Pagi hari, kondisi Azzam sudah lebih baik. Sudah bisa bergerak dan jalan walaupun harus dibantu oleh Zahra. Dia tak mengeluhkan sakitnya selama ada sang istri tercinta yang setia merawatnya.
" Dek, kamu ada jadwal ngajar hari ini?" tanya Azzam.
" Ada, tapi cuma dua kelas. Jadi jam sepuluh sudah selesai, Mas. Ada apa...?"
" Biar Rama di rumah saja, nanti Mas yang jaga."
" Jangan, Mas. Rama itu lagi aktif banget sekarang. Nanti Mas kerepotan jagain Rama."
" Aku ini ayahnya, Dek. Selama ini kamu melakukannya sendiri bisa, masa' iya aku nggak bisa..."
" Bukan begitu, Mas... kondisi kamu sekarang ini tidak memungkinkan. Kamu jalan saja masih susah, nanti malah tambah sakit."
Azzam menatap lekat istrinya. Dia merasa menjadi beban untuk istrinya. Saat ini saja dirinya masih belum mampu untuk berdiri tegak.
" Jangan memikirkan apapun, istirahat saja dirumah." ucap Zahra lagi.
" Terimakasih ya, Dek."
" Untuk...?"
" Sudah mau bersabar dan ikhlas merawatku."
" Mas ini suamiku, kita akan menjalani suka duka kehidupan bersama. Tidak ada satu rahasiapun diantara kita."
Azzam terdiam mendengar ungkapan istrinya. Seperti sebuah sindiran yang ditujukan untuknya walaupun tanpa disengaja.
" Iya, sayang... maaf karena Mas banyak menuntut padamu."
" Ya sudah, Adek berangkat dulu ya?"
" Hati - hati..."
" Assalamu'alaikum, Mas..."
" Wa'alaikumsalam."
Setelah Zahra meninggalkan rumah bersama Rama, Azzam duduk termenung di teras. Ada rasa khawatir dalam dirinya jika suatu saat nanti Zahra tahu siapa dia sebenarnya.
Azzam sudah mengubur dalam masa lalunya dan Zahra menerima itu. Wanita yang sudah tiga tahun menjadi istrinya itu tak pernah menanyakan tentang kehidupan masa lalunya. Mereka sudah sepakat untuk tidak terlarut dalam masa lalu karena yang terpenting adalah bagaimana cara menghadapi masa yang akan datang.
Azzam hanya takut seandainya Zahra mengetahui tentang masa lalunya, akankah dia bisa menerima dirinya seperti saat ini. Hatinya sudah damai dengan kehidupannya sekarang, di desa terpencil dengan anak dan istri yang selalu berada di sisinya.
" Assalamu'alaikum, Mas Azzam..." seorang wanita yang berusia hampir setengah abad itu menghampiri Azzam yang sedang melamun.
" Wa'alaikumsalam, Bu... Maaf, saya tidak lihat tadi." ucap Azzam sopan.
" Tidak apa - apa, tadi kata Agus kamu semalam mengalami musibah. Apanya yang sakit, Nak?"
" Memar di punggung saja, Bu. Ini sudah mendingan kok."
" Udah makan belum? Ini ibu bawa nasi sama lauk."
" Terimakasih, Bu. Tadi Zahra juga sudah masak sebelum berangkat ke sekolah."
" Ya sudah, ibu simpan di dalam saja. Nanti kalsu lapar di makan saja. Oh iya, Rama dimana?"
" Ikut Zahra ke sekolah, Bu."
" Harusnya titipin saja sama ibu. Lha wong saya ini cuma nganggur. Kalau ada Rama itu, ibu jadi seneng seperti ngasuh cucu sendiri."
" Takut merepotkan ibu nanti?"
" Ndak ada yang direpotkan! Ibu seneng bisa main sama anakmu. Bisa mengobati rasa kangen ibu sama cucu yang diluar kota."
Setelah berbincang sebentar, ibunya Agus pamit karena mau beres - beres rumah. Beliau memang sangat perhatian pada keluarga Zahra. Dulu, ayah Zahra sering membantu keluarga Agus. Bahkan anak pertamanya, Rina adalah teman sekolah Zahra. Semua urusan sekolah Rina ditangani oleh ayahnya Zahra karena bapaknya Rina seorang buruh di perantauan sedangkan ibu Rina tidak bisa naik motor jadi semua urusan sekolah sekalian diurus ayahnya Zahra.
.
.
