Ibu dan bapak sibuk menyiapkan semuanya yang serba mendadak. Karena selain lamaran pihak laki-laki juga ingin menikahkan dua mempelai meskipun hanya secara siri.
"Bapak lagi apa? ngapain nungguin si putih," teriak ibu yang melihat bapak bicara pada si putih sapi kesayangannya.
"Bapak lagi ngobrol Bu."
Ibu yang mondar-mandir antara dapur ke sumur geregetan juga lihat bapak cuman jongkok sambil elus-elus sapi kesayangannya.
"Ngobrol! itu bantu adikmu, banyak yang musti disiapin. Janur, pisang, kelapa gading, semuanya belum siap itu lo."
"Lah kok malah ngobrol sama sapi, emang sapinya ngerti apa yang kamu omongin," terus mengomel sambil ngilang muncul berkali-kali.
"Put, itu makmu ngomel, nanti bapak kesini lagi ya. Sekarang kamu istirahat dulu. Bapak mau menyiapkan diri biar kuat," si putih seperti menikmati kepalanya dibelai bapak lalu mengangguk tanda mengerti.
Udara di dapur suhunya naik, semua orang yang ada di dalamnya berkeringat. Tiga pawonan (kompor dari semen yang biasanya ada di desa) yang ada di dapur semua menyala.
Kesibukan begitu terasa. Maklumlah ini adalah pernikahan anak pertama yang membutuhkan banyak printilan.
"Bu, aku mau ngomong," bisik bapak dari punggung ibu.
"Ngomong saja," tangan ibu sibuk mengaduk jenang, salah satu makanan khas dari Jawa yang terbuat dari tepung beras dan ketan dicampur santan lalu diberi gula aren.
"Jangan disini, ndak enak sama orang-orang."
"Pak, lihat ini, aku lagi sibuk. Kalau jenangnya gosong bagaimana? siapa yang disuruh gantikan mengaduk jenang. Semua pada sibuk kamu malah minta ngamar."
Tidak sadar kalau pembicaraan itu di dengarkan ibu-ibu yang lain di dapur, ibu menjawab dengan suara keras.
"Siapa yang ngajak ngamar yu," teriak salah satu tetangga dari gerombolan ibu-ibu yang sedang memotong sayur untuk membuat acar.
"Ya, bapaknya to..." timpal yang lain.
"Walah...walah, napsunya masih membara to bapaknya Isun ini. Hahaha..." disambut tawa yang lain.
"Nanti kalau jadi lagi diberi nama siapa kang," teriak bulek yang juga ada di dapur.
"Diberi nama kaming egain ya mas."
Semuanya tertawa. Termasuk ibu yang tangannya terus sibuk, tidak ada malunya sama sekali. Hanya bapak yang mukanya mulai memerah.
"Waduh kalau saya disuruh seperti si putih. Ya saya minta ampun, tiap habis melahirkan sama bapaknya disuntik lagi biar hamil lagi."
Lagi-lagi obrolan itu menghasilkan tawa.
"Ya itu Bu yang mau tak sampaikan," bisik bapak menimpali obrolan dapur itu.
"Ada hubungannya sama si putih?"
"Heeh," bapak mengangguk.
"Ya sudah ngomong aja."
Aroma jenang yang gurih manis mulai tercium. Adukan tangan ibu semakin kuat karena adonan menjadi semakin liat.
"Bu, biar putih disembelih saja."
"Apa pak?! kamu yakin pak?" teriak ibu.
Makanya dari pagi duduk jongkok di dekat si putih sambil ngobrol.
"Iya, biar si putih menuntaskan kewajibannya untuk Isun anak kita."
"Lagi pula si putih juga sudah tua. Kita juga masih punya sapi yang lain."
"Bener loh ya, jangan menyesal."
"Nggak," menggeleng sih bapak tapi dengan raut sedih, "tapi waktu dia disembelih jangan panggil aku ya..."
"Iya, nggak akan dipanggil. Sekarang kamu panggil adikmu suruh cari tukang jagal."
"Wah...gede-gedean ini ceritanya. Sampai si putih disembelih yu..."
"Maunya bapaknya begitu, Bu."
Begitulah dengan waktu yang hanya tiga hari semua siap ketika hari H tiba. Dimanakah Isun?
Selama tiga hari ini Isun tidak boleh keluar kamar. Tidak boleh mandi apalagi keramas. Karena menurut kepercayaan kalau mantennya mandi maka pas hari H akan turun hujan deras.
Hari yang dinanti tiba. Si putih benar-benar dikorbankan dan dijadikan hidangan untuk tamu. Undangan disebarkan dari mulut ke mulut. Sesuai kata pepatah lidah lebih panjang dari pada tali.
Dalam kamar Kamingsun sedang dirias. Karena setelah lamaran langsung akan ada pernikahan meskipun hanya secara agama jadi Isun memakai kebaya putih dan berhijab putih. Cantik sekali.
Sekelompok pemuda pemain Hadrah dari mushola desa siap menyambut tamu. Janur pun telah terpasang mulai dari gapura pembatas desa lalu ada janur lain di depan gang dan di depan pagar rumah.
Pukul sembilan tepat datanglah iring-iringan mobil yang berhenti di depan gang rumah Kamingsun.
Satu persatu orang yang ada di dalam mobil turun dengan membawa buah tangan untuk lamaran. Barang yang dibawa juga bukan main banyaknya.
Keputusan ibu dan bapak menyembelih si putih memang tepat. Sedianya disuguhkan sebagai hidangan undangan keluarga dan tetangga kanan kiri ternyata iringan pengantin juga tidak kalah banyaknya.
