Heni sudah berada ditempat kerjanya.Dia sibuk membuat laporan akhir bulan, sembari melayani resep dari keluarga pasien yang memintanya. Tanpa disadarinya, Tama memperhatikannya dari balik pintu. Dia tidak tahu jika ponselnya terus berbunyi. Sehingga orang yang menghubungi harus mendatanginya. Saat Heni melihatnya, dia menghentikan apa yang dilakukannya. Lalu menghampiri Dokter jantung itu.
" Kenapa kau kemari? Apa kau tidak punya kerjaan selain hanya berdiri disitu? " tanya Heni. Dia risih karena lelaki itu terus memandanginya.
" Ada, tiga jam lagi, "ujarnya.
" Lalu apa yang kau lakukan disini? " tanya Heni.
" Aku ingin memandangimu dulu sebelum kerja, " ujarnya.
" Apa ada pengaruhnya? " tanya Heni.
" Ya, nanti aku ingin mengajakmu jalan-jalan, " ajaknya.
Heni diam. Sebenarnya dia sangat malas harus bertemu dengan lelaki itu lagi. Tapi mengingat masih bekerja ditempat milik orangtuanya, dia hanya bisa pasrah. Tama masuk keruangan yang penuh dengan obat-obatan tersebut. Diraihnya lengan wanita itu, mendekatkan ke tubuhnya.
" Apa-apaan denganmu? Nanti ada orang menebus obat, bagaimana kalau mereka tahu perbuatanmu? " tanya Heni kesal. Dia marah, Tama berusaha memeluknya ditempat umum.
" Aku tidak peduli. Aku selalu ingin bersamamu, " ujarnya.
Heni berusaha melepas pelukan lelaki selingkuhannya itu. Dia merasa tidak nyaman. Apalagi banyak sekali mata tertuju kearah mereka. Heni malu dengan perbuatannya selama ini. Bersama dua lelaki dalam waktu yang bersamaan. Hati nuraninya dilema, ingin mengambil keputusan harus melepaskan salah satu. Tapi yang mana? Memilih selingkuhan atau suaminya? Keduanya sangat berlawanan. Selingkuhannya memberikan semua yang dia inginkan, sementara suaminya memberikannya banyak pikiran?
" Bagaimana kalau kau mengajakku ke mall. Aku ingin berbelanja " ajak Heni.
Akhirnya dia tidak jadi memutuskan hubungan. Diraihnya lagi ikatan semu itu meski dia kelelahan. Tama tersenyum, dia mengangguk bahagia. Dia akan menuruti semua permintaan wanita itu meski hanya berstatus selingkuhan, dia tidak peduli. Dia sangat mencintainya sepenuh hati. Berharap suatu saat wanita itu akan terus selamanya.
Sebenarnya kedua orangtuanya mengetahui hubungan gelapnya dengan Heni. Mereka mengetahuinya dari salah satu karyawannya dirumah sakit itu. Berulangkali mereka mengingatkan dan melarangnya untuk terus bersama istri orang, namun tidak dihiraukannya. Akhirnya mereka berusaha menjodohkan Tama dengan anak dari salah seorang rekan. Agar setelah pertunangannya, Tama bisa segera melupakan Heni.
....
Sesampainya di mall, Tama meminta Heni untuk mengambil apa saja barang yang diinginkannya. Bahkan jika perlu mallnya sekalian, namun Heni menolak. Untuk saat ini dia hanya butuh jalan-jalan sembari melepas lelah pikirannya.
" Apakah sebaiknya aku harus mengadopsi saja? " cetusnya tiba-tiba, membuat Tama berpaling kearahnya.
" Adopsi? " tanyanya heran. Tidak mungkin wanita itu belum mempunyai anak. Karena dia tidak pernah terlalu ikut campur dengan rumah tangganya. Yang dia tahu hanya suami orang itu saja. Dia juga baru menjalin hubungan dengannya dalam hitungan bulan. Awalnya mereka berkenalan karena sama-sama satu tempat kerja. Tetapi entah mengapa Tama nyaman bersama dengan wanita yang lebih pantas disebut kakaknya itu. Mulanya Heni menolak perasaan Tama kepadanya, namun karena hatinya juga sudah mulai goyah dengan rumah tangganya yang sepi akhirnya dia menerimanya dengan setengah hati. Karena masih sadar telah berstatus istri orang.
" Adopsi anak? " ulangnya lagi karena Heni tidak menjawab pertanyaannya. Dia penasaran. Heni langsung mengubah topik, dia menunjuk ke sebuah gerai pakaian bermerk. Dia memilih-milih kemeja.
" Ambillah yang kau mau? Aku yang akan membayarnya, " ujar Tama. Heni tersenyum kecut. Sungguh sangat berbeda dengan mas Bimo. Boro-boro membelikan di mall, masuk saja tidak mau. Mau membelikannya itu di pasar tradisional dengan menawar setengah mati. Sungguh ironis. Ini tinggal ambil doang? batinnya.
