[LIKENYA KAKAK BIAR OTHOR AKHLAKLSS INI RAJIN UPDATE EHE]
¤¤¤¤¤
Selepas mengajar Tirta memilih untuk mendatangi Zara untuk sekedar melihat bagaimana kondisi istri pertamanya itu, karena dia masih berharap bisa meluluhkan hatinya Zara kembali.
"Mending Abang, pulang aja,"
"Loh? Kenapa? Abang Cuma pengen ketemu kamu sayang," tolak Tirta hendak memeluk Zara.
"Zara mohon bang, mending abang pulang aja ke apartemen abang dan temenin Dea, aku lagi banyak kerjaan, gak mau diganggu," jelas Zara hendak meninggalkan Tirta di parkiran kantor tempat Zara bekerja.
Tirta yang melihat itu segera menarik tangan Zara dan menahannya sehingga Zara membalikkan badannya dan kembali menatap Tirta.
"Abang harus apalagi dek? Biar kamu Maafin Abang?" tanya Tirta dengan nada sendu.
Zara menatap lekat kedua manik mata suaminya, tampak dimatanya menunjukkan ketulusan atas kalimatnya, tapi untuk kali ini Zara berharap bahwa Tirta hanya berbohong dan tidak tulus akan perkataannya.
"Abang masih nanya?" Zara menghela napas dan memberi jeda sejenak. "Cintai Dea seutuhnya dan talak aku,"
Lagi-lagi kalimat serta pernyataan tidak mengenakkan keluar dari bibir manis Zara yang bisa mengucapkan kalimat cinta untuk Tirta.
"Kenapa harus itu sih Dek? Abang rasa kamu sudah berubah? Apa abang ada salah? Bilang sama abang?"
"Yah salah abang itu,"
Tirta terdiam dahinya mengerut frustrasi dibuat Zara.
"Sekarang aku tanya, Abang udah cinta kan sama Dea? Cuma Dea yang kasih anak yang abang impikan selama ini kan?" tanya Zara menyentuh dada Tirta.
Tirta kembali terdiam atas pernyataan dari istrinya itu, hatinya gusar, kini ia sendiri bingung harus menjawab apa, karena faktanya dia masih bingung dengan perasaannya.
"Jawab bang!" bisik Zara dramatis.
"Iya Za! Iya! Abang cinta sama Dea! Puas!?" jawab Tirta mengguncang bahu Zara.
Zara tersenyum getir.
"Tapi Abang janji bakal adil dalam membagi cinta kepada kalian berdua asalkan kamu gak bersikap seperti ini lagi dek," lanjut Tirta mengalihkan tangannya dari bahu Zara ke posisi menangkup kedua pipi Zara.
Zara meraih tangan Tirta dan menurunkan dari pipinya kemudian menggenggam erat tangan suaminya itu.
"Mudah bagi abang bicara begitu? Abang hanya tahu tentang logika dan realitasnya, tapi sudah aku tekankan, tidak ada satu perempuan pun yang ingin di madu, dan jika itu terjadi hanya akan ada dua pilihan, diikhlaskan dan mengikhlaskan, dan aku memilih untuk mengikhlaksan Abang,"
Zara kemudian menaruh kedua tangan Tirta di dada Tirta dan menepuk dada suaminya pelan.
"Jaga hati abang buat Dea, jangan lakukan kesalahan yang sama, hati perempuan itu kuat, tapi sekuat-kuatnya hati perempuan, juga gak akan rela kalau harus dikhianati," ujar Zara final.
Zara kemudian berjalan meninggalkan Tirta sendiri dalam nista meratapi kalimat menohok dari istrinya itu, apakah ini merupakan akhir dari semua perjuangan Tirta untuk meluluhkan hati Zara dan mencoba melebihkan hatinya kepada Dea.
Sementara itu Zara hanya berjalan dengan linangan air mata dipipinya yang perlahan memudarkan make up yang sedari tadi menoreh diwajahnya, hatinya sakit tapi jika terlalu lama, dia hanya akan larut dalam luka yang sama.
Setelah ditinggalkan oleh Zara, Tirta memilih untuk pulang ke apartemennya karena sudah sore, di perjalanan pulang Tirta tidak berhenti memikirkan perkataan dari Zara, apakah selama ini dia kurang tegas dengan perasaannya.
"Argh!"
Tirta memukul setir mobil berbalut kulit sintesis berwarna coklat tersebut sehingga menimbulkan sedikit bekas didalamnya, setelah selesai meluapkan semua kekesalan dan kepelikan hatinya, Tirta segera mengatur napasnya sebelum turun dari mobil dan masuk ke apartemen untuk menemui Dea yang sudah menunggunya.
Dukk!
Suara pintu mobil yang ditutup lumayan keras oleh Tirta mengiring langkahnya untuk masuk ke apartemennya yang ada di lantai dua, disepanjang langkahnya dia hanya bisa mengatur napas supaya kelihatan normal dan baik-baik saja didepan Dea, supaya dia tidak menanyakan tentang apa yang membuatnya gelisah saat ini.
"Tenang Tirta, jangan buat gadis itu berpikir keras kali ini," batin Tirta memperbaiki posisi kerah kemejanya.
Setibanya didepan pintu apartemennya Tirta segera masuk tanpa mengetuk karena pintu tersebut memakai kartu untuk mengakses pintu masuknya dan hanya Tirta serta Dea yang mempunyai kartu tersebut.
