Ibu duduk berhadapan dengan Isun. Pisau yang tadi di pergelangan tangan sudah diletakkan di atas meja. Danu juga sudah kembali ke kamarnya.
Mata ibu tajam menatap anak gadisnya. Sementara Isun memilih untuk menundukkan kepala tapi sekali-sekali melirik wajah ibunya.
"Baik, kamu minta kawin?! ibu turuti."
Isun meremas tangannya yang ada di bawah meja. Meskipun telah terbit terang tetapi gelap belum tentu hilang. Isun jadi takut sendiri melihat ekspresi ibu.
Wajah ibu seperti bilang, 'kalau ada apa-apa jangan pernah kau menangis apalagi minta perlindungan sama ibu atau bapak'.
Jadi ngeri kan, kenapa setelah diijinkan jadi merasa kalau akan ditinggalkan.
Tapi Isun sudah bertekad untuk melanjutkan rencananya apapun keputusan ibu dan bapak.
"Minta laki-laki itu untuk datang kesini. Ibu ingin mengenalnya lebih dulu."
Isun mengangguk, "baik Bu, Isun akan bilang sama mas Ori."
"Ori? Ooo, namanya ori. Ori siapa, Original atau Orisinil?" meskipun orang desa ibu termasuk wanita yang berpengetahuan luas.
"Ibu, ih...namanya Donworry," lirih Isun.
"Siapa?" ulang ibu. Sementara bapak masih terus menggerakkan kipas bambu berusaha mengembalikan oksigen ke paru-paru nya.
"Donworry, Bu," kali ini bersuara lebih lantang dengan kepala diangkat memandang ibu lurus.
"Hahahaha...lihat pak. Nama mereka sejenis, anakmu kamu beri nama Kamingsun biar cepet keluar. Laki-laki itu namanya Donworry, biar kita nggak khawatir kali ya setelah keluar anak kita akan dijaga sama si anak itu," ibu makin terpingkal.
Wajah Isun memerah.
Ibu, ada-ada saja.
"Kalau begitu Isun akan kembali ke kota M besok Bu, untuk memberitahu tamannya Mas Ori biar disampaikan kalau ibu ingin ketemu."
Eh, ibu mengernyit.
"Memangnya kamu nggak punya no ponsel laki-laki itu?" tanya ibu.
Isun menggeleng, "seminggu ini Isun lupa buat tanya," jawab Isun terbata.
Wo alah, Nduk...apa kamu ini dipelet atau gimana–bapak, sambil terus kipas-kipas.
"Baru seminggu kenal sudah minta kawin, anakmu ndagel pak," ibu menghela napas.
"Ya wes lah, ibu kawinkan kamu. Bapak pasti ngikut kata ibu. Tapi jangan harap kamu bisa pergi-pergi ke luar rumah lagi."
"Jadi jangan berpikir kamu akan kembali ke kota M untuk menemui temanmu. Hubungi saja melalui telepon."
Ibu berlalu dari ruang tengah, meninggalkan Isun yang ingin menjawab.
Fiks, ibu tidak akan mengijinkan aku keluar rumah lagi.
"Apa to Nduk yang ada didalam otakmu itu," bapak menghela napas.
Isun melirik bapak yang duduk di balai di belakangnya.
"Pak," memasang wajah memelas, "bapak bilang sama ibu ya, aku musti ke kota M pak, hidupku ada disana."
"Walah lebai, yang benar barangmu yang ada disana, di kosan. Hidup...hidup, lah apa sekarang kamu disini mati, cih?!"
Isun meninggalkan kursinya mendekati bapak, memeluk lengan dan menyandarkan kepalanya di bahu bapak, "pak, ayo lah, bapak rayu ibu, biar Isun diijinkan buat pergi ke kota M."
"No wai, anakku Kamingsun, kamu sudah membuat bapak pingsan dua kali tudai, jadi kamu lebih baik nurut sama ibumu."
"Tck", melepas tangan bapak kasar.
Dengan santainya bapak merebahkan diri sambil terus menggerakkan kipas ditangannya, "selesaikan sendiri urusanmu, kamu sudah dewasa," bisik bapak lalu memejamkan mata.
Di dalam kamar Isun mengambil gawainya. Menyentuh nomor sahabatnya lalu mengirimkan pesan.
[Kamingsun] ****, beri aku no hapenya Mas Don.
Menunggu beberapa saat.
[Shity] Nanti aku tanyakan sayang ku, ya. Biar nanti anaknya tanya sama kenalan, kenalannya si Don.
Huh, mau kirim pesan saja susahnya minta ampun.
Selepas Isya baru dibalas, tapi yang membalas bukan kenalan, kenalannya kenalan Don. Tapi yang bersangkutan sendiri.
[Donworry] Ada apa Sun?
Waktu baca kata sun, jadi ngerasa kalau minta sun. Sambil senyum-senyum Isun membalas.
[Kamingsun] Ibu ingin ketemu kamu mas.
"Hihihi"...tertawa kecil setelah mengirim ikon kirim.
[Donworry] Alhamdulillah tiga hari lagi mas dan keluarga akan melamarmu.
