Bab 4. Ari Berubah

Berminggu-minggu berikutnya, Tanti malah tidak mendapatkan uang belanja sama sekali. Awalnya dia bisa menyikapinya biasa saja, tetapi lambat laun kebutuhan rumah tangga semakin meningkat. Perlahan-lahan tabungannya mulai berkurang.

"Sudah beberapa minggu ini Mas Ari tidak memberikan uang belanja padaku. Tabunganku sudah menipis. Kapan dia pulang lagi? Aku akan mencoba menanyakannya," ucap Tanti seorang diri yang saat ini sedang berada di kamarnya. Dia tidak mungkin membagi kegaduhan rumah tangganya pada kedua anak angkatnya.

Bagi Ari yang lebih penting adalah kesenangannya. Dia bisa memberikan banyak uang untuk selingkuhannya, Marlena. Dia merasa harus mengapresiasi dirinya sendiri karena pekerjaannya yang semakin hari sangat melelahkan. Namun, orang yang telah membuatnya semakin semangat di tempat kerja sekarang ini, yang selalu menguatkan disaat suntuk dan banyak tekanan pekerjaan adalah Marlena, bukan istrinya. Wajar kalau Ari selalu memberikan perhatian lebih pada wanita itu daripada istrinya. Hubungan yang bisa dibilang lebih jauh karena Ari memberikan kesempatan pada Marlena dan diapun sepakat menjalin hubungan.

Ari memang jahat. Namun, kejahatannya ini belum diketahui oleh istrinya. Mungkin tidak sekarang, suatu hari nanti istrinya pasti mengetahui. Itulah sebabnya Ari selalu bermain cantik supaya tidak ketahuan.

Kehidupan Tanti yang sempat terlihat sempurna membuat beberapa tetangga sempat iri padanya. Namun, siapa sangka semakin ke sini dan ke sana semuanya kacau karena suaminya.

"Mbak Tanti enak ya, tinggal di rumah ngurus rumah dan anak, semua kebutuhan dipenuhi. Mbak juga terlihat tidak pernah kekurangan suatu apa pun. Malah terlihat semakin makmur. Oh ya, aku lupa. Suami Mbak kan bekerja tiada henti," ucap tetangganya kala itu. Namun, Tanti hanya menanggapinya dengan senyuman. Mereka tidak tahu bahwa apa pun yang mereka lihat tidak sepenuhnya benar. Hakekat hidup itu hanyalah persoalan bagaimana seseorang memandang kehidupan.

Tanti tidak bisa mengumbar aib suaminya begitu saja, tetapi rasanya sudah tidak sanggup untuk menjalaninya. Ketika Tanti berbincang dengan suaminya, dia selalu mengusahakan supaya kedua anak angkatnya itu tidak mengetahui begitu peliknya masalah keuangan yang dihadapi saat ini.

Hari yang ditunggu tiba. Ari pulang ke rumah dengan menampakkan wajah lesunya sehingga membuat Tanti maju mundur untuk menanyakan perihal uang belanja yang tidak pernah didapatkannya lagi.

"Mas, kamu baru pulang?" tanya Tanti dengan suara yang pelan dan lembut.

"Seperti yang kamu lihat," jawabnya terdengar ogah-ogahan.

"Mas, kamu pasti lelah. Sini tasnya biar aku yang bawakan," pinta Tanti.

Ari menurut saja. Memang sudah selayaknya tugas istrinya untuk menerima tas yang berisi pakaian kotor, kemudian keesokan harinya menggantinya dengan yang bersih.

Sejenak melihat wajah suaminya yang suntuk seperti itu membuat Tanti tidak tega untuk bertanya secara langsung. Dia mencoba menahannya sampai situasinya terlihat membaik walaupun Tanti sendiri tidak tahu itu akan terjadi kapan? Sejam, dua jam, atau bahkan jika ada keajaiban 30 menit kemudian. Rasanya seperti sedang menunggu lotre keberuntungan. Nyatanya Tanti harap-harap cemas tidak mendapatkan sepeserpun uang belanja dari suaminya.

Seusai makan siang karena hari ini Ari sampai di rumah siang hari. Anak-anaknya kebetulan sedang berada di rumah temannya untuk mengikuti belajar kelompok sehingga hanya ari5dan istrinya saja yang di rumah.

"Mas, sudah selesai makan?" tanya Tanti dengan suara lirih, tetapi masih terdengar jelas di telinga suaminya.

"Hemmm, ada apa?"

Sekali lagi, nyeri yang dirasakan Tanti seolah suaminya tidak peka terhadap kondisi istrinya. Tanti mencoba bersabar lagi untuk menghadapi suaminya.

