Lagu As It Was dari Harry Styles membuat perasaanku sedikit terhibur. Pemandangan sore hari selalu indah, apalagi di ujung barat langitnya berwarna merah, sangat menggoda mataku.
Sekitar dua puluh menit perjalanan sampailah di rumah besar warisan Ibuku. Pintu gerbang akan terbuka secara otomatis jika mobilku terpantau oleh camera cctv yang terpasang di pintu.
"Nona, tante Lala tadi kesini ingin bicara masalah penting. Saya sudah bilang nona bekerja tapi mereka memaksa saya." bibi juriah datang menyongsongku yang baru turun dari mobil.
"Mereka siapa?" tanyaku datar. Aku merasa mereka sengaja datang pada saat aku belum pulang dari kerja.
"Apa ada barang yang mereka ambil?"
"Mereka mengambil pohon-pohon bonzai yang berada di pot, karena saya tidak mengizinkan mereka masuk ke dalam rumah."
"Jika bibi tidak sibuk tolong panggil mereka, aku ingin tahu apa maksud dan tujuannya kesini disaat aku kerja. Ini bukan yang pertama kali mereka berbuat begitu."
"Ya nona, sekarang saya kesana." ucap bibi beranjak pergi.
Aku masuk ke dalam rumah dengan pikiran tidak menentu. Belum ada sebulan mama meninggal saudara papaku sudah hampir sepuluh kali datang dengan rayuan sampai bentakan keras demi mendapatkan warisan dari mamaku.
Rumah kami memang berada dalam satu komplek perumahan elite yang saling berdekatan dengan rumah ke tujuh saudara bapak. Kebetulan mama rumahnya di deretan paling depan, pas di hook jalan. Orang tua angkatku yang paling mewah dan luas rumahnya. Itu mungkin yang membuat mama dimusuhi dan aku ditindas.
Kesuksesan orang tuaku karena mereka berbisnis, tapi tidak sombong seperti saudara bapak yang kerjanya julid terus. Aku sebenarnya paling sebel berurusan dengan saudara bapak, hubungan kami juga tidak begitu baik selama ini. Tapi hari ini aku mau bicara dengan mereka, apa sebenarnya maunya.
Sebelum mereka datang aku mandi dulu kemudian membalas beberapa chat dari anak buahku serta teman seantro jagat.
"Tokk...tokk...tokk..."
Suara ketukan pintu membuat kaki ku melangkah ke pintu. Aku segera membuka pintu dan wajah bibi sudah berada di depanku. Kulihat alisnya mengkerut dan bibirnya manyun.
"Rombongan penjahat sudah datang nona, saya suruh mereka duduk di beranda."
"Ya..aku kesana sekarang." jawabku melenggang ke beranda.
Saat ini aku memakai celana Jeans dan t-shirt hitam. Semua mata di beranda memandang ku dengan senyum di buat-buat. Aku cepat membalas senyum mereka dengan anggukan kepala.
"Hallo Luna, kita menunggumu dari tadi pagi. Ada yang kami harus bicarakan denganmu." kata paman Gunawan lalu berdiri.
"Maaf paman aku baru datang dari kerja, sebaiknya kita bicara di ruang tamu." saranku memandang mereka satu persatu.
"Disini saja tidak apa-apa." suara tante Narsih terdengar ketus. Dari dulu tante Narsih sangat benci pada ku dan manusia itu selalu nyinyir dengan kehidupan ku.
"Ada apa kalian mencariku bahkan rela menunggu ku sampai malam begini? jika ada penting tinggal hubungi aku via whatsapp, nomor ponselku tidak berubah." kataku duduk di sofa.
Aku merasa seperti pesakitan. Mereka sengaja duduk berderet di seberang meja dan menatap ku dengan sinis. Mungkin kalau dulu aku takut dan hormat kepada mereka, tapi sekarang tidak. Aku sudah tahu siapa mereka, manusia munafik yang selalu julid denganku.
"Luna, kamu sendiri pasti sudah mengerti kenapa kami kesini. Tidak lain hanya meminta semua aset kakak ku yang kau ambil." suara paman mulai meninggi. Akupun jadi kesal dibuatnya.
