Pulang ke rumah orang tua

Didepan rumah berpagar hitam setinggi dada orang dewasa, Heni menghentikan taksi yang ditumpanginya. Dia turun setelah membayar ongkos. Dia melangkahkan kaki dengan ragu. Rumah itu nampak sepi, selalu begitu. Dipanggilnya pak Cipto yang terkantuk-kantuk di posnya. Yakni satpam yang menjaga rumah itu. Satpam itu datang dan melihat wajahnya. Beliau tersenyum karena yang datang nona mudanya. Dibukanya pintu pagar itu.

" Nona, kenapa malam-malam baru datang? " tanyanya. Heni tersenyum.

" Dari pulang kerja, pak Cipto, " ujarnya. Dia masuk lalu memencet bel yang terletak di sisi kiri pintu. Seorang wanita paruh baya keluar, menatapnya dengan tidak percaya. Dia memeluk Heni lalu memyuruhnya untuk masuk kedalam.

" Putriku sayang, masuklah, " ujarnya tanpa melepas pelukannya. Heni terharu,nyonya Alwan masih peduli dengannya. Dia merasakan kehangatan itu. Sesaat dia melupakan kekecewaannya. Beliau menuntun untuk duduk di sofa.

" Kau sudah makan? Biar bibik menghangatkan makanan untukmu, " ujarnya. Heni menggeleng, kekecewaannya membuatnya kenyang.

" Aku ingin istirahat, ma. Dimana papa? " tanyanya dengan takut.

" Papa sedang keluar kota untuk beberapa hari ini. Baiklah istirahatlah, " ujarnya beliau sembari mengusap sang anak.

Heni berjalan menuju ke kamarnya dilantai atas. Akhirnya setelah sekian lama, dia menginjakkan kakinya lagi dirumah itu. Memang setelah meminta uang nyonya Alwan untuk membayar kontrakan, dia tidak pernah datang lagi. Tuan Alwan sangat membencinya karena masih terus bersama Bimo, suaminya. Menurutnya lelaki yang disebutnya menantu itu tidak bisa memberikan kehidupan yang layak untuk putri tercintanya. Sudah dia yang memikirkan kebutuhan rumah tangga sampai harus membayar kontrakan. Ditambah lagi dia lelaki yang tidak bisa memberikannya seorang cucu.

Heni memasuki kamarnya yang tidak banyak mengalami perubahan. Sebenarnya tuan Alwan sudah melarangnya untuk ikut dengan suaminya. Beliau menginginkan agar mereka terus dirumah itu. Tetapi Bimo tidak mau karena hanya dianggap sebelah mata oleh mertuanya. Hingga akhirnya mengajak Heni untuk pindah.Mulanya Heni sangat bahagia, namun seiringnya berjalannya waktu rasa itu mulai pudar. Apalagi Bimo yang bekerjanya juga tidak cukup memenuhi kebutuhan sehari-hari, Heni pun ikut bekerja agar terpenuhi. Dia memejamkan mata, mencoba melupakan kekecewaannya kepada Bimo yang tidak pernah tegas kepada ibunya yang sering mengejeknya. Dan juga Tama yang terus saja menempel bak perangko. Sulit sekali melepaskannya. Bila melepaskan dia harus siap dengan ancamannya, memberitahu Bimo.

Paginya, Heni terbangun karena mendengar suara ketukan pintu kamarnya. Dia bangkit untuk membukakannya. Dilihatnya sang ibu berdiri diambang pintu.

" Ada yang mencarimu, " ujarnya.

" Siapa ma? Mas Bimo? " tanya Heni sembari menguap, dia masih kecapekan. Nyonya Alwan hanya mengangkat kedua baju, tanda tidak mengenalnya.

" Dia tidak menjawab pertanyaanku, dia sangat tampan dan kaya. Seandainya saja dulu kau menikah dengannya, pasti hidupmu mapan, " ujarnya beliau.

"Sudahlah, ma. Aku akan menemuinya setengah jam lagi, " ujarnya. Dia segera masuk ke kamar mandi.

Tidak lama kemudian, Heni pun turun untuk menemui siapa yang sedang mencarinya. Begitu dia mengetahui siapa lelaki itu, diurungkannya untuk menemuinya. Namun lelaki itu tidak kalah cepat, dia langsung memegang pergelangan tangannya.

" Ternyata kau bersembunyi disini? " tanyanya sembari terus menatapnya lekat-lekat wanita didepannya itu.

" Kenapa kau mencariku? " tanya Heni. Dia masih ingat perlakuan lelaki itu semalam yang berusaha menyentuhnya.

" Aku ingin meminta maaf kepadamu. Tolong jangan tinggalkan aku, " pintanya.