"Mas, sebenarnya ini bukan kebiasaanku. Kamu tahu kan kalau setiap kamu pulang kerja selalu memberikan uang belanja untuk beberapa minggu ke depan dan juga biaya sekolah untuk anak-anak."

Hening.

Ari sedang memijit pelipisnya seolah sedang pusing memikirkan ucapan istrinya. Dengan hembusan napas yang kasar kemudian Ari mengatakan hal yang membuat Tanti sangat kecewa sekali.

"Suami pulang itu dimanja, diperhatikan, dilayani, bukan malah ditanyai uang terus. Memangnya aku ini mesin pencetak uang, hah?"

Tanti meremat bajunya. Kecewa terasa jelas di lubuk hatinya yang paling dalam. Ingin rasanya memaki suaminya secara langsung, tetapi dia mencoba dengan jalan yang tenang supaya suaminya tidak semakin marah. Tanti sendiri tidak tahu apa yang terjadi di tempat kerja suaminya. Dia memang selalu bekerja full time, tetapi setiap pulang selalu beralasan kalau di tempat kerjanya ada sedikit masalah sehingga gajinya tidak banyak. Entah itu sebuah kebohongan yang dilontarkan suaminya, Tanti mencoba berpikir positif.

"Mas, bukankah setiap pulang aku selalu melakukan tugasku sebagai seorang istri? Lalu, kewajibanmu sebagai seorang suami mana? Nafkah untukku dan anak-anak tak pernah kamu berikan lagi. Tabunganku sudah habis, Mas. Wajar kalau aku menanyakan hal ini. Apa aku salah?" tanya Tanti dengan suara yang masih lemah lembut. Sekali lagi, Tanti tidak bisa menyerang suaminya dengan suara yang kasar karena itu bukan sifatnya.

"Makanya, jadi istri itu jangan boros! Harus pandai mengkalkulasi keuangan yang diberikan suami. Membelanjakan sesuai kebutuhan supaya awet," ucapnya berceramah.

"Mas, kurang hemat yang bagaimana? Aku selalu menyisihkan sisa uang belanja untuk anak-anak dan semua memang sudah habis. Makanya aku sekarang minta."

"Minta terus, minta terus. Memangnya aku ini orang kaya yang memiliki gudang uang? Kalau aku punya uang ya kukasih. Kalau tidak punya uang, kamu mau aku kasih daun?" ucap Ari sedikit meninggi.

"Astaghfirullah, Mas. Aku tanya baik-baik, loh."

"Makanya jadi istri itu yang pinter dikit! Lihat, beberapa istri teman-temanku semuanya bekerja dan menghasilkan uang. Kalau kondisi suaminya sepertiku, dia tidak pernah minta uang lagi."

Tanti merasa lemas menghadapi sikap suaminya. Sebagai istri yang tidak mempunyai pengalaman bekerja, tentunya Tanti tidak bisa berkomentar apa pun selain menunduk. Air matanya luruh begitu saja tanpa bisa dibendungnya.

"Jadi istri itu jangan cuma nangis saja bisanya. Sekali-kali berguna buat suami!" bentak Ari.

Degup jantung Tanti semakin cepat. Rasanya dia ingin menghabisi pria di hadapannya itu. Jika bukan karena terikat hubungan suami istri, Tanti bisa saja melakukan hal di luar nalar. Namun, dia mencoba diam dengan drama yang dibuat suaminya. Dia mencoba menjadikan cambuk apa pun yang diucapkan suaminya untuk menjadi wanita yang berguna.

Semakin Tanti diam, malah membuat Ari emosi. Dia tidak biasanya bersikap seperti ini, tetapi akhir-akhir ini memang lebih sering marah.

"Jangan cuma mengandalkan keringat suami! Makanya bekerja biar tahu rasanya mencari uang itu sulit! Dasar istri tidak berguna!"

Tanti hanya sesenggukan menanggapi amarah suaminya. Kekecewaan teramat sangat dan pikiran yang mulai mengatur rencana ke depannya membuat Tanti tidak bisa membalas semua ucapan suaminya. Sebagai istri yang terus mengandalkan suami karena mengurus rumah tangga, rupanya itu belum terlihat lebih dari cukup di mata suaminya. Padahal tugas istri di rumah sangat melelahkan tetapi tidak mendapatkan gaji. Dia harus bekerja selama 24 jam setiap harinya. Bahkan, kadang tertidur pun seolah lupa bahwa dia sedang beristirahat.

Terpopuler

Comments

Anisyah S

Anisyah S

lambenya ari😠

2022-08-14

0

Hanipah Fitri

Hanipah Fitri

aduh, jadi emosi nih... hatiku

2022-08-12

1

Arka Abian

Arka Abian

tak buang it suami

2022-07-20

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!