Zara? Jika dia ingin, dia bahkan bisa meminta semua kunci dari segala hal pribadi milik Tirta sepanjang enam tahun pernikahan tapi mengingat Zara bukan tipe perempuan yang menuntut lebih membuat Tirta tidak perlu repot memberikan berbagai barang untuknya dulu, sama halnya dengan Dea, jika saja dia tidak harus tinggal di apartemen yang sama dia tidak mungkin bisa memegang kartu akses milik Tirta tapi Tirta selalu beralasan bahwa ini untuk mempermudah dia dengan calon bayinya.
Dea sendiri kadang bingung, dimana letak perasaan Tirta yang sebenarnya padahal jelas-jelas malam pernikahan mereka ia mengatakan bahwa semua hanyalah formalitas dari kekhilafan yang telah terjadi, lantas kenapa sekarang seolah dia menjadi suaminya karena perasaan suka sama suka dan didasari oleh cinta.
"Bang?" panggil Dea berjalan menuju ruang tamu.
Dea baru saja selesai memasak makan malam di dapur untuk Tirta dan hendak istirahat di ruang tamu menunggu magrib sebelum dia melihat suaminya itu sudah duduk di sofa yang biasa ia duduki diruang tamu apartemen itu.
"Abang gak bilang-bilang kalau udah pulang, udah lama gak? Maaf yah Dea tadi abis selesai masak jadi gak denger kalau abang udah pulang," lanjut Dea menghampiri Tirta dan membantu melepas sepatu suaminya.
Tirta tersenyum. "Gapapa dek,"
Setelah selesai melepas sepatu milik Tirta, Dea beralih duduk disamping Tirta dan memijit punggung belakang suaminya itu seperti yang biasa ia lakukan selama beberapa bulan ini.
"Dek? Abang pengen nanya," tanya Tirta pada Dea.
"Tentang yang tadi siang?" tanya Dea balik.
Tirta berdehem pelan dan menganggukkan kepalanya. "Tapi Abang mau jawaban yang lain,"
"Kenapa kamu pengen pisah dari Abang?" tanya Tirta pada Dea.
"Karena gak ada satu perempuan pun yang mau dibagi suaminya walaupun dia berada dalam posisi kedua," jawab Dea pelan.
"Kalau Abang cerai dari Zara atas permintaannya sendiri, bagaimana?" tanya Tirta kembali.
"Itu gak akan terjadi bang, karena akhir kisah kita hanya aku yang menyerah dan keluar dari hubungan ini, kenapa harus dibuat rumit sih bang? Walaupun aku pihak ketiga juga aku gak mau bang disebut perebut suami orang, sengaja atau tidak disengaja, tidak ada perempuan yang mau cintanya dibagi-bagi, harusnya abang sadar poin penting itu?" Dea berhenti memijat Tirta dan berdiri dari duduknya.
"Kenapa harus kamu yang menyerah?"
"Karena aku orang ketiga," ujar Dea lemah.
Suasana diantara mereka hening seketika, tidak ada suara apapun setelah kalimat Dea hanya detakan jarum jam seiring deruan napas mereka berdiri mengisi ruangan itu.
Dea mengambil tas kerja Tirta dan hendak beranjak ke kamar sebelum Tirta menarik tangannya dan memaksanya duduk di sofa.
Dengan posisi begitu wajah Tirta dan Dea kini sangat dekat sehingga Dea bisa merasakan deru napas berat milik Tirta menghembus di wajahnya.
Wajah Tirta turun ke perut Dea yang kini menginjak usia dua bulan lebih, ia mengecup perut tersebut yang membuat darah Dea berdesir seketika, membuat Dea mati-matian menahan tangisnya karena ini pertama kalinya Tirta melakukan hal ini padanya.
"Anak Ayah, sehat-sehat yah, jangan bandel dan bikin bunda kamu repot, kasian soalnya, Ayah bakal tunggu kamu sampai lahir, Ayah gak sabar pengen lihat muka kamu, nanti kamu mirip siapa? Ayah atau Bunda?"
Tirta tampak melakukan baby talk dengan bayi dikandungan Dea yang membuat Dea segera mengakhiri sesi itu sebelum dia benar-Benar menangis dihadapan Tirta.
"Abang mandi yah, bentar lagi masuk maghrib, aku juga mau siap-siap dulu di kamar," pinta Dea berdiri dari posisi.
Tirta mengangguk disusul langkahnya menuju kamar mandi di dapur, sementara itu Dea segera berlari ke kamar dan menguncinya, ia duduk diranjang mengusap perutnya dan menangis dalam posisi membungkam mulutnya.
"Bunda harus gimana? Apakah Bunda sanggu misahin kamu sama Ayah kamu nanti? Sedangkan kamu adalah Anak yang selama enam tahun ini ayah kamu impi-impikan?"
Dea mengusap perutnya pelan setelah memonolog kalimatnya berharap bahwa tindakannya nanti akan berakhir baik-baik saja.
Ia masih berurai air mata sampai suara ketukan dari Tirta memaksanya menghapus air mata dan membuatnya seolah tidak terjadi apa-apa.
- TBC
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 53 Episodes
Comments
Surabaya Honda
W.O.W wonderful Thor,, CHIAYOO 👍
2024-01-19
0
Endang Priya
tinggal seatap dgn ortu dan adik ipar perempuan..ipar bisa dibilang bencana entah dgn sadar or tidak..itu sebabnya sebaiknya setelah menikah pisahlah dr keluarga...andai ortu si wanita melarang . laki" harus tegas karna kalo sdh menikah bakti anak perempuan lebih utama kesuaminya . selama si suami tidak mengarahkan pada kemungkaran.
2022-03-02
0
Riyati Pml
.....
2022-01-23
0