Marco's POV
Sudah lama sekali aku tidak menginjakkan kaki di gereja. Belakangan aku banyak menghabiskan waktu di hari Minggu hanya dengan beristirahat di apartemen, kalau tidak ada janji minum kopi dengan klien atau kolega.
Biasanya aku akan kerumah Papa dan beribadah di sana, tapi sudah hampir dua bulan ini aku tidak pulang ke rumah. Itu berarti hampir dua bulan juga aku tidak beribadah Minggu.
Jangan heran, biar sibuk begini aku selalu menyempatkan waktu untuk beribadah. Hanya sekali seminggu saja rasanya akan sangat curang kalau aku tidak bisa menyempatkan waktuku untuk beribadah.
Aku belum pernah beribadah selain bersama Papa dan Mama. Aku bahkan belum tahu apakah ada gereja di daerah sekitar apartemenku ini. Sampai tadi pagi-pagi sekali, aku mencari tahu pada si empunya jawaban dari segala pertanyaan: Google. That's what technologies are for, right (1)?
Tidak perlu menunggu lama, kutemukan gereja yang bisa aku datangi. Jaraknya kira-kira empat kilometer dari apartemenku. Jadi ... di sinilah aku sekarang, berada di tengah bangunan bergaya klasik namun terkesan modern dengan pilar-pilar besar di sekelilingnya.
Aku masuk ke dalamnya, berusaha membuat diriku senyaman mungkin, mengingat ini adalah tempat yang baru aku datangi.
Ibadah belum dimulai, tapi kalau terlambat lima menit lagi saja, mungkin aku akan lebih canggung lagi untuk mencari tempat duduk.
Aku mengedarkan pandangan melihat sekeliling. Sepenglihatanku, di bagian tengah masih ada bangku yang kosong. Jadi, kuputuskan untuk duduk di sana saja. Aku tidak pernah masalah duduk di bagian depan, tapi akan jadi masalah bila aku duduk di bagian belakang. Karena menurut pengalamanku, di bagian belakang sangat berisik dan nantinya akan mengganggu konsentrasi saat beribadah.
"Teng! Teng! Teng!"
Lonceng gereja berdentang, tanda ibadah akan dimulai. Kulihat barisan petugas ibadah Minggu juga sudah masuk dan mengambil tempat masing-masing. Namun, ada yang menarik penglihatanku di depan sana.
Itu ... Anetta, si Junior Consultant.
***
Anetta's POV
Hari ini merupakan jadwalku bertugas mengiringi ibadah Minggu. Aku sudah bersiap sejak setengah jam yang lalu, karena ada satu lagu yang belum terlalu kupahami. Jadi, aku berlatih sekali lagi sebelum masuk ibadah.
Menit demi menit berlalu, satu per satu jemaat memenuhi bangku-bangku yang tersedia. Aku masih mengedarkan pandangan ke sekililing.
Lonceng gereja telah berdentang, tanda ibadah segera dimulai. Aku mulai bermain dengan tuts-tuts piano berwarna hitam dan putih di hadapanku ini, memainkan sebuah harmoni, menyanyikan mazmur pujian.
"... Ajaib benar anugerah, pembaru hidupku ...."
Aku sedikit terkejut saat mataku menangkap kehadiran sosok yang kukenal, tapi apa benar itu dia?
"... Ku hilang, buta, bercela ... OlehNya ku sembuh ...."
Bos Marco? Masa iya itu dia? Ah, mungkin ini hanya halusinasiku karena aku sedang banyak mengerjakan proyek bersama si bos tampan itu beberapa waktu ini.
Wait, bos tampan? Ya ... Bos Marco memang tampan. Aku tidak harus mengingkari diriku kalau dia memang tampan, kan?
Nettaaa! Kenapa kamu tiba-tiba terus memikirkan dia, sih? Aku menunduk sambil menggeleng pelan-pelan, agar tidak terlihat oleh jemaat yang berada di depanku. Sebisa mungkin aku menghilangkan sosok Bos Marco dari pikiranku.
***
Marco's POV
Aku membelokkan mobil ke parkiran kafe yang berada di lantai dasar apartemen. Hari ini aku tidak punya janji dengan siapa pun, tapi berhubung aku memang tidak pernah makan di unitku, sekalian saja pulang dari ibadah tadi aku mampir untuk makan siang dan minum kopi. Sekaligus menyegarkan pikiran setelah seminggu ini bekerja keras mengerjakan beberapa proyek.
