Marco's POV
Aku sedang menekuri desain interior yang dibuat oleh salah seorang anak buahku yang minggu lalu mengundurkan diri secara tiba-tiba. Desain ini bagus, tetapi tidak hidup. Aku terus memaksa mataku mencari sesuatu yang dapat menarik perhatianku. Kurasa dia sudah terlalu tertekan sehingga gambar yang dibuatnya sangat kacau.
Sampai tiba-tiba ....
"Tok, tok, tok!"
Terdengar suara ketukan di pintu. Tak berapa lama, terdengar lagi suara pintu terbuka. Setelahnya kutangkap derap langkah kaki masuk ke ruang kerjaku, sementara aku masih fokus pada gambar di depanku.
Dari ekor mata, aku melihat Vina, seorang staf personalia datang bersama seorang perempuan lainnya yang kutahu pasti adalah karyawan baru yang profilnya baru saja kubaca tadi pagi. Kalau tidak, untuk apa staf personalia mampir ke departemen lain pagi-pagi begini. Apalagi, memang salah satu posisi Junior Consultant sedang kosong karena Deon, karyawan terbaik yang ternyata tidak tahan bekerja di bawah tekananku mengundurkan diri secara mendadak pada minggu lalu.
"Perkenalkan, ini Junior Consultant yang akan mulai bekerja hari ini, Pak." Kudengar suara Vina yang memperkenalkan sosok di sebelahnya.
Aku masih berusaha menyelesaikan membaca lembar terakhir rancangan gambar yang kacau ini. Berharap akan menemukan sesuatu yang pas di mataku, tapi tidak ketemu juga.
Sedetik kemudian aku menoleh ke arah mereka berdua, selanjutnya yang aku katakan, "Kamu revisi desain ini. Sesuaikan dengan konsep yang sudah ada. Klien yang satu ini lumayan ... merepotkan."
Aku meliriknya sekilas dan dari apa yang kuamati secara kilat, dia terlihat panik dan kesal. Namun, kemudian dia menjawab, "Baik, Pak, akan saya kerjakan." Singkat.
Pasti dia merasa tidak siap di hari pertamanya ini. Tentu saja, di mana-mana yang namanya karyawan baru akan menjalani masa adaptasi pada hari pertama bekerja. Mulai dari perkenalan diri, perkenalan bidang kerja serta suasana kerja, dan lain sebagainya. Namun, tidak dengan departemen yang ada di bawah tanggung jawabku.
Di departemen ini ide-ide baru dan segar akan bermunculan dan semuanya itu harus diasah setiap waktu, tidak ada istilah menunggu inspirasi. Dengan diasah setiap waktu, aku yakin potensi setiap karyawan yang dimiliki Mills akan semakin berkembang dan bahkan maju.
Salah satu caraku untuk melihat dan mengembangkan potensi anak buahku adalah dengan menggembleng mereka sejak menit pertama mereka menginjakkan kaki di perusahaan ini. Dengan begitu, aku bisa membuktikan pada perusahaan bahwa orang-orang yang berada di departemen ini memang pantas untuk mengembangkan bisnis di perusahaan.
Setelah Vina dan perempuan yang aku lupa namanya itu menghilang dari balik pintu, aku kembali fokus pada layar laptopku. Proposal untuk proyek terbaru Mills baru saja dikirimkan Frans, salah satu desainer yang kupercaya untuk memegang proyek ini. Aku cukup puas dengan proposal yang dibuatnya.
Selanjutnya, yang harus dilakukan adalah mengatur pertemuan dengan bagian pembelian untuk mendiskusikan pilihan material dan harganya, lalu pengajuan desain pada klien. Ah, there is still a long process to go through. (1)
Kulirik jam kecil di meja kerjaku, sudah menunjukkan pukul 11.00. Aku memeriksa email, tidak ada pesan baru yang masuk dari tim Creative. Akhirnya, kuraih telepon dan menekan tombolnya dengan nomor extention yang sudah kuhafal di luar kepala. Aku yakin betul desainer baru itu duduk di meja lama Deon.
"Ke ruangan saya, sekarang!" perintahku begitu panggilan di seberang diangkat.
Tak lama menunggu, kudengar ketukan pintu dan Junior Consultant yang baru itu langsung masuk ke ruanganku. Dia menyerahkan desain ruangan yang tadi pagi kuperintahkan untuk direvisi.
"Siapa yang menyuruh kamu mencetak gambar ini?"