"Sudah berapa kali aku katakan kepada kalian, bahwa seluruh aset sudah atas namaku." aku berusaha menahan marah.
"Kau adalah anak pungut yang tidak berguna dan wanita lagi. Menurut hukum adat, hanya seorang lelaki yang boleh mewarisi kekayaan orang tuanya. Wanita tidak berhak mengambil warisan."
"Masalah itu aku kurang faham, karena pengacara mama yang mengurus, jika paman keberatan silahkan menghubungi pengacara mamaku." kataku mulai merasa tidak nyaman berada di sekitar mereka.
"Kita tahu kau kurang faham, maka dari itu kami kesini menjelaskan bahwa kau tidak boleh mengambil warisan keluarga kami. Kau anak haram yang memalukan, harusnya kau tahu diri, sudah dipungut dan di pelihara malah mau mencuri. Dasar kau gila harta." kata tante Dewi menohok. Tanteku ini adalah adik bungsu papaku.
Mendengar hinaan mereka rasanya aku ingin memberi semua hartaku. Tapi itu tidak mungkin, karena warisan itu hasil jerih payah mama angkatku, bukan warisan leluhur. Jika ini warisan leluhur aku juga tidak sudi mengambil.
"Maaf paman dan tante, aku tidak akan memberi kalian warisan yang sudah dilimpahkan padaku, itu amanah. Dalam wasiat mama sudah tertera tugasku sebagai pewaris dan dana yang aku harus keluarkan tiap bulan."
"Kau ingin mati anak haram." tangan paman tiba-tiba melayang ke wajahku. Aku kaget spontan berdiri dan memekik kaget.
"Plakk...plakk...."
"Haram jadah, perempuan hina, dasar anak durhaka, tabiatmu seperti setan." maki paman emosi. Dia melempar vas bunga yang ada di atas meja.
Aku memegang pipiku yang terasa sakit. Mataku merah memandang mereka satu persatu.
"Aku akan melapor ke Polisi atas tindakan kalian. Kalian telah berbuat melanggar hukum!!" pekik ku marah.
"Hahaha...laporkan kami, sebelum kau melangkah lehermu sudah putus." Om Cakra ikut berdiri, dia sengaja nemperlihatkan tatto yang memenuhi lengannya.
"Kami akan membunuhmu jika kau tidak memberi warisan itu atau rumah ini tinggal abu. Aku tidak pernah main-main."
"Aku tidak takut sama ancaman kalian sepanjang aku benar. Selama ini kalian tidak pernah peduli sama mamaku, setelah dia meninggal kalian tidak tahu malu datang kesini menginginkan harta mamaku."
"Berani kau melawan kami!!" bentak mereka langsung memukulku.
"Ambil gunting, potong rambutnya sampai gundul supaya dia malu keluar rumah." perintah tante Dewi.
"Pergi..pergi..kalian penjahat!!" aku mendengar teriakan bibi.
"Berani kau mengusir kami dasar babu. Randu ikat pembantu itu."
Aku meronta ketika tante Dewi dan tante Narsih menjambakku dan menggunting acak rambutku. Satu persatu mereka berebut memukul, menendang dan menginjak-nginjak tubuhku. Teriakanku hilang pada saat kepalaku membentur meja. Aku tidak merasakan sakit, tubuhku terasa ringan melayang-layang di udara. Sangat tinggi dan melewati pohon-pohon...
GUBUK DIBAWAH BUKIT
Minggu legi di bulan Febroari, aku tersadar, pertama yang aku rasakan kepalaku sakit luar biasa, tubuhku juga ngilu. Aku berusaha mengingat dimana kini aku berada. Aku buka mata lebar-lebar dan memandang sekeliling ruangan yang asing. Leher terasa sakit saat menoleh kesamping.
"Kau sudah sadar?" seorang wanita tua masuk dan menghampiriku. Mata tuanya memandangku penuh tanda tanya.
"Trimakasih." hanya kata itu yang keluar dari bibirku, terasa sakit kalau bicara. Aku sangat haus.