Heni terdiam, dia tidak ingin ibunya melihat drama yang dilakonkan lelaki itu di rumahnya. Dia berusaha mencari cara mengusirnya secara halus.

" Kau tidak kerja? " tanyanya melunak, lalu duduk dihadapannya. Dia berusaha memalingkan matanya yang terlihat sembab. Lelaki itu terus memegang tangannya.

" Maafkan atas perbuatanku semalam. Aku janji tidak akan melakukannya lagi. Tidak apa-apa jika kau hanya menganggapku sebagai leluconmu saja, " ujarnya.

" Tidak, bukan maksudku demikian. Memang lebih baik kita akhiri saja hubungan ini. Karena akan membuat kita semakin terluka, " ujarnya. Heni bangkit untuk meninggalkan dokter itu. Tetapi lagi-lagi lelaki itu memegang tangan berusaha untuk menahannya agar tidak kemana-mana.

" Aku akan terus mencintaimu. Aku akan berusaha agar kau juga memiliki rasa yang sama terhadapku. Dan semoga saja suatu saat kau bisa meninggalkan suamimu yang bodoh itu, " ujarnya. Nampak kecemburuan besar diraut wajahnya.

" Jangan menyebut suamiku. Dia tidak ada hubungannya dengan kita. Ini murni kesalahanku, " ujar Heni.

" Bagaimana kau bisa tahu alamat ini? " tanya Heni.

" Apa yang tidak aku ketahui tentang dirimu? " tanyanya balik. Saat Heni meninggalkannya di apartemen, dia langsung menyuruh beberapa anak buahnya untuk menguntit taksi yang membawa kekasihnya itu.

Heni sangat bingung, karena lelaki selingkuhannya itu terus berusaha mendapatkan hatinya. Untuk sesaat kegalauan hatinya muncul kembali. Dia dilema. Karena lelaki didepannya saat ini memberinya begitu banyak mimpi indah untuk diwujudkan. Berulangkali melepaskannya, namun lelaki itu selalu datang kembali, memeluknya, memberinya cinta dan harapan. Meski semu.

" Aku akan melamarmu dihadapan mamamu. Pasti beliau mengerti, " ujarnya menggebu-gebu. Heni menahan lelaki itu dan membujuknya untuk segera berangkat kerja.

" Apa kau tidak masuk hari ini? " tanyanya. Heni menggeleng.

" Baiklah aku akan meminta ijin untukmu. Pulang kerja aku akan menjemput dan mengajakmu keluar, " ujarnya.

" Lagi? " tanya Heni. Dia menolak, untuk saat ini hanya istirahatlah yang dibutuhkannya.

Setelah berpamitan kepada nyonya Alwan, Tama pun undur diri untuk bekerja. Beliau menatap putrinya dengan curiga. Heni terus berpaling kearah lain. Dia takut sang ibu akan bertanya banyak terhadapnya mengenai lelaki tersebut.

" Siapa dia? Apa hubunganmu dengannya? " tanya nyonya Alwan kepadanya.

" Teman, ma. Bukan siapa-siapa, " jawabnya.

" Kenapa kalian sangat mesra? " tanyanya lagi. Beliau menatap anaknya dengan curiga.

" Kau selingkuh dari Bimo? " tanyanya. Heni tidak menjawab, dia langsung pergi ke atas menuju ke kamarnya. Nyonya Alwan terus mengikutinya.

" Jawab Heni, " ujar nyonya Alwan. Heni menghentikan langkahnya, dia berbalik kearah nyonya Alwan.

" Sudah kubilang ma, hanya teman saja, " ujarnya sembari bergegas berlari menaiki anak tangga. Nyonya Alwan hanya menatapnya dalam diam. Lalu beliau berbalik arah menuju ke dapur.

Heni membaringkan tubuhnya dikasur. Dia membaca beribu pesan dari Tama, sementara suaminya hanya mengirim satu pesan saja, kapan pulang? Cepatlah pulang, ibuku sudah pulang kampung. Tidak usah bawa apa-apa. Disini sudah banyak makanan. Heni meletakkan ponselnya, lalu tidur lagi. Dia menenangkan hatinya yang galau. Apakah dia mulai jatuh cinta kepada Tama? Lelaki itu meski kasar tapi bisa membuatnya bahagia. Tak lama kemudian, dia pun tertidur lagi.

" Heni, cepat bangun. Bimo mencarimu dibawah, " ujar nyonya Alwan menepuk-nepuk pipi anaknya. Heni membuka mata dengan malas. Dia masih ingin melanjutkan mimpinya, namun ibunya telah membangunkannya.

