Bos Marco
Anetta's POV
Hari ini merupakan hari pertamaku bekerja. Aku tidak mau sampai terlambat dan lebih tidak ingin citraku rusak di hari pertama ini. Namun, keinginan hanyalah keinginan, seperti sebuah rencana yang tidak selalu bisa berjalan mulus dan lancar.
Bukan karena macet bukan juga mogok, tapi bus yang kutumpangi ini jalannya lambat sekali. Aku jadi geregetan sendiri. Tahu begini aku akan memilih naik taksi online saja tadi. Kulirik arlojiku, untungnya masih ada setengah jam lagi sebelum jam masuk dan kurasa tidak sampai sepuluh menit lagi aku akan tiba di kantor. Cukuplah, untuk menemui bagian personalia, lalu mulai bekerja.
Setibanya di kantor, aku langsung menemui bagian personalia untuk mengambil ID Card. Selesai dari bagian personalia, aku diminta mengikuti Mbak Vina, salah satu staf personalia yang akan mengantarkanku ke ruangan di mana aku ditempatkan.
Sembari berjalan mengikuti Mbak Vina, aku tak berhenti mengagumi kantor ini. Ruangan yang penuh dengan hiruk-pikuk manusia yang sibuk dengan pekerjaannya masing-masing. Ah, tak sabar rasanya bekerja dengan suasana ini, mengerjakan proyek-proyek desain untuk berbagai macam klien, mengasah kreativitasku, dan menemukan ide-ide baru dalam mencapai target.
Merupakan impianku untuk bisa bekerja dan menjadi bagian dari Mills Design & Consulting, salah satu perusahaan jasa konsultan desain terbesar dan terkemuka di kota ini.
Kalau dipikir-pikir, aku yang seorang fresh graduate (1) ini beruntung sekali bisa diterima bekerja di sini. Berbekal ijazah S1 jurusan Interior Design, tanpa pengalaman kerja—karena memang baru saja wisuda tiga bulan yang lalu, aku memberanikan diri untuk melamar sebagai Junior Consultant. Bersyukur, setelah melalui rangkaian tes, aku diterima.
"Selamat pagi, Pak. Perkenalkan, ini Junior Consultant yang akan mulai kerja hari ini." Begitu kalimat pertama Mbak Vina kepada seorang pria yang sedang duduk dengan wajah serius sembari membaca berkas di mejanya.
Dia masih belum menoleh, masih serius menekuri lembaran kertas besar berisi gambar dan angka. Kulirik papan nama di sebelah monitor komputernya, Marco Denovan, Senior Executive Consultant.
Oh, wow! Pria maskulin nan dingin ini adalah bosku ternyata, tapi kenapa saat wawancara terakhir dengan user kemarin aku tidak melihatnya, ya?
Pak Marco menutup map yang tadi dibacanya, lalu menyodorkannya padaku. Belum sempat aku bertanya meminta penjelasan, dia membuka bicara, "Kamu revisi desain ini. Sesuaikan dengan konsep yang sudah ada. Klien yang satu ini lumayan ... merepotkan."
Kuterima map yang diberikannya itu, tapi aku tak bisa berkata-kata. Detik pertama, aku terbius dengan karisma dan sifat bossy-nya, selanjutnya aku merasa panik dan kesal. I mean, ini hari pertamaku dan baru sekitar satu jam yang lalu aku menginjakkan kaki di kantor ini. Apakah tidak ada waktu untuk perkenalan diri atau job description**, atau basa-basi yang lain? Baiklah, sepertinya aku hanya harus berpikir positif bahwa beginilah rasanya bekerja di perusahaan besar dengan jam terbang tinggi.
"Baik, Pak, akan saya kerjakan." Hanya itu kalimat yang keluar dari bibirku setelah otakku kembali normal. Sambil kutunjukkan senyum terbaikku, sekedar senyum perkenalan.
Wish today will be a great first day (2), gumamku berulang-ulang.
"Pak Marco memang begitu, kaku, dingin. Nanti kamu juga akan terbiasa." Suara Mbak Vina yang lembut sedikit mengagetkanku, dia sepertinya tahu apa yang aku pikirkan.
