05- flashback

Columbia University, sepuluh tahun lalu adalah awal baru di kehidupan seorang Adira. Dira yang awalnya kuliah di kedokteran harus mengubur impiannya dalam-dalam untuk menjadi seorang dokter bedah. Samuel, paman sekaligus mentornya selama ia tinggal di New york, benar-benar menentang keras keinginan Dira.

Perusahaan Sanjaya, itulah yang selalu Samuel jadikan alasan untuk membuat seorang Dira mau mengubur mimpinya menjadi dokter. Ia benar-benar dididik agar menjadi pengusaha hebat, penerus keluarga Sanjaya.

Sebagai seorang anak laki-laki sekaligus anak pertama Arman Sanjaya, tentu saja membuat beban di pundak Dira sangat berat. Kiara, adiknya, belum cukup umur untuk ia bagi beban ini sehingga satu-satunya jalan adalah Dira yang harus berkorban.

Pagi ini adalah hari pertama Dira kuliah di Columbia University. Dira mengambil jurusan ekonomi seperti arahan Samuel. Berbekal buku tebal yang ia pegang dan tas punggung yang ia pakai, Dira berjalan menaiki tangga untuk menuju kelasnya.

Brukkk

"Sorry..." Dira langsung reflek membantu orang yang tadi tidak sengaja ia tabrak. Ini murni kesalahannya, berjalan dengan tidak fokus.

Dira sedang asyik mengamati arsitekstur bangunan yang ia singgahi sehingga tidak melihat jika ada seseorang yang sedang berjalan, berlawanan arah dengannya.

"No problem, Mr" jawab perempuan itu.

Sesaat baik Dira dan perempuan itu tidak ada yang berbicara lagi. Dira sedang sibuk mengamati wajah perempuan di hadapannya. Sedangkan perempuan itu sedang sibuk membersihkan celananya dari debu.

"Kau orang Indonesia?" tanya Dira membuat perempuan itu kaget.

"Ya, kau juga?" jawab perempuan itu.

"Benar. Kenalkan! Adira Putra Sanjaya" Dira mengulurkan tangan kanannya.

"Veronica Meghan Hapsary. Panggil saja Ve" perempuan itu menyambut uluran tangan kanan Dira.

"Baiklah Ve, karena kau adalah orang Indonesia juga. Mungkin aku akan bertanya kepadamu saja"

"Hmm??? Apa??" Ve mengernyitkan dahi karena laki-laki di hadapannya ini langsung saja tancap gas meski baru berkenalan.

"Kau tahu di mana letak ruang kuliah Mr. James Thannor? Aku ada kelas beliau hari ini" kata Dira sopan.

Ve menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. Ia mengamati wajah Dira dengan teliti.

"Kau ada kelas Mr. James Thannor?"

"Ya"

"Kau jurusan ekonomi?"

"Ya"

"Mr. James hanya mengajar mahasiswa baru, mana mungkin kau ada kelas beliau?"

"Aku memang mahasiswa baru, Ve" jawab Dira membuat Ve langsung terkejut.

"Kau? Mahasiswa baru?"

"Ya? Kenapa?" tanya Dira.

"Kau tidak pantas menjadi mahasiswa baru. Wajahmu lebih cocok menjadi mahasiswa akhir" jawab Ve membuat Dira langsung tertawa terbahak-bahak.

"Apa aku terlihat setua itu, Ve?" tanya Dira, dalam hatinya ia sedikit tidak terima dengan ucapan Ve.

"Ya, kau benar-benar tidak ada imut-imutnya. Mana mungkin aku percaya jika kau adalah mahasiswa baru?" tanya Ve lagi.

"Aku memang mahasiswa baru, baru pindah Ve. Aku awalnya kuliah kedokteran di Jakarta, pindah kesini, mulai dari awal" kata Dira menjelaskan.

Ve mengangguk.

"Apa kau tahu di mana kelas Mr. James Thannor?" ulang Dira.

"Tahulah. Aku juga mahasiswinya, tapi tahun lalu" ucap Ve yang artinya Ve bukan mahasiswa baru seperti Dira.

"Apa aku bisa minta tolong Ve? Tolong antarkan aku ke sana!" pinta Dira.

"Boleh! Asal kau mentraktirku sepulang kuliah" jawab Ve, ia menaikkan kedua alisnya dengan lucu.

