Bab 5. Memutar Otak

"Mas, sudah cukup ngomelnya?" tanya Tanti.

"Belum! Dan, satu lagi. Jangan pernah lagi minta uang dariku! Karena tak ada sepeserpun jatah untukmu."

"Mas, kalau aku tidak mendapatkan uang darimu, lalu aku dapat dari siapa? Kamu masih suamiku dan tanggung jawab pria mencari nafkah untuk anak dan istrinya. Jangan lupa itu, Mas!" balas Tanti. Dadanya sesak mendapati pria yang selama ini dicintainya sudah berubah seperti itu.

"Terserah kamu! Aku tidak peduli darimana pun asal tidak dariku."

Glek!

Mudah sekali mulutnya mengatakan seperti itu. Dia belum merasakan betapa sulitnya menjadi seorang istri yang berada di rumah. Tanti jelas sakit hati. Selama ini dia sudah berusaha sebaik mungkin mengelola uang belanja yang diberikan suaminya. Namun, sekarang tidak lagi. Ada penyebab suaminya berubah total seperti itu. Mungkin tidak sekarang Tanti tahu, suatu hari nanti Tanti akan mengetahui segalanya tanpa dia harus bersusah payah mencari tahu. Bukannya tidak mau mencari tahu, urusan belanja rumah tangga saja seperti ini. Belum lagi urusan perut anak-anaknya berikut biaya pendidikan yang ditanggung Tanti selama ini.

Setelah pertengkaran hari itu, Ari memutuskan untuk kembali ke tempat kerjanya tanpa berpamitan. Dia benar-benar melupakan tanggung jawabnya sebagai seorang suami. Inikah indahnya pernikahan yang didambakan oleh Tanti selama ini? Tidak! Tanti tidak menginginkan pernikahan yang seperti ini. Ingin menyerah rasanya, tetapi Tanti teringat dengan kedua anaknya.

Siang ini, Tanti sedikit merasa tidak nyaman dengan keadaannya. Hari-harinya sudah dilalui dengan cukup menyedihkan, tetapi dia berusaha tegar walaupun sakit. Kedua anaknya yang baru saja pulang sekolah langsung menghampiri kemudian menyalaminya. Damai dan teduh rasanya melihat anak orang lain yang dirawatnya selama ini bisa bersikap sopan dan santun kepada orang tuanya.

"Sudah pulang, ya?" Basa-basi Tanti pada kedua anaknya.

"Iya, Bu," jawab keduanya.

Tanti melihat mimik muka kedua anaknya terlihat sangat aneh. Seperti ada sesuatu hal yang ingin disampaikan padanya.

"Ada apa? Kenapa mendadak diam seperti itu? Apa ada masalah di sekolah?"

"Iya, Bu. Lusa aku dan Indra harus membayar uang ujian. Ini sudah masuk masa tenggang, Bu. Jika sampai lusa kami belum bisa membayarnya, kami tidak boleh mengikuti ujian, Bu," ucap Teguh, anak yang usianya paling tua setahun daripada Indra.

Deg!

Ya Allah, masalah apalagi ini? Aku lupa kalau ini sudah waktunya membayar untuk ujian mereka. Aku belum mendapatkan uang sama sekali. Tabunganku pun sudah mendekati habis. Ini saja aku berhemat supaya bisa makan beberapa hari ke depan.

"Doakan Ibu ya, Nak. Ibu usahakan untuk mencarikan uang untuk kalian. Oh ya, Ibu sudah siapkan makan siang," ucap Tanti meredam kekalutan yang membalut jiwa dan raganya.

"Terima kasih, Bu," jawab Indra dan Teguh bersamaan. Walaupun dari keluarga yang berbeda, nyatanya Teguh dan Indra bisa seakrab ini dengan keluarga barunya.

Mata Tanti berkaca-kaca setelah memberitahukan pada kedua anaknya untuk lekas makan siang. Pasalnya, ini bukan makanan yang biasa diberikan sehari-hari. Rasanya Tanti ingin mengembalikan mereka berdua pada orang tuanya, tetapi Tanti sudah terlanjur janji pada orang tua mereka bahwa akan memberikan segala sesuatunya yang terbaik.

Teguh yang sampai duluan di dapur lantas memanggil Indra untuk lekas makan siang bersama.

"Ndra, ayo makan siang bersama!" ajak Teguh.

"Sebentar, Mas. Aku masih ganti baju," teriaknya dari dalam kamar.

Tanti selalu mengajarkan pada kedua anaknya untuk ganti baju seragam ketika berada di rumah. Beruntung, dua anak laki-lakinya itu tipikal penurut sehingga Tanti tidak mengalami kesulitan.

Teguh dan Indra berpandangan saat melihat makanan tidak berada di meja, melainkan masih di atas kompor.

