Dean pulang ke rumah saat ayahnya dokter Farhan yang merupakan dokter senior, sudah hendak berangkat ke rumah sakit.
"Baru pulang, Dean?" tanya dokter Farhan padanya.
"Iya pa." jawab Dean sambil melepaskan sepatu di teras.
Di rumah tersebut dilarang membawa sepatu ke dalam, dan ada sendal khusus jika memang tidak ingin menapak lantai secara langsung.
"Pasti dari mabuk-mabukan lagi kan sama si Marvin." tebak dokter Farhan. Sejatinya tak perlu menebak pun semua itu memang benar adanya.
Teman Dean hanya Marvin dan Igor yang akrab sejak lama. Bahkan dengan Marvin dari sejak mereka duduk di sekolah menengah pertama. Dan sampai sekarang mereka tetap tak bisa dipisahkan.
Meski telah menempuh pendidikan di universitas berbeda dan memiliki teman-teman baru serta karir yang berbeda pula.
"Dean nggak pernah terlalu mabuk, pa. Papa kan tau Dean gimana. Paling banyak minum beberapa sloki aja."
"Iya beberapa sloki. Tapi kalau alkoholnya tinggi kadar, ya sama aja kan?"
"Nggak, ini buktinya Dean masih sadar."
Dokter Farhan menghela nafas panjang.
"Yang penting jalankan tugas kamu dengan baik. Jangan sampai hal seperti itu nantinya membahayakan jiwa pasien yang kamu tangani." ujarnya.
"Ingat profesi yang kamu pilih ini apa. Papa nggak pernah maksa kamu loh, untuk jadi dokter. Kamu sendiri yang memilih, dan sudah sepatutnya kamu bertanggung jawab." lanjut pria itu lagi.
"Iya, pa." jawab Dean kemudian.
"Papa berangkat dulu." ucap dokter Farhan.
"Hati-hati di jalan." ujar Dean.
Dokter Farhan mengangguk lalu kemudian ia keluar dan masuk ke dalam mobil, yang terparkir di halaman rumah.
Sementara Dean pergi mandi lalu membuat sarapan. Tak lama setelah itu ia juga berangkat.
***
"Marvin."
Sebuah suara mengejutkan terdengar di seberang. Marvin menjauhkan handphone dari telinganya, karena suara itu sangat menakutkan.
"Marvin, papa tau kamu disana. Jangan jauhkan handphonenya. Atau setengah dari aset perusahaan akan papa akuisisi."
Marvin menghela nafas, lalu kembali mendekatkan handphone ke telinga.
"Iya pa." ujarnya dengan nada lesu.
Ia selalu tak bisa melawan sang ayah, meski ia memiliki power untuk itu. Mereka memiliki hubungan yang rumit. Dekat tapi selalu mirip bak kucing dan anjing. Sebab kadang sang ayah ingin begini, namun Marvin inginnya begitu.
"Om Johan bilang ada beberapa hal di perusahan yang belum kamu handle. Kerjaan kamu beberapa waktu belakangan ini selalu senang-senang di klub malam." ucap sang ayah.
"Duh, kenapa lagi om Johan pake acara jadi lambe turah segala." gerutunya dalam hati.
"Papa tau kamu menyalahkan om Johan kan sekarang?"
Bak cenayang sang ayah membaca isi hati dan pikiran Marvin. Bukan karena ayahnya itu memang sakti, namun ia paham siapa Marvin. Sebab Marvin adalah darah dagingnya sendiri, yang ia urus sejak lahir.
"Nggak, Marvin nggak nyalahin siapa-siapa koq."
"36 tahun papa itu ngurus kamu. Udah segede ini aja kamu masih papa urusin. Papa paham kemana jalur pikiran kamu ketika dihadapkan kepada suatu masalah." Ayah Marvin terus mengoceh panjang lebar.
"Iya pa, maaf."
"Maaf, maaf. Kamu tuh kebiasaan, selalu mendahulukan party, perempuan, party, perempuan. Baru ngurusin perusahaan. Papa kan udah bilang, cari pasangan serius dan menikah. Biar kamu nggak terus kesana-sini."
Marvin selalu horor ketika mendengar kata menikah. Ia tak ingin terikat dengan wanita manapun. Sebab itu akan mengganggu petualangannya dalam berlabuh antara satu wanita dan wanita lain.
"Bisa nggak papa marah soal perusahaan aja, nggak usah menyinggung soal pernikahan. Itu nggak ada hubungannya."
Marvin melawan kali ini. Ia memang tak berani pada sang ayah, namun untuk topik pernikahan, itu sebuah pengecualian baginya.
"Gimana papa nggak menyuruh kamu menikah, kamu aja selalu sibuk dengan banyak perempuan. Perusahaan itu warisan keluarga kita, kamu harus jaga dengan baik. Kalau kamu menikah, setidaknya kamu bisa fokus terhadap istri dan usahamu saja. Nggak perlu fokus ke banyak orang, apalagi banyak perempuan."