Ibu yang tampak pucat karena terkejut bisa sedikit lega.
"Bu, lah kok anak ini bawa orang sekampung," bisik bapak yang berdiri di depan pintu disamping ibu menyambut tamu.
"La iya, katanya hanya keluarga kok bawanya satu kampung begini."
"Untung si putih aku...," memperagakan gerakan dengan meletakkan tangan di depan leher lalu membuat gaya seperti menyembelih hewan.
"Hus, pak...pak," suara ibu mulai dikeraskan dari tadi yang asalnya berbisik, karena pasukan Hadrah mulai memainkan lagunya, "kok tamunya pakai baju hitam semua ya...?"
"Iya, ya Bu. Kita jadi seperti pasukan super hiro yang sedang melawan kejahatan."
Danu juga tidak kalah heboh. Anak SMA itu berlari ke kamar kakaknya, "mbak pacarmu bawa orang sekampung."
"His...bukan pacar," tapi dalam hati seneng juga sih.
"Nanti mau tak tanya mas nya."
"Mau kamu tanyain apa?" ujar Isun penasaran.
"Apa di pasar kota S kain yang dijual cuman warna hitam ya. Masa kalah sama pasar kita yang tempatnya di desa?"
"Lah...emang kenapa?"
"Mereka semua pakai baju hitam mbak."
Tapi kostum keluarga Donworry memang aneh. Semua orang yang ikut memakai pakaian berwarna hitam. Sedangkan Donworry memakai jubah panjang dengan ikat kepala berbentuk sorban yang juga berwarna hitam,...aneh kalau dilihat. Ini kan acara pernikahan.
Sebelum menyambut tamu, ibu sempat berbisik, "siap-siap pak calon mantu kita orang aneh."
"Heeh Bu, piye ini. Kejebur apa anak kita ini nanti."
Tapi mau dibatalkan kan tidak mungkin juga.
Setelah pengantin pria menempati tempat yang disediakan, Kamingsun baru dituntun keluar dari kamar.
Saking gugupnya dia sampai tidak menyadari kalau rumahnya sudah dipenuhi dengan barang bawaan dari penganten pria, yang kebanyakan adalah kue-kue. Juga penuh dengan orang-orang yang berbaju hitam.
Belum juga Isun duduk, Donworry membisikkan sesuatu pada kerabatnya.
"Mohon maaf, bapak ibu. Saya minta musiknya dihentikan dulu," setelah suasana sunyi orang itu baru melanjutkan.
"Saya sebagai kerabat dari pengantin pria meminta agar pengantin wanita yang sekarang sudah berdiri di ruangan ini agar dibawa lagi dalam kamar."
"Lo...lo," ibu terkejut begitu juga bapak. Bagaimana ini. Para tamu mulai kasak-kusuk, kecuali keluarga Ori yang tetap tenang.
"Begini, karena mereka belum resmi menjadi suami istri, manten pria nya belum mengucap kalimat ijab, jadi silahkan pengantin wanitanya dibawa masuk lagi dalam kamar."
"Pak mantumu banyak aturan."
Bapak kehilangan kata-kata. Di kepalanya mulai berkecamuk banyak hal. Sedangkan Isun segera berbalik dan dituntun cepat-cepat untuk kembali dalam kamar.
"Mbak, suamimu beneran aneh," Danu pun mulai ikut geregetan.
"Dia memang gitu, memegang teguh ajaran agamanya."
"Tck, kalau ini ya ngagetin mbak."
Sementara Isun kembali dalam kamar. Acara akad dilanjutkan. Pemangku agama yang akan menikahkan dua mempelai berbincang sebentar dengan pihak penganten pria.
Setelah benar-benar siap barulah terdengar suara Donworry mengucap akad, ...dengan mas kawin seperangkat alat sholat dan uang sebesar sepuluh ribu rupiah dibayar tunai...
"Sah...sah?"
"Sah..."
Ketika terdengar kata sah kaki bapak lemas.
Kok mas kawinnya cuman sepuluh ribu rupiah...jaman gini?
"Bu kakiku lemes," bisik bapak.
"Jangan semaput pak."
"Mas kawinnya Bu..."
"Iya aku dengar."
Acara pagi itu dilanjutkan dengan ramah tamah dengan para tamu. Ori dan Isun sudah di dalam kamar berdua.
"Kamarmu estetik ya," ujar Donworry, "kuno tapi lumayan bersih."
"Iya, mas," menjawab malu-malu menundukkan kepala.
"Aku mau lihat kamar mandinya," ucap Ori lagi.
"Hah, kamar mandi?"
"Iya, jadi kalau nanti habis begitu," menyentuhkan lengan dengan lengan, "bisa langsung mandi."
Wajah Kamingsun semburat merah, "iya, mas. Ayo."
Keduanya berjalan ke belakang melewati dapur.
Donworry mulai membatin.
Jangan-jangan kamar mandinya diluar...Ini juga dapurnya kenapa bau sapi?!
"Itu mas, kamar mandinya," tunjuk Isun pada bangunan kecil yang berjarak beberapa meter dari rumah utama.
"Ooo..., ada lampunya kan?!" bertanya masih dengan nada santai.
"Ada mas, tapi dihidupkan kalau kita sudah sampai disana. Jadi ya gelap kalau malam."
"Apa!! bagaimana mas bisa langsung mandi kalau kamar mandinya menakutkan begini Sun..." teriak Ori keras. Untung tidak ada orang disekitarnya.
...***...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 48 Episodes
Comments
Ish_2021
Baru lahir
2022-07-06
0