Heni masih makan dengan lahapnya, dia tak menyadari seorang lelaki duduk didepannya. Sementara suaminya duduk disampingnya. Sebuah sapaan dari lelaki yang meminta ijin untuk bergabung menghentikan santap siang mereka di warung itu.
" Ya, silahkan tidak apa-apa. Benar begitu bukan sayangku, " ujar Bimo. Heni melihat lelaki itu dan terbatuk-batuk. Rasanya dia seperti menelan sebuah batu. Segera dia mengambil air dan meminumnya. Dia terkejut bukan kepalang, lelaki itu adalah Tama. Apa yang dia lakukan? Apakah dia akan mengatakan yang sebenarnya?
" Bukankah kau dokter yang datang ke rumah ibu Alwan tadi? " tanya Bimo. Tama tersenyum.
" Iya, " jawabnya singkat. Heni terus memanjatkan doa dalam hati agar lelaki itu tidak mengatakan apa yang telah terjadi antara dirinya selama ini. Heni terus mencuri pandang sembari memberi kode agar lelaki itu pergi menjauh dari mereka. Namun Tama tak mengindahkannya, dia santai menikmati pecel lele yang di pesannya.
Kenapa dia ikut kesini? Apa dia mau membunuhku? Keterlaluan, semoga saja dia tidak mengatakan apa-apa. Heni terus berusaha menutupi wajahnya dengan sebelah tangannya sambil menunduk. Dia tidak menyimak kedua lelaki yang semeja dengannya tengah mengobrol akrab.
" Heni, kenapa kau diam saja? Jawablah, " ujar Bimo mengagetkannya. Heni menoleh kearah suaminya,
" Apa? Ada apa? " tanyanya. Bimo dan Tama tertawa melihatnya. Bimo menjelaskan bahwa Tama mengajaknya berkenalan. Heni tersenyum kecut, apa maksudnya???
" Kalian sepasang kekasih atau suami istri? " tanya Tama. Sudah tahu nanya? pikir Heni. Bimo menjelaskan kepadanya panjang kali lebar. Heni menyenggol kakinya agar segera pergi dari tempat itu.
" Sudah ya Tam, kami pulang dulu, "pamit Bimo. Tama menghentikannya lalu meminta nomor ponselnya, sementara Heni pergi untuk membayar makanan. Sesudah itu dia segera menarik tangan Bimo agar segera keluar.
" Kenapa kau terlalu terbuka kepadanya? Dia orang asing, " gerutu Heni.
" Orang asing? Bukan, dia itu teman kelas adikku dulu, " terang Bimo. Heni melongo.
....
Aku sudah tahu siapa suamimu, berterimakasihlah padaku karena aku tidak menceritakan tentang kita. Datanglah malam ini di apartemen ku. Sopir ku akan menjemputmu lima belas menit mulai dari sekarang. Kalau kau menolak bersiaplah, aku akan mengirim pesan kepada suamimu tentang perselingkuhan kita.
Heni terkesiap membaca pesan yang dikirim Tama untuknya. Dia pun bergegas berganti pakaian, kemudian berlari keluar rumah. Bimo menatapnya heran.
" Kau mau kemana? " tanyanya.
" Aku mau mengambil motorku, " ujar Heni.
" Ku antarkan saja, " tawar Bimo.
" Tidak usah, aku bisa sendiri, "
Heni segera melesat keluar rumah mencari mobil yang menjemputnya. Dia akan menemui Tama dan meminta penjelasan darinya agar tidak bertindak kekanakan. Dia tidak suka cara lelaki itu untuk bersamanya. Tiba diujung gang, Heni melihat sebuah mobil hitam milik Tama yang mengikutinya siang tadi, dia sempat menghafalkan nomor platnya. Segera dia masuk, Lalu sang sopir melajukan kendaraannya menuju ke apartemen si tuan besar yang telah menunggu.
Beberapa menit kemudian, sampailah dia ditempat itu. Ternyata Tama sudah berada di lobby. Dia memberi isyarat agar Heni duduk disebelahnya.