Marvin lagi-lagi menghela nafas. Jika telpon ini disudahi secara sepihak, ayahnya akan terus mengoceh bahkan di WhatsApp maupun direct message Instagram. Orang tua itu selalu update dengan sosial media dan teknologi.
"Iya pa." Marvin memberikan jawaban yang mencari aman.
"Jangan iya-iya doang, segera urus apa yang mesti di urus."
"Iya pa."
"Ya sudah, papa mau kerja dulu."
"Iya pa."
Sang ayah menyudahi telpon tersebut. Kini Marvin menghela nafas panjang, seperti terlepas dari ikatan yang kuat dan kencang.
"Daryanti."
Panggilnya pada office girl yang sering seliweran di lantai tersebut.
"Daaar."
"Iya pak." Daryanti masuk ke ruangan Marvin.
"Bikinin saya kopi pahit."
"Beneran nggak dikasih gula pak?"
"Bila perlu kamu tambahin Brotowali." ujarnya kemudian.
"Brotowali pak?" tanya Daryanti bingung.
"Iya buruan!"
"Oh oke-oke pak, segera."
Daryanti bergegas pergi ke pantry untuk membuatkan pesanan dari bosnya itu. Sementara karyawan lain yang sudah mendengar suara tak mengenakan dari Marvin, langsung duduk siap.
Mereka fokus pada pekerjaan. Karena jika tidak, bisa saja kemarahan Marvin berlabuh kepada mereka.
***
"Hai, Edgar. Ini sudah tahun ke sekian kamu kesini."
Dean menyapa Edgar O'Brien Panggabean yang kini berjalan lalu duduk dihadapannya.
"Om Dean kenapa nggak datang kemarin?" tanya Edgar pada dokter itu.
"Maaf ya, om kemarin jadwal sampai sore. Jadi nggak bisa datang ke ulang tahun kamu. Tapi om punya hadiah untuk kamu."
Dean mengeluarkan kotak kado berukuran kecil dari dalam lemari meja kerjanya, dan menyerahkan kotak tersebut pada Edgar.
"Boleh Edgar buka?" tanya Edgar kemudian.
"Boleh, buka aja!"
Edgar membuka penutup kotak kado tersebut dengan mudah, lalu ia mendapati isinya.
"Smart watch?" ujarnya seraya menatap Dean.
"Iya, supaya Edgar selalu ingat waktu untuk minum obat." ujar Dean lagi.
Edgar tersenyum.
"Makasih ya om, Edgar nggak pernah lupa sih sebenarnya. Tapi kadang Edgar pengen jadi orang normal yang nggak minum obat. Makanya seiring Edgar lupa-lupain."
"Justru itu salah, kamu harus minum obatnya yang teratur. Kalau nggak ya, kamu bakal kayak gini."
Dean melihat tangan Edgar yang dipenuhi biru-biru lebam. Biasanya orang awam akan mengira hal tersebut karena di cubit makhluk astral.
Namun pada kenyataannya remaja tampan itu menderita autoimun jenis ITP, atau Idiopathic Thrombocytopenic Purpura.
Dimana sistem kekebalan tubuh menganggap trombosit atau sel darah merah sebagai benda asing yang berbahaya. Sehingga sistem kekebalan tubuh membentuk antibodi untuk menyerang trombosit.
Hal inilah yang menyebabkan jumlah trombosit menurun dan menyebabkan penderitanya sering mengalami memar-memar di beberapa bagian tubuh, pendarahan di gusi maupun mimisan, bahkan sampai pingsan.
Dean sudah lama menangani Edgar. Terhitung sejak remaja itu mulai menyadari di tubuhnya sering timbul memar. Dan yang terparah saat itu ia mengalami mimisan saat tengah bertanding basket antar sekolah bersama rekan satu teamnya.
"Kita lakukan pemeriksaan dulu." ucap Dean.
Edgar beranjak dan menuju keruang pemeriksaan dibantu oleh seorang perawat yang cantik. Setelah semuanya usai, Dean meresepkan obat untuk remaja tersebut.
"Salam sama papa, Edgar."
Dean berujar ketika Edgar berpamitan.
"Iya om, papa nggak bisa ikut hari ini karena lagi di luar kota." jawab Edgar.
"Oke, kamu diantar supir kan?" tanya Dean.
"Nggak, Edgar sama teman-teman Edgar. Mereka nunggu di depan." jawab remaja itu lagi.
"Ya sudah hati-hati di jalan."
"Iya om, makasih hadiahnya."
"sama-sama."
Edgar lalu meninggalkan ruangan tersebut, sementara Dean lanjut dengan pasien yang lain.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 45 Episodes
Comments
Lia Yulia
hanya Dean yg waras di trio Somplak😁eh sebanarnya Edgar ini anak siapa ya...kok pas ultah kemarin ada krusak krusuk ttg Edgar🤔
2022-07-09
3
Siti Ufatulaliah
penasaran sama Edgar
2022-07-07
2
Yanti Damay
brotowali cadassss jg minumannye nih
2022-07-07
1