"Aku dan suamiku menemukanmu di jurang dalam keadaan tidak sadar. Kami tidak tahu harus membawamu kemana, biaya juga tidak ada sehingga kami putuskan untuk merawatmu disini."
"Syukurlah kau sudah sadar, berarti Tuhan masih menyayangimu." kata nya sambil memegang dan meneliti tubuhku.
"Seluruh tubuhmu dibaluri parem, makanya luka cepet kering. Kau harus belajar duduk, berjalan, nanti aku bikinin jamu supaya kau cepat sembuh." kata wanita tua itu keluar dari kamar.
Itulah pertemuan pertamaku dengan Ibu Kompyang dan bapak ketut yang baik hati. Mereka tanpa mengenal lelah merawatku dengan tulus iklas.
Hari berganti hari, satu purnama sudah terlewati. Sebulan aku sudah memberatkan Ibu kompyang dan bapak Ketut disini. Mereka sangat telaten merawatku sampai sembuh padahal mereka sangat kekurangan hidupnya. Mereka adalah buruh pemetik Cengkeh.
Setiap hari kami makan nasi yang di campur ketela rambat tanpa lauk, dan sayurnya dari daun-daun yang di petik di sekitar kebun. Pertama kali aku disuguhi makanan itu tidak bisa masuk ke mulutku karena saking jelek dan hambar.
Tapi lama kelamaan aku mulai bisa berhadaptasi, makanan apapun yang dimasak aku makan. Aku jadi tidak peduli rasa, yang penting ada makanan. Tidak perlu manja dan cengeng karena masih banyak orang yang tidak mampu membeli beras. Aku menangis mengingat selama ini sering membuang roti atau makanan. Begini rasanya menjadi orang miskin. bathinku.
Posisiku sekarang ada di bawah bukit, tepatnya di jurang. Tidak ada penduduk, kata Ibu kompyang desa jauh dari sini. Aku sendiri saat ini sudah membaik, mereka juga mencari tukang urut supaya kaki dan tangan yang terkilir cepat sembuh.
Aku sengaja tidak memberitahu siapa diriku sebenarnya supaya identitasku tidak di ketahui oleh orang lain. Keinginan untuk kembali ke rumah saat ini tidak ada, aku trauma di siksa. Mungkin suatu hari aku akan kembali. Ntahlah...
Tubuhku juga banyak bekas luka, rambutku sangat pendek dan hampir gundul gara-gara dipotong acak oleh tante atau pamanku. Aku sekarang sangat berbeda, tidak secantik dan semulus dulu. Tapi aku tetap bersyukur karena hidup.
"Luna kalau kau sudah sembuh pergilah ke kota mencari orang yang menganiayamu, supaya kamu bisa balas dendam." kata pak ketut tempo hari.
"Tidak pak, aku akan tinggal disini saja. Aku tidak punya siapa dikota. Aku anak yatim piatu pak."
"Apakah kau mau jadi pembantu di kota? penduduk desa disini semua ke kota menjadi pembantu." tanya pak Ketut memandangku.
"Tidak, aku ingin disini pak, takut bertemu dengan penjahat itu."
"Kapan kamu bisa menbantu biaya hidup kami jika kamu malas untuk bekerja. Kamu sudah sembuh, dan sangat muda untuk bekerja."
Ohh...aku baru mengerti kalau tujuan mereka menyuruh bekerja karena uang. Aku menangis bukan karena tersinggung mendengar omongan mereka, tapi karena tidak bisa memberi mereka uang.
*****
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 81 Episodes
Comments
💐
kasian luna🥺sabar ya lun paman nya kejam banget dah🙄
2022-10-03
8
◌ᷟ⑅⃝ͩ●⍣క🎸BuNdAιиɑ͜͡✦●⑅⃝ᷟ◌ͩ
luna bukan wanita serakah. jika mereka mendukung luna, maka pastilah luna mensejahterakan mereka juga nantinya
2022-09-26
5
🦋⃟ℛ siti nurdiah🦋ᴬ∙ᴴ࿐🌍ɢ⃟꙰Ⓜ️
mereka benar-benar kejam kepada Luna, mudah-mudahan kena karmanya tuh dua tua Bangka...
2022-09-17
8