Azzam pagi - pagi sekali sudah berada di sawahnya bersama Agus dan Cahyo. Mereka memanen cabai yang sudah berwarna merah. Beruntung sekali harga cabai saat ini sedang naik dan hasil panennya juga lebih banyak.
" Mas Azzam... kayaknya hari ini tidak akan selesai panen untuk satu petak saja, soalnya banyak cabainya." ucap Cahyo.
" Syukur Alhamdulillah, Yo... hasil panen kali ini melimpah. Semoga jadi berkah untuk kita semua." sahut Azzam.
" Aamiin... nanti diantar ke kota apa diambil tengkulaknya, Mas?" tanya Agus.
" Kebetulan tengkulaknya tidak bisa datang, nanti kita angkut dengan motor saja."
" Nanti biar saya sama Agus saja, Mas yang ke kota."
" Tidak usah, saya sekalian mau beli mainan buat Rama. Lagian yang ini cuma tiga puluh kilo saja."
" Siap, Boss! Kita harus cepat petiknya biar bisa dapat tiga puluh kilo. Semangaattt...!" teriak Agus.
Jam tujuh pagi, Zahra datang ke sawah untuk mengirim sarapan untuk suami dan teman - temannya. Sambil menenteng rantang, Zahra menggendong Rama di belakang seraya membawa termos di tangan satunya.
" Assalamu'alaikum," sapa Zahra.
" Wa'alaikumsalam... sudah selesai masaknya, Dek?" sahut Azzam.
" Iya, Mas. Soalnya sebentar lagi aku juga harus mengajar."
" Makasih ya, Dek. Kamu masih sempat kirim makanan kesini."
" Ajak Agus sama Cahyo sarapan dulu, Mas."
" Iya, Dek. Sebentar Mas panggil mereka dulu."
Mereka sarapan bersama di saung kecil yang dibuat Azzam. Zahra menyuapi Rama dengan telaten sebelum dirinya makan untuk dirinya sendiri.
" Dek, kamu juga harus makan. Biar Mas yang menyuapi Rama." kata Azzam.
" Tidak usah, Mas. Ini juga sudah mau habis kok."
" Nanti kamu terlambat ke sekolah, Dek. Kenapa nggak bawa motor saja tadi?"
" Zahra bisa jalan kaki, Mas. Sekalian Rama nanti aku ajak, ya? Mas lagi panen, jadi biar tidak ngrepotin."
" Biar saja disini, Dek. Justru kalau di sekolah nanti ganggu kamu mengajar."
" Iya, Mbak. Nanti kami bisa gantian jaga Rama sekalian istirahat." usul Agus.
" Ya sudah, kalau kalian bersedia jaga Rama. Terimakasih, ya?"
" Sama - sama, Mbak."
Setelah sarapan, Zahra pamit untuk berangkat mengajar. Zahra mengajar sebagai guru honorer di desanya. Dia ingin memanfaatkan ilmu yang ia dapat saat kuliah dan juga keinginan orangtuanya yang ingin anaknya bisa menjadi orang yang berguna bagi masyarakat.
.
.
Jam sebelas siang, Zahra sudah sampai di rumah dan terlihat suaminya sedang menyuapi Rama di teras. Agus dan Cahyo juga berada disana sedang menimbang cabai yang akan disetor ke kota nanti sore.
" Assalamu'alaikum..." ucap Zahra.
" Wa'alaikumsalam." jawab mereka serempak.
" Tuh... Bunda udah pulang." ujar Azzam pada anaknya.
" Hei kesayangan bunda... baru makan ya?" Zahra duduk di depan putranya yang sedang tersenyum.
" Memangnya ayah bukan kesayangan," sungut Azzam.
" Cieee... Cieee... ada yang cemburu nih, untung yang dipanggil kesayangan bukan kita." sindir Agus sambil melirik Cahyo.
" Aku emoh disayang mbak Zahra, nanti rejeki jadi seret." sahut Cahyo sambil nyengir.
" Memangnya kenapa?" tanya Agus heran.
" Lihat saja tatapan mas Azzam, kalau kita dipecat mau dapat rejeki dari mana?" sungut Cahyo.
" Anak ayah... yuk masuk saja, biarin bunda sayang - sayangan diluar." ketus Azzam seraya menggendong Rama masuk ke dalam rumah.
" Ish... juragan cabai bisa ngambek juga." seloroh Agus.
" Ojo ngomong meneh! Tak pecat kowe mengko. ( jangan bicara lagi! Saya pecat kau nanti.)" ancam Zahra.
Zahra segera menyusul Azzam ke dalam kamar. Sang suami tampak sedang menidurkan Rama yang sudah menguap berkali - kali.
" Mas_..."
" Ssttt... bersih - bersih dulu sana!"
" Iya..."
Selesai membersihkan diri, Zahra ikut berbaring di samping suaminya. Terlihat Azzam sudah ikut terlelap memeluk Rama. Zahra memeluk suaminya dari belakang dengan erat.
" Apa sih, Dek? Kalau mau minta jatah nanti malam saja." gumam Azzam.