"Hm, tapi kenapa beliau tidak ada saat wawancara dengan user kemarin, Mbak?"
"Beliau memang tidak pernah ikut wawancara terakhir. Katanya, adalah tugas kami untuk mencari karyawan yang terbaik. Jadi, beliau tidak terbebani kalau karyawan baru pilihan kami tidak kompeten dan dia harus memecatnya."
Aku terdiam sejenak mendengar penjelasan Mbak Vina. Apakah tugas pertama ini merupakan tes yang dilakukan Pak Marco untuk menguji kompetensiku?
"Anetta, ini meja kerja kamu." Lagi-lagi aku terkejut mendengar suara Mbak Vina. Entah sudah berapa kali aku melamun sepanjang pagi ini.
"Terima kasih, Mbak, sudah mengantar saya," jawabku ramah pada Mbak Vina.
"Enggak usah kaku, gitu. Panggil aku Vina dan enggak usah pakai 'saya' segala. Aku rasa kita bisa jadi teman baik."
Senyum sumringah tersungging di wajahku. Teman pertama di hari pertama. Sounds good (3). "Baik, Mbak ... Eh, Vin ... Terima kasih."
"Seperti yang tadi aku bilang, kamu akan sering berdekatan dengan seorang Marco Denovan. So, biasakan dirimu," katanya lagi sambil tersenyum lalu dia mendekatkan wajahnya ke telinga kananku, "FYI, he's single," (4) ucapnya untuk terakhir kali, sebelum berbalik dan melangkah menuju ruang personalia.
Aku hanya tersenyum bingung mendengar apa yang diucapkan Vina barusan. Apa juga masalahnya denganku kalau dia single?
Sepeninggal Vina, aku mulai menata meja kerjaku secara kilat karena aku sudah mendapatkan tugas pertama dan berdasarkan pengamatanku terhadap bosku yang tadi pagi kutemui itu, aku harus menyelesaikan tugas ini sesegera mungkin agar dia tidak meragukan kompetensiku.
Konsep, elegant Skandinavian style. Aku tidak tahu di mana letak kekurangan desain ini sehingga perlu kurevisi, tapi aku tidak boleh menyerah. Pak Marco tidak boleh menganggap aku remeh hanya karena aku seorang fresh graduate.
Kuputar otakku untuk mencari jalan bagaimana aku bisa menyelesaikan tugas pertamaku ini. Langkah pertama, aku harus membaca profil klien. Wajib hukumnya untuk memahami karakter si klien melalui pekerjaannya ataupun melalui hobinya. Setidaknya begitulah prinsip yang kubuat untuk diriku sendiri. Setelahnya, barulah aku bisa tahu apa desain seperti apa yang cocok untuknya.
Aku larut dalam kesibukanku sampai tak menyadari ada seseorang yang sedang memandangiku di sisi sebelah kananku.
"Lo Junior Consultant yang baru itu, ya?" tanyanya sambil memandangiku. Belum sempat aku menjawabnya, hanya menoleh sambil mengangguk. "Perkenalkan, Frans Adrian Stefanus Lumowa. You can call me Frans (5)," sambungnya sambil menyodorkan tangannya kepadaku.
Kusambut uluran tangan Frans sambil memperkenalkan diriku, "Anetta." Tak lupa senyuman manis sebagai senyum perkenalan.
"Ah, Anetta. Karyawan baru yang mendapat tugas pertama di hari pertama bekerja," katanya sambil tersenyum penuh arti.
Aku tak bisa menghindari tatapan bingungku ketika aku menatapnya.
"Kamu tahu?" tanyaku penasaran. Frans hanya tersenyum. "Kamu juga pernah mengalaminya?" lanjutku.
Belum sempat Frans menjawab pertanyaanku, percakapan kami mendapat interupsi dari seorang gadis berwajah oriental dengan perawakan langsing yang baru saja datang dari arah pantri. Di tangannya, dia membawa secangkir mochaccino hangat yang menguarkan harum khas.