Apa?!
Isun berlari keluar kamar menuju dapur tempat dinas ibu tiap hari.
"Bu," mengulurkan ponselnya.
"His, ibunya kerjanya pakai penggorengan, panci, dandang. Buat apa ibu kamu sodori hape."
"Baca dulu, Bu."
"Oh, disuruh baca. Dikira ibu, disuruh buat nggoreng ikan, hehehe."
Ibu meninggalkan kompornya menuju meja dapur. Disitu ada beberapa kursi yang sengaja ditata untuk tempat menyiapkan bahan masakan biar bisa sambil duduk.
Isun membuka pesan dari Don.
"Ini."
Ibu menerima ponsel itu tanpa curiga sedikitpun, "pesan dari siapa sih Sun."
"Baca dulu Bu."
Untuk beberapa detik ibu terdiam. Ponsel Isun masih di tangan ibu. Matanya makin lama makin membulat membaca berulang-ulang untuk meyakinkan sesuatu.
Lalu...
"Pak...!!" berteriak ibu sangat keras dan berlari mendekati bapak yang sudah tertidur di balai bambu ruang tengah.
Isun yang duduk tenang sambil meremas tangannya karena takut ikut melompat dan mengikuti ibu berlari.
"Kita mau kedatangan tamu pak, bagaimana ini?!" teriak ibu sambil menggoyang-goyang paha bapak.
"Masih siang jangan pegang-pegang paha to Bu," bisik bapak masih memejamkan mata.
"Haduh...!!" kali ini ibu memukul lengan bapak berkali-kali, "heh, pak...bangun dulu. Anakmu mau dilamar orang ini loh."
"Ya pasti bakal dilamar, wong anaknya sudah minta kawin," tetap sambil merem.
"Ngelamarnya tiga hari lagi pak!!" teriak ibu akhirnya.
"Apa Bu!"
Waktu bapak hampir merem karena pingsan ibu berteriak lagi, "jangan pingsan dulu. Ini urusannya bagaimana?"
"Wo alah Bu...!"
"Jangan wo alah terus, ayo bangun."
Bapak turun dari balai.
"Ganti baju, pakai peci yang rapi. Aku juga mau ganti pakai gamis."
"Iya...iya," bapak dan ibu bergegas masuk kamar, keluar-keluar sudah berpakaian rapi.
Isun yang merasa bingung hanya bisa melihat ayah ibunya bergantian. Ngelamarnya kan baru tiga hari lagi kenapa dandan rapi sekarang?
Isun ditarik ibu untuk duduk di balai. Ketiganya duduk berjajar. Ibu duduk dengan hati-hati begitu juga bapak. Biar bajunya tidak kusut kalau dibuat duduk
"Sekarang kamu telepon anak itu."
"Mas Ori?" tanya Isun.
"Siapa lagi, ayo cepetan telepon."
Ya Allah cuman telepon aja ganti baju rapi begini.
Setelah beberapa kali dering baru terdengar suara di seberang.
Assalamualaikum Sun...
"Waalaikumsalam mas..."
Ada apa Sun?
"Ini mas, ibu mau bicara."
Oh ibu? baiklah berikan pada ibumu.
Selanjutnya Isun hanya mendengar suara ibu bilang iya...iya...berarti serius ya...baik-baiklah. Sambil kepalanya mengangguk-angguk seperti lawan bicara ada di depannya.
Yang terakhir ibu mengucapakan salam penutup, "iya Bu, wassalamu'alaikum."
Cahaya mata ibu jadi redup. Bapak menunggu sampai wajahnya condong hampir menyentuh pipi ibu. Sedangkan Isun seperti yang sudah-sudah duduk sambil meremas tangannya.
"Tiga hari keluarga nya anak itu mau melamar Isun sekalian nikah siri dulu pak. Untuk nikah resmi nya akan diurus sambil jalan," ibu bicara sangat hati-hati khawatir suaminya pingsan lagi.
Pandangan bapak langsung berubah arah, kosong dan lurus ke depan.
Tiba-tiba bapak berdiri, melepaskan peci dan melipat sarungnya diletakkan diatas balai, "ayo Bu kamu ganti baju, banyak yang harus kita siapkan."
"Sun, kamu masuk kamar." titah ibu. Sedangkan ibu juga masuk kamar untuk ganti baju yang lebih santai biar lincah. Tapi aneh juga ya, kenapa tadi sekedar telepon saja musti ganti baju sih.
"Danu," teriak ibu.
"Iya, Bu."
"Kamu bilang sama paklek dan bulek buat datang, jemput sekarang. Banyak yang musti kita siapkan."
Danu hanya mengangguk sambil melirik kakaknya.
"Sukanya bikin ribut," sambil menoyor kepala sang kakak.
"Ib..."
belum selesai berteriak, Danu melotot, "ngadu sana, gak tak bantuin tahu rasa!"
Bibir Isun langsung menutup rapat.
...***...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 48 Episodes
Comments
Cintami fiah Margaretha
aku jadi ketawa sama namanya lucu 🤣🤣🤣
2022-09-05
0