" Kenapa kau harus menggunakan ancaman? Aku tidak suka dengan caramu, " ujarnya kesal. Tama tersenyum, dia berdiri. Sebuah kecupan mendarat di pipi Heni. Dia menatap Tama tajam.
" Hanya sebuah kecupan saja kau marah? " tanya Tama.
" Tidak bisakah kau sedikit dewasa? Pertama kau membuntutiku, kedua kau mulai mengancamku?? "tanya Heni.
" Terus yang dewasa itu seperti apa? Apakah aku harus selalu menunggu ajakan darimu terus? Aku tidak mau kau mempermainkanku terus, Hen!?! "bentak Tama. Heni terkejut, dia mundur karena reaksi tak terduga darinya.
" Aku mencintaimu, Hen. Dan sekarang aku yang akan mengambil keputusan bukan dirimu, " ujar Tama. Heni bergidik ngeri. Entah apa yang akan terjadi selanjutnya. Apakah hidupnya akan lebih rumit dan harus siap bila hubungannya dengan suaminya retak? Entahlah? Memikirkan itu dia mulai bingung lagi. Dulu dia memang hanya bermain-main dengan lelaki ini, tapi lama-kelamaan dia justru menjadi masalah baru baginya.
" Dengarkan aku baik-baik, aku tidak mau kita putus. Aku ingin terus bersamamu sampai kapanpun. Kau paham??? "ujarnya dengan wajah serius.
" Dan aku bisa berbuat lebih nekat lagi, " ancamnya.
" Kau mengancamku? " tanya Heni.
"Aku tidak peduli, kau harus jadi milikku, " ujarnya. Akhirnya Heni hanya bisa pasrah saat lelaki itu memegang tangannya. Lalu mengajaknya ke lift menuju ke apartemennya berada. Dia terus berdoa agar tidak terulang kembali kejadian kemarin. Tama terus tersenyum, dia sangat bahagia sore itu. Karena wanita pujaannya berada disampingnya. Tak bertemu sedetik saja rasanya mau mati. Akhirnya mereka sampai, Tama membukakan pintu.
" Aku janji tidak akan menyakitimu, " ujarnya. Heni masuk, dia terkejut karena di meja sudah tersaji banyak makanan dan sebuah tart ulang tahun. Balon beraneka warna juga terpasang di dindingnya.
" Apa kau ulang tahun? " tanya Heni. Tama mengangguk. Dia tersenyum lebar.
" Aku ingin merayakannya denganmu, " ujarnya.
Sementara itu dirumah, Bimo kebingungan. Berulangkali dia menghubungi nomor istrinya tapi tidak diangkat. Dia juga menanyakan istrinya kepada temannya dirumah sakit tapi tidak ada yang tahu keberadaannya.
" Dimana dia? " tanya Bimo. Akhir-akhir ini dia memang curiga terhadap istrinya. Namun karena kesibukannya dia lupa hendak menanyakannya. Sang istri nampak sibuk dan hampir tak punya waktu untuknya.Dia duduk dikursi malasnya, menjernihkan pikiran.
" Apakah dia bersama Tama?" tanya Bimo pada dirinya sendiri. Apa hubungan mereka? Tidak mungkin Zidan pernah melihat mereka berdua disuatu tempat. Siapa sebenarnya Tama? Ah mungkin itu hanya suatu kebetulan saja. Tidak mungkin Heni bersamanya, mungkin dia orang yang sama. Zidan pasti berbohong. Aku akan ke rumahnya, pikir Bimo.
Dia segera menuntun sepedanya keluar rumah, bergegas menaikinya dan meluncur ke rumah Zidan. Temannya yang pernah memergoki istrinya dengan seorang lelaki di suatu taman beberapa waktu yang lalu. Tiba dirumahnya, Bimo langsung mengetuk pintunya. Zidan keluar, di mulutnya nampak sisa makanan. Bimo memberi kode untuk mengelapnya dengan tangan. Zidan tersenyum lalu membersihkan dan menyuruhnya masuk.