"Dasar raja gombal, langsung, deh, tebar pesona!" kata gadis itu setengah menyindir Frans. Lelaki itu mencibir mendengar sindiran gadis yang kini mampir di depan mejaku dan memperkenalkan dirinya, "Lana. Anetta, kan?"
Aku menyambut uluran tangan Lana, sambil mengangguk, kemudian kembali mengulang pertanyaanku pada Frans yang belum dijawabnya tadi. "Jadi, apa kalian dulu juga langsung dapat tugas di hari pertama kerja?"
Frans menggeleng. "Enggak semua karyawan baru mengalaminya. The best and the worst (6). Jaman gue dulu, ada empat konsultan baru yang diterima di Mills. Gue lulus tes dengan predikat yang biasa-biasa aja, sedangkan teman seangkatan gue yang dapat nilai tertinggi, dapat tekanan sejak hari pertama. Persis lo gini."
Aku berusaha mencerna perkataan Frans, sambil mengingat bahwa aku satu-satunya konsultan yang diterima pada periode ini. Karena pada lowongan kerja tempo hari disebutkan bahwa Mills hanya membutuhkan satu orang untuk mengisi posisi tersebut dan akulah yang lulus tes penerimaannya.
"Ya, kita tahu, kok. Kamu satu-satunya konsultan yang diterima, kan? Karena kamu menggantikan posisi karyawan yang mendapat nilai tertinggi itu. Dia baru aja mengundurkan diri karena enggak kuat dengan tekanan dari Bos Marco. Kamu tahu, si bos benar-benar mengecam dia, karena dia nggak bisa membuktikan bahwa predikat terbaik itu pantas untuknya," jelas Lana, seakan bisa membaca pikiranku.
"Well, I got it (7). Berarti, sepertinya aku akan mendapat tekanan yang sama."
"Atau bahkan lebih berat," sambung Lana cepat, "Baiklah, cukup sekian dulu perkenalan kita. Selesaikan tugasmu sebelum teleponmu berdering. Karena kalau teleponmu sudah berdering, kamu harus menyiapkan mental untuk menghadapi Bos Marco."
Setelah mengatakan itu, Lana kembali ke meja kerjanya. Begitu juga dengan Frans yang menggeser bangkunya kembali ke meja kerjanya.
Aku kembali menekuri desain yang ada di meja, lalu beralih ke monitor komputerku. You can do it, Netta! (8) Begitu mantra yang kuucapkan sebelum aku kembali berkonsentrasi menyelesaikan desain berkonsep Skandinavian whatsoever ini.
Kulirik jam dinding besar di depan sana menunjukkan pukul 11.15. Desain ini masih empat puluh persen jadi. Aku mencoba me-review dari awal, apakah sejauh ini desainnya sudah sesuai dengan konsep yang diberikan.
Aku sedang bermain dengan mouse komputerku, ketika tiba-tiba telepon di mejaku berdering. Aku terkejut, tapi sedetik kemudian bergidik, lebih takut mengingat apa yang dikatakan Lana tadi.
Dengan segera kuangkat telepon itu dan setelahnya kudengar suara datar Bos Marco di seberang sana.
"Ke ruangan saya, sekarang!" Klik, telepon ditutup.
Dengan tergesa aku mencari menu print dan dengan tidak sabar menyambar lembar terakhir yang keluar dari printer. Setengah berlari, aku berusaha secepat mungkin sampai di ruangan Bos Marco.
••••••••••
(1) Lulusan baru (seseorang yang baru saja lulus sekolah/kuliah)
(2) Semoga hari ini menjadi hari yang luar biasa.
(3) Terdengar bagus.
(4) Sebagai informasi, dia lajang.
(5) Kamu bisa memanggilku Frans.
(6) Yang terbaik dan yang terburuk.
(7) Baiklah, aku mulai mengerti.
(8) Kamu bisa melakukannya, Netta!
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 110 Episodes
Comments
nobita
nyimak thor
2021-04-24
0
agustina
bos...marco...kayyak triplekya 😊😊
2020-09-01
1
BinYana
penasaran....aku mampir boleh??💝💞💞😘😘😘
2020-08-31
1