Aku memilih duduk di sudut favoritku. Selang beberapa menit, seorang waitress menghampiriku dan memberikan buku menu. Sejujurnya aku belum terlalu lapar, jadi aku hanya memesan kopi beserta croissant yang dijadikan sandwich.
Tidak perlu menunggu lama, menu yang kupesan tadi sudah tersaji di hadapanku. Secangkir kopi hitam yang masih mengepul dan menguarkan aroma khasnya, berdampingan dengan satu buah croissant yang dibelah menjadi dua bagian, lalu diberi isian daging asap, selembar keju, beberapa lembar daun selada, dan beberapa irisan tipis tomat merah. Tak lupa pelengkapnya seperti saus tomat, saus sambal, mayones, dan sedikit mustard.
Sambil menikmati hidangan yang telah tersedia, aku memeriksa email di hape. Barangkali saja ada pesan penting yang belum sempat terbaca. Kugeser laman email dari atas hingga ke bawah, semua sudah terbaca, tidak ada email baru. Aku beralih pada aplikasi pesan instan Whatsapp, sepertinya tadi ada pesan yang masuk.
Benar saja, saat aku membuka aplikasi Whatsapp, ada tiga panggilan tak terjawab dari Lana. Aku heran, kenapa orang-orang suka bertelepon melalui panggilan Whatsapp, padahal jaringannya sering sekali tidak jelas dan membuat suara orang di seberang menjadi putus-putus.
Lalu kuperiksa laman chat, ada sebuah pesan darinya.
Lana
Selamat pagi, Pak. Maaf mengganggu. Saya sudah menghubungi Bapak tadi, tapi tidak diangkat. Saya ingin memberitahukan sekaligus mohon izin, tentu Bapak sudah mendapat informasi dari bagian personalia bahwa minggu ini saya akan menikah dan saya akan cuti selama 2 minggu. Mohon izinnya ya, Pak. Terima kasih sebelumnya, Pak.
Baru saja aku ingin membalas pesannya, kulihat dia kembali mengetik. Mungkin dia tahu aku sudah online.
Lana
Oh iya, Pak. Untuk proyek Diaksa Mansion saya delegasikan ke Anetta. Terima kasih.
Ah, ya! Aku memang hampir saja lupa kalau Lana akan cuti mulai minggu ini. Untung saja dia mengingatkanku.
Aku membalas pesannya tersebut. Bukan masalah bagiku, ketika anak buahku meminta izin melalui pesan singkat atau pesan instan seperti ini. Aku tidak ingin mempersulit keadaan, karena prosedur permohonan izin cuti di kantor sangatlah jelas dan rumit. Tentu mereka tidak akan main-main ketika memang terpaksa harus mengajukan izin cuti.
Seperti pada kasus Lana ini. Dia sudah sejak jauh hari meminta izin cuti untuk menikah padaku, tentu saja aku tidak bisa melarang seseorang yang akan menikah, bukan? Bisa-bisa aku yang dicibir karena status single yang masih melekat padaku sampai saat ini.
Baiklah, bukan itu poinnya.
Lana sudah memberi tahu bahwa dia akan menikah dan bermaksud meminta izin cuti untuk itu. Aku memberikan izin, dengan syarat dia sudah harus menyelesaikan minimal lima puluh persen pekerjaan yang ditanganinya. Tidak hanya sampai di situ, dia harus menghadapi birokrasi dan prosedur untuk cuti di bagian personalia. Sudah cukup repot, bukan? Nah, hari ini dia hanya mengingatkanku bahwa cutinya dimulai dari esok hari dan itu dia informasikan melalui pesan Whatsapp. Tidak masalah, bukan?
Omong-omong, membaca nama Anetta, aku jadi teringat saat tadi melihatnya di gereja. Gadis itu terlihat sangat percaya diri ketika dia memainkan piano di depan sana. Entah kenapa, auranya positif sekali. Aku tidak bisa menahan bibirku untuk tidak tersenyum.
Wait, kenapa aku harus tersenyum sendiri membayangkan Anetta? Bukankah biasa jika seorang perempuan bisa memainkan piano? Apa karena aku mengenalnya? Tapi ... aku tidak cukup mengenalnya. Oh, apa karena dia anak buahku? Tidak ada hubungannya sama sekali, Marco. Aku merutuk pada diriku sendiri. Kenapa tiba-tiba saja aku tidak bisa melepaskan pikiranku dari si Junior Consultant itu.
••••••••••
(1) Itulah gunanya teknologi, bukan?
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 110 Episodes
Comments
ayyona
haiyoo.. ibadahnya ga kusyuk.. lirik2 😅
2020-06-26
2
Ayy
Cie bos Marco hahaha
2020-05-29
4