus lembut punggung putrinya. Masih diam tidak bicara. Gadis yang amat dirindukan. Mereka pertama kalinya saling sapa setelah perang dingin keduanya.
Egois. Saat terus memaksa putrinya yang masih belum sepenuhnya dewasa untuk menerima perjodohan yang awalnya janji masa mudanya dulu dengan sahabatnya.
“Maafkan Via. Selalu buat Ayah marah dan melawan semua keinginan Ayah. Sudah di putuskan, aku mau menerima perjodohan ini.”
Viana mengurai pelukan dari Ayahnya dan duduk di pinggir ranjang menatap Ayahnya masih lemas.
Ardan menghapus sisa air mata putrinya yang masih basah. Ardan menatap haru Viana mulai membuka hati kecilnya untuk menerima perjodohan ini.
“Viana sayang. Ayah sekarang nggak akan memaksa kamu menuruti keinginan kami. Ayah sekarang mengerti, seharusnya orang tua harus bisa mendukung impian putrinya. Apalagi kamu anak tunggal. Ayah tidak mau merusak impianmu.”
Viana menggeleng.
“Aku nggak merasa terpaksa kok. Via sadar kok. Kalau semua ini kalian lakukan untuk kebaikan aku. Sudah Via pikirkan semua dengan matang-matang.”
“Via, Ayah―” ucapan Ardan terpotong Nina menengahi. Dia tidak mau membicarakan perjodohan di saat Ayah-anak itu baru saja berbaikan. Ardan pun baru sadar beberapa jam lalu.
“Sudah-sudah. Kamu istirahat dulu. Badan kamu itu masih lemah loh. Soal perjodohan kalian bicarakan nanti.” Sahut Nina melerai keduanya yang sedang saling menyalahkan diri mereka sendiri.
“Tapi一 aku lapar sayang. Suapin.” Ardan mengeluh manja pada Nina. “Kamu lapar. Oke aku suapin.” Balasnya mengambil makanan yang tadi di antarkan petugas.
Viana tersenyum saat melihat orangtuanya begitu harmonis. Ia mengambil kopi di atas nakas yang sudah dingin.
Ia melangkahkan kaki dan duduk disofa dan meninggal kedua pasangan itu. Bundanya begitu cekatan menyuapi makanan pada Ayahnya.
Viana berharap kalau berkeluarga kelak akan bahagia seperti orangtuanya. Yang rukun dan harmonis.
Meskipun berat hati dengan keputusannya. Viana harus bisa menerima semua. Benar kata Ayahnya kalau Viana harus mengenal terlebih dahulu pria itu.
Apa pria itu akan mendukung impiannya? Viana jadi bingung.
Nina sembari tadi melihat Viana melamun dan yakin bahwa Viana sedang dirundung pilu akan keputusan yang dia cetuskan.
Nina menghampiri Viana. Mengelus lembut rambutnya. Memecahkan lamunan Viana.
“Bunda, ada apa?” tanya Viana melihat wanita yang masih terlihat cantik meskipunsudah berumur empat puluh tahun.
“Kamu pulang saja. Biarkan Bunda yang jaga Ayah. Besok kamu kuliah pagi kan?” tanya Nina pada anaknya.
“Ya, sudah Via pulang dulu. Kalau terjadi apa-apa langsung hubungi. Bunda juga jangan terlalu capek.”
“Oke sayang. Jangan khawatir.”
Viana bersiap-siap pulang mengambil sling bag yang di gantung di kursi dekat ranjang. Berpamitan pada Bundanya dan mendekati Ayahnya yang sudah tertidur kemudian ia mencium sekilas kening pria paruh baya itu.
“Cepat sembuh, Yah. Via pulang dulu.” Bisik Viana.
Ia pun keluar dari kamar inap menuju pintu utama dengan langkah cepat dan merasa sedikit seram setiap melewati lorong rumah sakit yang sepi meski cahaya lampu cukup terang entah kenapa langkahnya menjadi begitu berat.
Viana merasa amat bersyukur karena ada seorang Dokter sekitar enam meter berada di depannya. Tiba-tiba Dokter tersebut tidak sengaja menjatuhkan lembaran dokumen di tangannya.
Dokter tersebut berhenti, menjongkokkan tubuhnya mengambil lembaran dokumen yang jatuh.
Berniat akan membantu. Viana urungkan ternyata Dokter itu adalah Dokter yang sudah menabraknya tadi.
Om Dokter?
Sekarang Viana berdiri tepat di depan pria itu tidak ada niatan untuk membantunya dan melipat kedua tangannya di bawah dada dan memberikan senyum ejekan.
“Hati-hati dong, Om Dokter. Jatuhkan.” Ucap Viana dengan nada penuh ejekan.
Putra menoleh sedikit menegak ke atas mendapati seorang gadis yang di kenal tidak lama, sedang berdiri mengejeknya.
Apalagi gayanya sok premanise. Putra menggeleng pelan.
Gadis aneh.
“Sepertinya, saya selalu tertimpa hal buruk. Setiap bertemu dengan kamu.” Ketus Putra kembali dengan posisi berdiri setelah Putra mengambil berkas itu.
“Apa? Wah, Om Dokter ternyata mulutnya pedas banget. Jangan bicara ngasal Om. Makanya kalau jalan itu hati-hati. Dokter yang sial kenapa aku yang jadi penyebab semuanya. Ngawur!” Jelas Viana saja tidak terima dengan ucapan Dokter itu.
“Mulut pedas saya hanya bekerja pada kamu saja. Jadi jangan sok menasehati orang dewasa kalau kamu belum cukup dewasa.”
“Begitu banget Om. Jangan benci saya loh nanti bisa jatuh cinta. Saya itu orang mudah dicintai. Jangan sampai karena Om Dokter bukan tipe saya."
“Tingkat kepercayaan diri kamu tinggi sekali. Jangan harap! Saya juga nggak suka gadis aneh seperti kamu!”
Viana geram apalagi menyebutnya gadis aneh.
Dia tidak tahu kalau Viana anak siapa? Bisa Viana tuntut habis Rumah Sakit ini kalau ia mau.
“Dasar Om-om nyebelin.”
Kalau melayani pria di hadapannya tidak akan berakhir. Bisa panjang urusannya. Viana melihat jam tangan menunjukkan pukul tujuh malam.
Viana kemudian berbalik meninggalkan lagi Dokter itu yang tidak tahu siapa namanya. Seperti yang dilakukannya tadi pergi begitu saja.
Putra menatap tajam gadis itu yang sudah hilang di hadapannya. Dia berdecih pelan tidak percaya. Dia diabaikan lagi. Padahal Putra begitu ingin memberi pelajaran pada gadis itu.
Semoga saja aku tidak bertemu kembali dengan gadis aneh itu.
***
Kira-kira mereka bakalan ketemu lagi nggak, ya?
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 11 Episodes
Comments
Paulina
ketemu dong.,.jodoh ditagan author🤭🤭🤭
2022-01-20
0
Rina Nikijuluw
Seru
2020-02-02
1
Orang Jelek 📌
nanti kalau mereka udh nikah jgn di ketemukan ya sm mantan nya om dokter bisa barabe ini ceritanya thor hehehe
2019-12-01
1