Usai sholat Ashar, Azzam bersiap - siap untuk berangkat ke kota. Zahra duduk di teras sambil mengawasi Rama yang sedang bermain.
" Dek, Mas pulangnya agak malam. Tidak usah ditungguin, kamu tidur saja dulu." ujar Azzam.
" Kok lama, Mas? Biasanya juga isya' udah sampai rumah."
" Mas mau ketemu sama teman lama di kota, ada sedikit urusan."
" Bukan mantan pacar, kan?"
" Ya Allah... sejak kapan bidadariku ini posesif begini?" goda Azzam.
" Mas... ihh...! Pergi sana...!" sungut Zahra.
" Mas tidak akan pergi meninggalkan istri yang sedang marah, tidak ada berkahnya walau sejauh apapun langkahku."
Zahra menggendong Rama yang tadinya sedang bermain di teras. Dibawanya sang anak masuk ke dalam rumah.
" Dek... kamu kenapa, sih?" tegur Azzam yang ikut masuk ke dalam rumah.
" Pergilah! Semoga urusanmu cepat selesai dan cepat kembali ke rumah ini, Mas."
" Sayang... Mas pergi cuma antar cabai, tidak akan lama."
" Berjanjilah tidak akan meninggalkan kami?"
" Iya, Mas janji akan selalu bersama kalian seumur hidupku, karena kalian adalah nyawaku..."
Azzam memeluk istrinya dengan erat. Tidak biasanya sang istri merengek seperti itu. Rama ikut memeluk sang ibu walaupun tidak paham apa yang terjadi.
" Dek, kamu kenapa? Cerita sama Mas, jangan membuat Mas khawatir."
" Adek juga tidak tahu, Mas. Pengen rasanya aku ikut Mas pergi."
" Lain kali kita jalan - jalan ke kota ya? Sekarang jangan bersedih, nanti Mas bawakan oleh - oleh."
.
.
Jam setengah lima sore, Azzam sudah sampai di rumah tengkulak itu. Setelah transaksi selesai, ia segera pamit undur diri dan melanjutkan perjalanan ke sebuah resto ternama tak jauh dari kampus tempat Zahra kuliah dulu.
" Assalamu'alaikum," sapa Azzam.
" Wa'alaikumsalam... sudah datang kau, aku sudah menunggu setengah jam disini." sahut pria muda di depan Azzam.
" Ada apa lagi?" tanya Azzam to the point.
" Azzam... pikirkanlah lagi, kamu egois!"
" Egois...? Sejak kapan kau membela mereka...hah!"
" Bukan begitu, Zam... hanya saja_..."
" Cukup! Aku harus pulang, anak istriku sudah menunggu."
" Sampai kapan, Zam? Apa kau pikir dengan hidup di pelosok seperti itu bisa membuat anak istrimu bahagia? Mereka pasti menginginkan materi yang berlimpah."
" Diam kau! Itu bukan urusanmu, jangan mengusik kehidupanku lagi...!"
Azzam beranjak dari tempat duduknya dan segera pergi dari hadapan pria muda yang ditafsir seumuran dengannya. Dari percakapan keduanya, mereka terlihat sudah saling kenal sejak lama.
" Suatu saat kau pasti kembali, Zam." gumam pria itu.
Azzam memarkirkan motornya di depan toko mainan. Kemarin Rama meminta mobil - mobilan karena bosan dengan mainan yang lama. Selesai membeli mainan, Azzam ke toko perhiasan dan membeli sebuah kalung untuk sang istri.
" Azzam...!" teriak seseorang dari belakang.
" Kau lagi? Apa yang kau lakukan disini? Mengikutiku?" sahut Azzam ketus.
" Zam... aku tidak akan berhenti mengejarmu."
" Deni... aku sudah berulang kali katakan padamu. Aku sudah tidak punya urusan apapun dengan mereka."
" Baiklah, tapi setidaknya kau berikan alamatmu padaku jika suatu saat nanti ada sesuatu aku bisa memberitahumu."
" Kau simpan saja nomorku, aku tidak ingin keluargaku terusik dengan kedatanganmu."
" Fine... aku tidak akan mengganggumu, jika boleh jujur... aku ingin melindungimu."
" Melindungiku?"
" Ya, saat ini suasana sedang buruk. Ada yang mengincar nyawamu, jaga keluarga barumu. Aku pergi dulu, jangan sampai ada yang curiga kita bertemu."
" Kau juga hati - hati... jaga keselamatan dia..."
Deni tersenyum simpul lalu memeluk erat tubuh Azzam. Sudah lama sekali mereka tak berjumpa. Ego dan emosi serta masalah membuat mereka harus terpisah. Keadaan yang membuat Azzam harus meninggalkan masa lalunya.
" Aku tahu kau mengkhawatirkannya, aku akan menjaganya untukmu. Salam buat istri dan anakmu, aku akan berkunjung suatu saat nanti." lirih Deni.