" Jangan ngawur kamu, Mas! Siapa juga yang mau minta jatah." sungut Zahra seraya melepas pelukannya.
Azzam membalikkan tubuhnya lalu memeluk istrinya dengan gemas. Diciumnya kening sang istri dengan mesra lalu mengusap pipinya dengan lembut.
" Adek lelah ya? Mau Mas pijit...?" bisik Azzam.
" Tidak usah, Mas yang lebih lelah kerja dari pagi di sawah." ucap Zahra lirih.
" Maaf ya? Mas belum bisa memberikan nafkah yang cukup untuk kalian. Jangan pernah menyerah mendampingi Mas yang sedang mencari ketenangan dalam hati ini." lirih Azzam seraya menenggelamkan wajah Zahra ke dalam dadanya.
" Ketenangan hati? Maksud ucapan Mas itu apa?" Zahra mendongakkan wajahnya menatap sang suami.
" Eh... tidak, sayang. Mas cuma asal bicara saja. Mungkin efek lelah habis dari sawah." lirih Azzam.
" Kita sudah tiga tahun menikah, jangan sembunyikan apapun dariku."
" Iya, sayang... ambil wudlu dulu gih! Kita jamaa'ah mumpung Rama tidur." titah Azzam.
Walaupun masih ada yang mengganjal di hati Zahra, namun ia tak ingin menambah beban pikiran suaminya.
" Iya, Mas..."
.
.
Usai sholat berjama'ah, Azzam mengajak Zahra untuk beristirahat. Sementara Agus dan Cahyo kembali ke sawah untuk memetik cabai karena hasil panen tadi pagi belum mencapai target.
" Mas... kenapa antar cabai sendirian sih?" rajuk Zahra.
" Kenapa...? Mau ikut... hmm?" sahut Azzam.
" Mau ngapain ikut? Nanti disuruh duduk diatas cabai," sungut Zahra.
" Ish... istriku yang cantik ini bisa merajuk juga." Azzam mencubit hidung Zahra gemas.
" Aahhh... sakit, Mas!"
" Lanjut yang semalam yuk?"
" Apaan sih, Mas! Siang bolong begini mbok ya jangan aneh - aneh."
" Dosa loh, nolak ajakan suami!"
" Huh... terserah kamu saja Mas. Dari dulu kamu sukanya maksa." gerutu Zahra.
" Jadi kamu terpaksa menikah dengan Mas? Kamu nggak ikhlas menjalani pernikahan ini?"
Azzam menatap sendu istrinya lalu beranjak dari tempat tidur. Azzam duduk di teras sambil menghisap rokok yang sudah lama ia tinggalkan semenjak menikah dengan Zahra. Mungkin rokok itu milik Agus atau Cahyo yang tertinggal.
" Mas...! Sejak kapan Mas ngerokok?" Zahra langsung merebut rokok di tangan suaminya.
Azzam yang kaget langsung berdiri. Dia menatap wajah istrinya yang terkesan horor. Sudah bisa dipastikan sang istri akan marah tujuh hari tujuh malam. Azzam semakin terkejut saat tangan sang istri meremas rokok yang masih menyala itu dalam genggamannya.
" Zahra...! Apa yang kau lakukan? Jangan melukai dirimu sendiri!"
Azzam langsung meraih tangan istrinya dan membuang puntung rokok yang sudah hancur itu. Dia tidak habis pikir dengan tingkah konyol istrinya.
" Lihat...! Tanganmu terluka seperti ini, ayo masuk!"
Zahra hanya diam saja tanpa berani menatap suaminya. Mungkin ia merasa bersalah karena sudah membentak suaminya. Azzam mengambil salep untuk mengobati lukanya.
" Maaf..." hanya satu kata yang terucap dari mulut wanita berhijab itu.
" Untuk apa? Kamu tidak salah, lupakan ucapanku tadi di kamar."
" Apa Mas tidak percaya padaku?"
" Sudah, Dek. Tidak perlu bahas itu, Mas cinta sama kamu. Maafkan Mas yang sudah memaksakan kehendak padamu."
" Mas... Adek tidak pernah merasa terpaksa menikah denganmu. Walaupun awal kita menikah tanpa cinta, namun aku yakin Mas adalah seseorang yang telah tercatat dalam takdirku sebagai jodoh, insya Allah dunia akhirat."
" Terimakasih, Dek. Kamu memang bidadari surga yang dikirim Allah untukku. Semoga aku bisa membuatmu terus bahagia walaupun hidup dengan kesederhanaan."
" Bahagia tak harus kaya, Mas."
Azzam menciumi seluruh wajah istrinya dengan gemas. Rasanya tidak rela harus berjauhan dengan istri tercintanya.
" Satu ronde yuk? Sebelum Rama bangun dan mengacaukan kesenangan kita." bisik Azzam.
" Hmm... gendong," rengek Zahra.
Azzam melebarkan senyumnya lalu membopong tubuh istrinya masuk ke kamar di sebelah kamar anaknya.
.
.
TBC
.
.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 88 Episodes
Comments