" Siapa ma? Mas Bimo? " tanya Heni. Nyonya Alwan mengangguk. Kenapa dia kemari? Apa dia berniat menjemputku? tanyanya dalam hati. Dia bangkit menuju ke kamar mandi untuk mencuci muka. Sementara nyonya Alwan sudah mendahuluinya, menemui menantunya diruang tamu.

Tak lama kemudian, Heni sudah berada di ruangan itu bersama ibu dan suaminya. Jelas sekali dia ingin menjemput Heni untuk segera pulang. Tiba-tiba didepan pintu, Tama berdiri. Seketika Heni membeku, dia terdiam. Nyonya Alwan yang menyadari perubahan wajah sang anaknya langsung mendekati Tama dan mengajaknya berbicara diteras.

" Mari kita pulang, aku merindukanmu sayang, " ajak Bimo.

" Oh, " ujar Heni.

" Maksudmu? " tanya Bimo. Dia tidak mengerti jawaban yang dilontarkan istrinya.

Beberapa menit kemudian, nyonya Alwan masuk dan duduk kembali disofa. Beliau sudah menyelesaikan tugasnya untuk menyuruh Tama pulang.

" Siapa ma? " tanya Bimo.

" Itu tadi mama ada janji dengannya mau periksa. Tapi gak jadi, badanku sudah baikan, " ujar nyonya Alwan.

" Mama sakit apa? " tanya Bimo penasaran, karena setahunya sang mertua tidak pernah menderita suatu penyakit yang serius. Dia heran sampai memanggil seorang dokter ke rumah.

" Ya, mari kita pulang mas, " ujar Heni.

Dia tidak mau suaminya jadi curiga dengan lelaki itu yang tak lain adalah selingkuhannya. Segera dia menggandeng lengan suaminya dan mengajaknya keluar rumah. Bimo langsung menaiki motornya dan membawa Heni menuju ke kontrakannya yang sederhana.

Di perjalanan pulang, Heni sempat melihat sebuah mobil hitam yang sangat familiar dengannya terus mengikutinya. Mobil itu mengambil jarak agak jauh. Dia berusaha mengingat-ingat siapa pemilik mobil itu, pikirannya mengacu kepada lelaki yang datang ke rumahnya tadi, namun diusir secara halus oleh ibunya. Pasti itu Tama. Kenapa terus mengikutiku? Bagaimana kalau sampai dia mengatakan yang sebenarnya kepada mas Bimo? Gawat, aku belum siap. Bagaimana rumah tangga ku nanti? Apa yang akan terjadi selanjutnya? pikirnya. Dia nampak kebingungan.Sementara Bimo masih menyetir motornya. Tiba di sebuah gang, Heni menyuruhnya untuk berbelok. Dia ingin agar mobil yang terus mengikutinya berhenti. Bimo berbelok mengikuti ajakan istrinya. Di sebuah warung, Heni mengajaknya untuk berhenti dan beristirahat sebentar. Bimo heran tapi terus mengikuti ajakan sang istri. Di warung itu mereka berhenti dan masuk kedalam.Heni memesan dua minuman dan makanan. Sebenarnya rasa lapar itu telah hilang saat Tama datang kerumah berbarengan dengan suaminya. Namun dia paksa untuk memakan makanan yang di pesannya walaupun rasanya hambar. Dia panik.

" Ada apa? " tanya Bimo. Heni menggeleng dan menyuruhnya makan saja apa yang sudah di pesannya. Suaminya hanya menurutinya dengan heran. Dikejauhan nampak seseorang mengintainya, dia mengambil ponsel menghubungi Heni.

Tak lama kemudian, ponsel Heni berbunyi. Dia gemetaran. Dia tahu itu panggilan dari Tama. Untuk beberapa saat dibiarkannya ponsel itu. Hingga Bimo menegurnya untuk segera mengangkatnya. Dengan terpaksa dia mengangkatnya dengan berdiri menjauh dari suaminya.

" Ya, " jawab Heni. Terdengar jawaban diseberang, dia kaget karena si penelepon yang tak lain adalah Tama berada tak jauh darinya.

" Tolong jangan ganggu aku. Aku bersama suamiku, " bisiknya. Dia melihat kearah Bimo dengan gemetar dan takut. Sungguh ironis, takut ketahuan. Bimo berjalan mendekatinya. Heni yang mengetahui langkah sang suami langsung menonaktifkan ponselnya. Disimpannya barang itu disaku celananya.

" Ada masalah? " tanya Bimo.

" Tidak, tidak ada. Ayo kita lanjutkan makan lagi, " ajak Heni. Sementara kedua matanya masih celingukan melihat keluar warung. Dia pun menyantap lagi makanan dihadapannya.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!