Ari pulang ke rumah seperti biasa. Namun, ada sedikit yang berbeda darinya. Jika biasanya pulang seminggu sekali, kali ini menjadi dua minggu sekali.
"Mas, kok tumben baru pulang hari ini? Sudah dari seminggu yang lalu kami menunggumu, Mas," ucap Tanti yang baru saja melihat kedatangan suaminya.
"Dek, maafkan Mas, ya? Dek Tanti harus menunggu Mas pulang setiap dua minggu sekali," balas Ari. Dia memang tidak bisa mengabari istrinya karena Tanti tidak memegang ponsel sama sekali seperti Ari. Lagi pula istrinya itu tidak terlalu membutuhkan.
Tanti bisa memaklumi kondisinya. Apalagi pekerjaan suaminya itu berada di beda kabupaten. Sebenarnya tidak jauh, tetapi kalau ditempuh dengan perjalanan pulang pergi akan memakan waktu yang lumayan cukup lama. Sehingga Ari memutuskan untuk pulang seminggu sekali kala itu. Namun, karena suatu hal, Ari mengubah aturan mainnya sendiri. Tidak masalah sebenarnya, asalkan Ari masih bisa memberikan uang hasil kerjanya pada sang istri.
"Tidak masalah, Mas. Kamu mau mandi dulu, atau makan dulu? Aku sudah menyiapkan makanan sama kopi kesukaanmu, Mas," ucap Tanti seraya menerima tas yang berisi beberapa pakaian kotor suaminya.
Ari menimbang-nimbang pilihan istrinya. Kalau dia langsung makan, rasanya sangat tidak nyaman sekali. Akhirnya dia lebih memutuskan untuk mandi terlebih dahulu.
"Aku mau mandi dulu. Oh ya, nanti bajunya kalau sudah dicuci, tukar sama baju yang ada di lemari, ya? Soalnya besok, aku berangkat pagi-pagi sekali. Tidak masalah kan, Dek?" tanya Ari. Sebenarnya dia bisa berangkat sedikit siang, tetapi dia ingin mampir dulu bertemu dengan Marlena.
"Iya, Mas. Sesuai permintaanmu," ucap Tanti yang saat ini hendak menuju ke tempat baju-baju kotor. Dia meletakkan seluruh baju kotor di bak, kemudian membawa tasnya masuk ke kamar. Seperti biasa yang dilakukan selama ini.
Setelah membersihkan diri, Ari kembali ke dapur. Beberapa rumah di kampung memang meja makan dan dapur menjadi satu sehingga kalau mereka mau makan, tempatnya masih menyatu.
Tanti pun sedang menunggunya di sana. Sebagai istri yang selalu baik, Tanti menyiapkan segalanya.
"Masakanmu selalu enak, Dek," ucap Ari merayu.
"Kamu ini, Mas. Aku biasa seperti ini, kan? Tumben kamu memuji masakanku? Apa ada lagi wanita yang masakannya lebih enak daripada aku?" canda Tanti. Sebenarnya guyonan seperti ini sudah sering dilontarkan jika sedang bersama suaminya.
Uhuk!
Ari terbatuk. Dia segera mengambil air minum untuk meredakan rasa serik di tenggorokannya. Dia terkejut, jangan-jangan Tanti sudah mencium gelagat tidak baik darinya.
"Lho, kenapa batuk seperti itu? Masakan yang paling enak itu kan hanya dari tanganku dan ibu mertuamu, Mas. Begitu saja langsung terkejut," canda Tanti.
"Iya, Dek. Maaf."
Setelah makan selesai, Ari meminta Tanti untuk mengambilkan dompetnya yang terselip di dalam tas. Biasa dia menyimpannya di sana.
"Dek, ambilkan dompet Mas di dalam tas, ya."
"Iya, Mas. Tunggu sebentar, ya!"
Tanti membereskan bekas makan suaminya kemudian mengikuti perintah suaminya. Tak butuh waktu lama sampai dompet itu berada di tangan Ari sekarang.
Ari memberikan sejumlah uang belanja untuk istrinya. Jumlahnya memang lumayan dibandingkan seperti sebelumnya. Lebih banyak karena Ari baru pulang sekitar dua minggu. Namun, tidak dengan Tanti. Dia merasa ada yang kurang.
"Mas, kok tumben cuma delapan ratus ribu? Bukannya protes sih, kok berbeda saja dari biasanya," ucap Tanti. Sebagai ibu rumah tangga, wajar kalau dia menanyakan seperti itu. Apalagi kebutuhan semakin hari naik turun tidak bisa diprediksi. Belum lagi kalau ada tetangga sedang hajatan, kalau di kampung juga banyak repotnya. Belum bawa ini-itu, kemudian masih ngamplop juga.