" Ada apa? Mana Heni? " tanyanya. Dia celingukan mencari istri kawannya itu.
" Justru itu aku ingin bertanya padamu.Apa benar kau pernah melihat istriku dengan lelaki ini? " tanya Bimo sembari menunjukkan sebuah foto di ponselnya yang diambilnya saat diwarung siang tadi. Zidan mengamati foto itu.
" Iya, lelaki ini. Aku yakin. Penglihatan dan ingatanku masih waras, " ujarnya.
" Dimana? Kapan? " tanyanya.
" Aku lupa, " jawabnya.
Bimo mengepalkan tangan ke udara kesal mendengarkan jawaban yang tak diharapkannya. Dia lalu pulang berharap istrinya sudah sampai dirumah. Namun rumahnya masih sepi. Dia duduk, pikirannya menerawang mengingat beberapa minggu belakangan ini. Memang istrinya jarang duduk berkeluh kesah padanya, meminta uang, apalagi bermanja ria. Dia memang tidak peduli, dia menyadari hal itu. Bahkan saat gajian, Bimo tak memberikannya pada Heni malah ibunya yang berkunjung saat itu yang meminta uang darinya. Selain mengejeknya juga selalu meminta uang. Sementara istrinya tak pernah meminta malah berusaha menutupi kekurangan yang ada dirumah. Dia juga tak pernah menjawab sepatah katapun ucapan dari ibunya, tapi memilih untuk keluar rumah.
Apakah aku terlalu egois? Tanpa sadar aku telah menyakitinya. Aku tak pernah memikirkan perasaannya. Ya Tuhan berilah petunjukMu, bagaimana sikap hamba selanjutnya? Jika yang hamba khawatirkan benar-benar menjadi kenyataan? Apakah sudah tak ada cinta untukku? Aku akan meminta maaf padanya, saat dia pulang nanti.
Bimo mengambil sebuah bantal dan sarung. Malam itu dia tidur dikursi tamu tanpa menutup pintu berharap sang istri segera pulang. Dia akan meminta maaf dan berusaha mengubah sikapnya. Dia akan memenuhi kewajibannya sebagai suami.
....
Heni kekenyangan, dia pamit untuk pulang kepada Tama. Namun lelaki itu melarangnya dengan tegas. Nampak api amarah diwajahnya.
" Heni, ini sudah larut. Kau mau pulang begitu saja? " tanyanya. Lelaki yang beberapa jam tadi sangat bahagia mendadak marah dan berkacak pinggang.
" Tama, besok aku mau kerja. Tak bisa mengertikah kau dengan kesibukanku? " tanyanya. Akhirnya Tama melunak, dia menelepon sopirnya untuk mengantarkannya pulang. Namun Heni menolak karena dia mau sekalian mengambil motornya yang masih terparkir di parkiran rumah sakit.
" Pulanglah dulu. Masalah motormu diambil besok saja. Pasti Bimo mengerti, " ujarnya. Tama mencium kening kekasihnya itu lalu mengantarnya keluar. Sebenarnya dia ingin Heni menemaninya tidurnya, namun dia tidak ingin bisikan-bisikan menggodanya lagi seperti kemarin malam. Selesai memastikan Heni masuk ke mobil dan diantar sopirnya, dia masuk lagi ke apartemen untuk segera istirahat.
Sesampainya di kontrakannya yang sederhana, Heni membuka pintu perlahan. Dia terkejut tatkala dilihatnya sang suami tidur di kursi tamu. Dia ingin membangunkannya, tapi nalurinya melarang. Karena suaminya telah mendengkur menandakan bahwa dia sudah terlelap dan dibuai mimpi. Dia langsung menuju ke kamar, mematut dirinya dicermin. Sungguh wanita yang tak tahu malu, umpatnya. Dia membaringkan tubuhnya diranjang lalu memejamkan mata. Dia buang jauh-jauh semua pikiran buruknya terhadap dirinya agar bisa tidur. Dia tidak mau setiap kerja selalu tampil dengan kantung mata yang besar akibat terjaga tiap malam.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 52 Episodes
Comments