Zahra pulang sambil menggendong Rama yang tertidur. Motor sudah ia parkir di halaman rumah. Setelah mengucap salam, Zahra mencium punggung tangan suaminya dengan takzim.
" Capek ya, Dek?" tanya Azzam.
" Tidak, Mas. Kerjanya juga tidak kepanasan kok. Oh iya, nanti sore Zahra bantuin Agus dan Cahyo panen cabai, ya?" ucap Zahra.
" Jangan...! Kamu di rumah saja, biar Agus dan Cahyo yang kerja." tolak Azzam.
" Tapi, Mas... sudah lama Zahra nggak kerja di sawah. Dulu... setiap hari sepulang sekolah, Zahra selalu ikut ayah ke sawah. Banyak kenangan indah disana, kebahagiaan kami berdua tanpa ibu." ucap Zahra sendu.
" Mas bukannya mau menghapus kenangan indah kamu sama ayah... Mas hanya tidak mau melihat kamu lelah. Bekerja itu adalah kewajiban aku sebagai suami dan kepala keluarga."
" Tapi tidak ada salahnya membantu pekerjaan suami, kan?"
" Hanya dirimu yang aku miliki, Za. Hanya dirimu penguat hidupku. Aku tidak mau menyusahkankanmu, membuatmu menderita dan tidak bahagia. Aku ingin membuatmu merasa nyaman dan bahagia walaupun hidup kita sederhana."
Zahra memeluk suaminya dengan erat. Ada air mata yang mengalir di sudut matanya tanpa ia sadari. Zahra tak menyangka bahwa pernikahan yang awalnya hanya karena sebuah syarat ternyata bisa membuatnya hidup bahagia walaupun tak ada harta benda yang melimpah.
" Terima kasih, Mas. Zahra sangat beruntung memiliki suami yang sangat baik dan bertanggung jawab. Entah apa yang sudah terjadi dengan nasibku dulu sehingga bisa menikah dengan pria yang sama sekali tidak aku kenal."
Azzam mengajak Zahra untuk berbaring di ranjang di samping Rama yang sangat lelap dalam tidurnya. Diciumnya kening sang istri berkali - kali untuk mengungkapkan rasa sayangnya.
" Kamu tidak pernah menyesal menikah dengan Mas?"
" Tidak... hidupku sebatang kara, tak ada satupun keluarga yang dekat denganku. Aku bersyukur bisa bersamamu saat ini."
" Kamu tidak pernah ingin tahu tentang masa laluku?"
" Buat apa, Mas? Bukankah Mas sendiri yang bilang tak ingin mengingat masa lalu dan hanya memikirkan masa depan saja?"
" Iya, tak ada yang istimewa dari masa laluku, lebih baik kita bahas masa depan. Oh iya, Rama udah nggak minum ASI lagi,kan?"
" Sudah sebulan ini lepas ASI, Mas... Kenapa menanyakan itu?"
" Berarti sudah boleh buat bapaknya, dong?"
" Ish... jangan aneh - aneh kamu, Mas!"
" Apa salahnya kita bikin adik buat Rama?"
" Rama itu masih kecil, Mas! Zahra belum siap untuk punya anak lagi."
Azzam tersenyum seraya mengelus pipi Zahra yang selalu membuatnya gemas ingin menerkamnya. Entah apa yang dulu membuat Azzam bisa jatuh cinta dengan gadis sederhana dan polos itu.
" Iya, Mas tidak akan memaksa jika Adek belum siap. Hanya dirimu yang Mas punya, jangan pernah meninggalkan aku apapun yang akan terjadi pada kita nantinya."
" Insya Allah, Zahra akan selalu setia dan akan berusaha untuk menjadi istri Mas dunia akhirat. Apapun yang terjadi di masa lalu dan masa depan, semua itu sudah takdir dari Sang Pencipta. Kita sebagai makhluknya hanya bisa pasrah dan terus bersyukur dengan apa yang kita jalani saat ini."
" Istriku memang sangat luar biasa, tidak salah dulu Mas pilih kamu."
" Jadi Mas punya kandidat yang lain selain aku?" sungut Zahra.
" Tidak, sayang... kamu adalah yang pertama dan insya Allah yang terakhir untukku." Azzam mendekap erat tubuh istrinya.
" Yang di tengah siapa...?"
" Tengah apa...?"
" Ya... di tengah - tengahnya pertama dan terakhir,"
" Yakin mau tahu? Tidak akan cemburu...?"
.
.
TBC
.
.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 88 Episodes
Comments
Sakur Sakur
nyimak,,ceritanya menarik,😊
2023-07-19
1