" Mbak tolong layani dia, apapun yang diambilnya segera bungkus, " pinta Tama kepada seorang pramuniaga. Dia mengangguk sopan, langsung mendatangi Heni yang sibuk memilih.
Heni bingung memilih karena menurutnya selain mahal, barangnya juga bagus-bagus. Selama jalan bersama Tama, baru kali ini berbelanja. Dia sungkan meminta barang darinya, meski itu tidak memberatkannya. Tama mendatanginya, mencoba memilihkan dan menempelkannya ke badan kekasihnya itu. Bagus, gumamnya. Dia memberikannya kepada pramuniaga.
" Sudah itu saja, " ujar Heni.
" Kalau kau masih mau, ambillah lagi. Tidak apa-apa, " ujar Tama. Dia sangat bersemangat seakan-akan dia yang hendak membeli pakaian itu. Heni tidak berkata apa-apa lagi, dia beralih ke bagian celana.
Selesai berbelanja mereka meneruskan acara jalan-jalannya yang bisa disebut dengan kencan. Tama mengajaknya ke pantai di luar kota, Heni mengiyakannya. Dia memang tidak pernah ke tempat itu, karena memang tidak suka pantai. Tetapi karena Tama terus-terusan merengek, akhirnya mereka berangkat keluar kota. Diperjalanan, Tama terus memegang tangan Heni, kekasihnya. Dia bahagia untuk saat ini. Tidak pernah dia lewatkan momen berdua seperti ini, serasa dunia miliknya saja. Ditengah jalan dia berhenti, ditatapnya lekat-lekat kekasihnya itu yang nampak kelelahan.
" Lain kali saja ya? Sepertinya kau kelelahan, " ujarnya lembut. Dia cium kening Heni, sementara tangannya terus memegang jemarinya.
" Terserah, antarkan aku pulang saja, " ujar Heni. Dia memang kelelahan, dia pun tertidur.
Tama berputar balik, dia membatalkan niatnya ke pantai. Akan dibawanya kekasihnya itu ke suatu tempat, dimana hanya mereka berdua saja tanpa gangguan siapa pun.
Di sebuah apartemen, Tama membangunkan Heni. Dia mengajaknya untuk menginap di apartemennya. Heni ragu, namun Tama terus membujuknya. Mereka masuk menuju ke apartemen Tama. Begitu masuk kedalam, Tama menyuruhnya untuk mandi. Dia menunggu di sofa. Heni mengikuti perintahnya. Begitu selesai dia keluar dengan memakai salah satu baju yang dibelinya di mall tadi. Tama mendekatinya, mencium aroma tubuhnya yang harum. Nafsunya langsung memuncak, di peluknya Heni, diciuminya sampai ke bibir dan menggigitnya dengan lembut. Heni meronta, dia berusaha menjauhkan diri dari Tama yang tengah bergejolak melihatnya.
" Tam, jangan lakukan itu,. Sudah hentikan, " Heni berusaha menghindari ciumannya. Namun Tama seperti kehilangan akal. Setelah puas menciuminya, dia mencoba melepas pakaian Heni dan menggerayangi seluruh tubuhnya. Heni terkejut, dia berusaha meronta. Dia dorong tubuh kekasih gelapnya itu agar menjauh darinya.
" Hentikan, Tama, " ujar Heni. Dia tidak mau melakukan hal diluar batas itu. Sungguh bukan keinginannya selain hanya jalan-jalan saja. Menikmati kebebasannya dari nyinyiran mertua dan kepenatan hidup yang belum mempunyai anak.
Setelah lepas dari Tama, dia keluar dari apartemen menuju lift. Memencet tombol ke lantai paling dasar untuk pergi pulang. Dia tidak mau disentuh lelaki itu, meski menjadi kekasihnya. Dia masih ingat Bimo. Sesampainya dibawah semua mata tertuju kearahnya karena penampilannya yang acak-acakan. Namun dia tidak peduli, dia hanya ingin segera meninggalkan tempat itu. Tama terus berusaha mengejarnya. Dia menyesal, dia hanya ingin memiliki Heni seutuhnya dengan menyentuhnya. Dia lupa justru perbuatannya itu menyakitinya.
" Heni, berhenti!? " panggil Tama. Heni tidak mempedulikannya, dia terus berlari dan menghentikan sebuah taksi. Taksi pun berhenti, Heni langsung masuk dan menginstruksikan kepada sopir untuk segera melajukan kendaraan.
Didalam taksi, Heni menangis tersedu-sedu. Dia menyesal mengikuti ajakan Tama ke apartemennya. Dia ingin pulang ke kontrakan tapi benci jika harus bertemu dengan mertuanya. Akhirnya dia memutuskan untuk pulang ke rumah orangtuanya. Sementara ponselnya terus berbunyi, dia biarkan saja. Dia hafal pasti dari Tama.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 52 Episodes
Comments