Dia tampak bingung dengan pertanyaanku, dan malah balik bertanya padaku, "Bukannya Bapak menyuruh saya untuk merevisi desain ini?"
"Tapi saya tidak menyuruh kamu bawa printout kesini. Kamu, kan, bisa kirim via email."
"Tapi, Bapak tidak mengatakannya tadi," bantahnya. Ah, ya, setelah kuingat-ingat memang aku tidak menyebutkan dengan cara apa dia harus menyerahkan gambar itu padaku.
"Saya tidak harus menyebutkannya, kan? Di jaman yang serba canggih seperti sekarang ini, apa kamu tidak tahu ada teknologi bernama email yang bisa digunakan untuk mengirimkan data?" Ia terdiam. "Saya tahu kamu bukan anak SD lagi, karena itu saya kira kamu akan mengerti berkorespondensi melalui email. Desain yang kamu kerjakan ini belum final, itu kenapa kamu tidak perlu mencetaknya karena akan sangat boros kertas."
"Tapi, Pak, saya belum diberikan user email. Apa Bapak tidak ingin melihat printout yang saya bawa saja?"
Aku meliriknya. Anak ini tidak mudah menyerah, pikirku. Biasanya orang lain akan ciut dengan permainan kataku dan akan menerima apapun yang aku katakan serta perintahkan. Baiklah, aku mengalah.
"Duduk!" ucapku akhirnya. Dia menurut.
Aku memperhatikan desain yang dibuatnya. Tidak bisa kupungkiri, desain ini terlihat rapi, menarik, dan detail. Terasa lebih hidup.
"Well, hasil kerja yang bagus. Desain yang kamu buat ini lebih 'hidup' daripada desain sebelumnya."
"Terima kasih, Pak." Dia tersenyum.
"Jangan bangga dulu." Bisa kulihat dari ekor mataku, senyum leganya perlahan menghilang. "Desain ini belum rampung dan belum kita perlihatkan pada klien yang banyak maunya itu."
Dia terdiam. Aku memperhatikannya sekilas, lalu kualihkan pandanganku darinya.
"Dan," lanjutku, "kamu mengecewakan saya soal ketepatan waktu. Sebagai informasi, saya paling tidak bisa menoleransi keterlambatan dalam hal apapun itu. Biasakan diri kamu untuk kedepannya ..." Aku mencari ID Card-nya untuk mengetahui namanya, Anetta Briana. Namun, aku memilih memanggilnya, "... Junior."
Dia masih dengan reaksi datarnya, sampai aku memberikan perintah. "Kamu bisa kembali bekerja."
"Baik, Pak." Dia beranjak dari duduknya dan meninggalkan ruang kerjaku.
Aku masih tidak melepaskan pandangan dari sosok si Junior itu. Entah mengapa, seperti ada sesuatu yang berbeda darinya. Aku tidak tahu, apakah ini hanya perasaanku saja atau bagaimana. Namun, mengingat ini adalah hari pertamanya bekerja, aku buru-buru menghapus ekspektasiku yang tinggi terhadapnya. Aku tidak boleh begitu saja menaruh harapan padanya. Bagaimana kalau dia ternyata tidak jauh berbeda dengan Deon?
Teleponku berdering tepat saat pintu ruang kerjaku tertutup. Kutekan tombol handsfree, lalu kuterima panggilan tersebut.
"Pak, Mr. Arthur dan Ibu Liliana sudah menunggu di ruang meeting B."
"Thank's, Olla." Klik.
Aku meraih tab yang biasanya kubawa dalam rapat. Tentu saja ini lebih praktis daripada buku agenda, karena tersambung dengan internet yang akan memudahkan jika sewaktu-waktu aku membutuhkan bantuannya. Kemudian, dengan segera aku beranjak dari dudukku. Satu lagi klien besar tengah menungguku dan aku dengan sangat siap akan menemuinya.
Saat melewati ruang Creative, kulihat Anetta sedang membaca sebuah berkas, lalu kuhampiri dia.
"Junior, ikut saya!"
••••••••••
(1) Ah, masih banyak lagi proses yang harus dilalui!
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 110 Episodes
Comments
Violet Agfa
aku lnjuuut thoor
2020-08-31
2
Bintang Timur
Hai Bos, Bintang udah baca sampai sini nih 😁
tertarik sama yang berbau2 desain 😍😍
love lah Kak Author.. 💜
kulanjut bacanya 💐 biar bisa ngerti, macam mana kerja jadi desainer macam Anetta 😆😆
2020-08-26
3
Pembacaaaa_
semangat kak
2020-07-21
1