Seharusnya kalau dikalkulasi, Tanti mendapatkan uang satu juta setiap dua minggu sekali. Karena setiap Ari pulang seminggu sekali, dia menerima uang lima ratus ribu rupiah. Itulah mengapa Tanti memberanikan diri untuk bertanya.
"Maaf, Dek. Beberapa hari ini memang mulai ada kendala. Pengiriman bahan baku tidak menentu sehingga menghambat pekerjaanku. Jadi, sehari atau dua hari terkadang Mas libur kerja, tetapi Mas tidak bisa pulang. Kan sistem kerjanya jadi tidak menentu," jelas Ari tanpa ragu.
"Iya, Mas. Tidak masalah. Terima kasih uang belanjanya, ya. Aku akan menyimpannya sebagian untuk biaya anak-anak."
Pemberian sedikit banyak harus tetap disyukuri. Tanti harus bisa memutar otak untuk mengeluarkan uang yang jumlahnya tidak seperti biasanya. Mungkin saja dia akan mengurangi beberapa kebutuhan yang tidak terlalu penting. Namun, dia belum tahu itu apa. Yang pasti, dia mencoba menerima apa pun yang diberikan suaminya tanpa sedikit protes.
"Terima kasih atas pengertiannya, Dek."
Maafkan aku, Tanti. Aku sengaja mengurangi jatah belanjamu secara perlahan. Mas juga harus membaginya dengan Marlena yang selalu memberikan perhatian pada Mas.
"Tidak masalah, Mas. Sekali lagi, terima kasih."
Tanti menyimpannya ke dalam lemari yang ada di kamarnya. Sangat wajar kalau orang kampung menyimpan uangnya di dalam lemari. Sebagian kecil uang untuk tabungannya di masukkan ke dalam celengan berbentuk ayam untuk kebutuhan kedua anaknya.
Selesai memasukkan beberapa uangnya, Tanti kembali mengerjakan pekerjaan rumahnya. Dia juga lekas menyelesaikan mencuci baju-baju suaminya. Setelah itu, dia kembali bercengkrama lagi dengan suaminya.
"Mas, kalau di tempat kerja, makanmu bagaimana?" tanya Tanti yang baru saja bergabung dengan suaminya di ruang tamu.
Pertanyaan ini jarang sekali ditanyakan karena memang hari ini Tanti ingin tahu kesibukan apa pun yang dilakukan suaminya selama ditempat kerja.
Ari sedikit terkejut juga. "Ya, seperti pekerja pada umumnya, Dek. Setiap kali makan selalu di warung."
Tanti menarik kaki suaminya yang sedang berselonjor di kursi ruang tamu. Dia memijatnya secara perlahan.
"Pijatanmu ini selalu kurindukan di saat aku lelah seperti ini, Dek. Terima kasih, ya," ucap Ari sambil menyandarkan punggungnya ke sandaran kursi di sebelahnya.
"Hemm, iya Mas. Oh ya, menu makanan apa yang biasa kamu makan di sana? Maaf ya, Mas. Aku banyak tanya. Kali aja aku bisa masakin pas kamu di rumah," jelas Tanti.
"Aku sukanya itu pindang sarden, Dek. Tapi, bukan makanan yang instan itu."
Selama ini untuk menghemat, Tanti selalu memasak makanan ala kadarnya. Paling cuma tahu, tempe, sayur-sayuran yang kadang dipetik dari kebun.
"Kapan-kapan kalau Mas kasih uang lebih, aku akan masakin pindang sarden. Kalau ibu-ibu di kampung, paling enak pindang tongkol, Mas. Tapi, ya gitu. Kadangkala harganya mahal. Makanya aku hampir tidak pernah beli. Maaf ya, Mas," jelas Tanti.
"Ooo, iya, Dek. Maafkan aku yang belum bisa kasih kamu yang lebih, ya," ucap Ari yang selalu meminta maaf padanya.
Tanti merasa tidak masalah diperlukan seperti ini. Walaupun uang belanja dari suaminya berkurang, dia tetap bersyukur. Setidaknya dia masih memegang uang selama suaminya bekerja. Kebutuhan anak-anaknya pun pasti terjamin.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 44 Episodes
Comments
Halimah
bikin emosi
2023-02-28
0
Anisyah S
tulisannya rapi, bikin kecanduan baca kak 😭 , semangat berkarya ya kak🥰🥰, masih lanjut baca
2022-08-14
0
Hanipah Fitri
aduh mas.... hidup masih kusmin sdh mau punya bini dua
2022-08-12
0