Indra lebih dulu membuka penutup panci yang diletakkan sebagai penutup wajan itu. Isinya sangat mengejutkan. Jika beberapa hari yang lalu mereka masih menikmati ayam goreng, tempe goreng, terkadang tahu goreng atau dadar telur. Terkadang ibu angkatnya itu memasak sayur asam, sayur menir, dan sayur sop. Kali ini sangat mengejutkan.

"Ndra, tumben Ibu masak seperti ini? Bukannya tidak bersyukur. Aneh saja menurutku," ucap Teguh yang mengambilkan piring untuk Indra juga.

"Memangnya ibu masak apa, Mas?" tanya Indra.

"Lihat saja sendiri!"

Indra pun sama terkejutnya. Namun, mereka berdua berusaha berpikir positif. Mungkin saja ibunya sedang kecapekan sehingga malas untuk memasak seperti biasanya. Setelah keduanya mengambil nasi di magic com, kemudian mengambil makanan yang ada di wajan. Bisa dikatakan lauk, tapi bukan lauk seutuhnya. Bukan juga sayur yang biasanya dimasak ibu angkatnya.

Tanpa banyak protes, Indra dan Teguh menghabiskan makanannya sampai bersih. Setelah itu keduanya bekerja sama untuk mencuci piring dan beberapa peralatan masak yang belum sempat dicuci ibu angkatnya.

"Bagaimana, Nak? Makanannya enak?" tanya Tanti ketika melihat kedua anaknya baru saja menata piring dan gelas ke rak yang ada di dapur. Ada rasa bersalah yang sangat mendera batinnya.

"Iya, Bu. Enak, kok," jawab Teguh.

Kalau Indra tidak masalah makanannya asal perutnya kenyang.

"Maafkan Ibu, ya. Ibu belum bisa memberikan yang terbaik untuk kalian," ucap Tanti sendu.

"Ibu ada masalah?" tanya Indra. Ibunya tidak biasa bersikap seperti ini.

Tanti bingung. Dia mau jujur pada anak-anaknya, tetapi itu tidak mungkin dilakukan. Dia tidak ingin membuat anaknya kecewa. Setelah tidak mendapatkan sepeserpun uang dari suaminya, Tanti memberikan makan kedua anaknya dengan mie instan yang diolah dengan sayuran seadanya dicampur dengan sedikit Tahu. Itu caranya untuk menghemat sisa-sisa uangnya yang tinggal beberapa hari. Dia juga menambahkan porsi nasinya lebih banyak dari biasanya supaya mereka kenyang.

...****************...

Hari berikutnya mendekati waktu yang dimaksudkan kedua anaknya, Tanti semakin pusing. Dia belum mendapatkan uang sama sekali. Rencananya dia akan meminjam tetangga untuk sementara waktu, tetapi dia juga pusing bagaimana cara mengembalikan kalau Tanti sendiri tidak bekerja.

"Aku harus bagaimana? Anak-anak tidak boleh tahu mengenai masalah ini. Namun, tenggang waktu pembayaran hanya tinggal besok. Aku harus bagaimana?"

Rasanya Tanti ingin menyerah sampai titik ini. Dia seolah berjalan seorang diri tanpa ada pegangan di dalam hidupnya.

"Bagaimana nasib kedua anakku?" Tanti rasanya ingin melambaikan tangan sebagai tanda kalau dia menyerah.

Usahanya ke sana kemari meminjam tetangga nyatanya tidak mendapatkan hasil. Semua orang yang ingin dipinjam uangnya pun merasakan hal yang sama. Sama-sama pusing karena kebutuhan semakin meningkat. Tanti malah semakin kalut. Bagaimana dia bisa mengatakan pada kedua anaknya kalau sampai besok pagi tidak mendapatkan uang sama sekali?

Kira-kira usaha apa, ya? Aku tidak memiliki pengalaman kerja. Biasanya orang-orang menerima pekerjaan menjahit. Lumayan hasilnya, tetapi aku tidak bisa. Aku harus bagaimana sekarang? Ke sawah pun aku tidak punya pengalaman. Ya Allah, aku harus bagaimana?

Terpopuler

Comments

Hanipah Fitri

Hanipah Fitri

ngenes jadi Tanti, suami sdh tdk memberi nafkah lagi

2022-08-12

0

🌷Bubu.id

🌷Bubu.id

sedih Mak, Tanti harus semangat. Allah akan menolong hambanya yang berikhtiar dan bertawakal. untuk Ari, sebaiknya kamu pergi sejauhnya aja ngapain Dateng cuma setor kesedihan😠😠

2022-07-23

3

Arka Abian

Arka Abian

jual kue aja

2022-07-23

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!