" Jangan sekalipun datang tanpa kuminta!"
" Siap, Boss..."
.
.
Azzam segera kembali ke desa karena sudah hampir maghrib. Dia mampir dulu ke masjid terdekat untuk sholat maghrib. Tidak lupa ia membeli makanan untuk anak dan istrinya. Dari dulu istrinya sangat suka nasi padang, sedangkan anaknya dibelikan jajanan sangat banyak.
Usai sholat maghrib, Azzam melanjutkan perjalanan menuju kampung halamannya. Hari sudah mulai gelap dan jalanan menuju kampung sudah mulai sepi. Tak banyak kendaraan yang lewat karena memang desanya berada di batas kota.
Kumandang sholat Isya', Azzam baru setengah perjalanan menuju arah tempat tinggalnya. Mencari masjid terdekat supaya tidak ketinggalan banyak waktu nantinya.
Selesai sholat Isya', bergegas Azzam meninggalkan masjid tersebut. Namun baru beberapa menit keluar dari area masjid, ada beberapa motor yang mengikutinya.
" Tidak mungkin Deni mengikutiku, kan?" gumam Azzam.
Azzam mempercepat laju motornya karena jalan yang sepi karena melewati jalan yang di kanan dan kirinya ditanami tebu.
" Berhenti...!" teriak orang yang wajahnya masih tertutup helm dengan parang di tangannya.
" Astaghfirullah...! Jadi mereka rampok," batin Azzam.
Jika diladeni, Azzam ragu apakah bisa menang. Pasalnya mereka ada lima orang, ia ragu dengan kemampuannya melawan mereka. Sudah lama Azzam tak pernah mengasah ilmu bela dirinya, sejak menikahi Zahra hanya olahraga di kamar hampir tiap malam.
Salah satu penjahat menghadang motor Azzam di depan sehingga dengan cepat ia menarik remnya. Mau tidak mau Azzam harus menghadapi mereka karena sudah tak bisa menghindar lagi.
Azzam turun dari motor dan melepas helmnya. Dengan mengucap do'a keselamatan dalam hati, ia menatap tenang para penjahat itu.
" Maaf... saya sedang terburu - buru, bolehkah saya pergi?" kata Azzam sopan.
" Cihh... serahkan semua barang - barangmu baru boleh pergi...!" sahut salah satu dari mereka beringas.
" Kalian tidak berhak atas barang yang saya miliki, kecuali saya dengan ikhlas sedekah untuk kalian."
" Haisssh...! Sedekah kau bilang? Kami perampok, bukan pengemis!"
" Saya tidak mengatakan kalian pengemis... Astaghfirullah,"
" Hajar dia...!"
Perkelahian tak dapat terhindarkan. Azzam dengan sigap menangkis serangan lawan dengan tenang. Tak ada emosi dalam setiap serangannya karena itu adalah kunci utama dalam menghadapi musuh 'tenang, sigap dan waspada.'
Hanya butuh waktu sepuluh menit saja, Azzam bisa melumpuhkan lima perampok itu. Tak ada luka serius di tubuh Azzam, hanya sedikit memar mungkin di punggung akibat pukulan benda tumpul.
" Sudahlah... kalian hanya buang waktu dan tenaga saja. Lebih baik cari pekerjaan yang halal untuk menghidupi keluarga. Jangan sampai kalian menyesal telah memberikan nafkah haram untuk anak dan istri." ujar Azzam lalu mengambil helm dan memakainya.
Azzam meninggalkan mereka yang masih terkapar di tengah jalan. Walaupun ia tak membuat mereka cidera serius, namun butuh waktu beberapa hari untuk pulih dari memar dan juga nyeri.
Jam setengah sembilan, Azzam sampai di rumah. Terlihat sang istri di teras duduk menunggunya. Begitu motor terparkir, Zahra langsung menyambut kedatangan sang suami.
" Assalamu'alaikum, Bunda..." sapa Azzam dengan tersenyum.
" Wa'alaikumsalam, Mas... kok lama pulangnya?" sahut Zahra cemas.
" Hmm... ayo masuk dulu! Tolong bantu Mas bawa barang belanjaan ini."
Azzam menyerahkan beberapa kantong kresek ke tangan istrinya dan sisanya ia bawa sendiri. Azzam tahu istrinya sedang cemas namun dirinya malah tersenyum lebar. Sampai di ruang tamu, Azzam langsung duduk diikuti Zahra yang sedari tadi mengekor di belakangnya.
" Kamu kenapa sih, Dek? Kok mukanya nggak ada senyum - senyumnya gitu?" tanya Azzam heran.
" Mas baik - baik saja, kan?"
" Hmm... sepertinya tidak. Ada sesuatu yang ingin aku katakan padamu."
" Apa...?"
" Sebenarnya Mas itu_..."
.
.
TBC
.
.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 88 Episodes
Comments