"Matre juga kau. Hahahahaaaaa" Dira terkekeh geli.

"Aku perempuan. Kurang lucu kalau tidak matre, Dira. Bagaimana? mau tidak?"

"Bolehlah! Anggap saja sebagai permintaan maafku juga karena telah menabrakmu" kata Dira.

Ve mengacungkan jari jempolnya. Kemudian ia mengajak Dira masuk ke gedung di mana kelas Mr. James mengajar. Ve dan Dira berjalan beriringan. Sesekali Dira bertanya tentang dosen-dosen yang akan menjadi tentornya selama setahun ini.

Untunglah Ve juga mengambil jurusan ekonomi dan nama-nama yang disebutkan Dira adalah dosen-dosen yang pernah mengajar di kelasnya juga. Ve memberitahu karakter tiap dosen kepada Dira. Bagaimana Dira harus menghadapinya dan seperti apa tugas-tugas yang akan diberikan.

Dira bisa bernafas lega karena tahun pertamanya sepertinya tidak akan sulit karena ada Veronica selaku seniornya yang siap membimbingnya mengerjakan tugas-tugas dari dosen pengajarnya.

\_\_\_\_\_\*\*\*\_\_\_\_\_

"Ve, mau menjadi pacarku?" kalimat itu dilontarkan Dira setelah satu tahun berkenalan dengan Ve.

Ve yang saat itu sedang membaca buku diktatnya tentu saja kaget tatkala mendengar perkataan Dira.

"Kau demam? Mengapa bisa ngelantur seperti itu?" tanya Ve. Ia mengira Dira sedang tidak serius dengan ucapannya sehingga Ve memilih untuk tetap fokus membaca diktatnya.

"Aku serius, Ve. Hei, lihatlah aku! Aku tidak sedang bercanda"

Ve menutup bukunya, mengalihkan fokusnya pada Dira yang duduk di hadapannya.

"Aku mencintaimu, Ve. Mau ya jadi pacarku?" tanya Dira lagi.

Ve tidak bergeming. Satu detik, dua detik, belum ada respon dari Veronica.

"Ve...!!!"

Brukkk...

Ve memukul bahu Dira dengan buku yang ia pegang. Dira yang mendapat serangan mendadak itu tentu saja tidak sempat menghindar.

"Ve... Ve... sadar, Ve! Mengapa kau memukulku?" tanya Dira mengaduh.

Ve menghentikan aksinya.Ia meletakkan buku yang tadi ia gunakan untuk memukul Dira.

"Kamu nembak aku???" tanya Ve kesal.

"Iya. Ada yang salah?" tanya Dira tak mengerti.

"Ada! Caramu, Dira! Caramu! Apakah tidak ada cara yang lebih romantis untuk mengatakan cinta kepada seorang perempuan? Kau bahkan menembakku di tempat seperti ini" Ve berdecak sebal.

Dira menautkan kedua alisnya. Cara romantis? Apa itu harus? Baginya cukup langsung mengatakan pada inti pembicaraan sudah selesai.

Dira yang memang belum mengenal apa itu cinta. Belum mengenal apa itu pacaran dan hal - hal romantis anak muda lainnya, tentu saja dibuat bingung. Selama ini Dira lebih tertarik menekuni buku-buku anatomi tubuh manusia daripada harus menonton film romansa yang menguras air mata.

Dira lebih suka berada di kamar jenazah mengamati dosennya bagaimana cara mengotopsi jenazah daripada harus keluar ke club malam menghabiskan waktu yang menurutnya unfaedah.

Sekarang ketika ia merasakan sebuah getaran hebat saat bersama Veronica di usinya yang menginjak dua puluh lima tahun, Dira benar-benar kebingungan jika diminta untuk melakukan hal-hal berbau romantis untuk mengutarakan perasaannya.

"Maaf, aku bukan pria romantis" kata Dira jujur.

"Kalau kau memintaku untuk menjadi pria romantis. Maaf, Ve, aku tidak bisa. Aku sudah terlahir begini. Dengan sikap asliku yang sedikit banyak sudah kau ke tahui" lanjut Dira putus asa.

"Aku tidak bisa membuatkan puisi untukmu. Suaraku juga sangat sumbang untuk menyanyikan lagu cinta untukmu. Coklat atau bunga? Maaf daripada aku harus mengeluarkan uang untuk hal-hal remeh seperti itu lebih baik aku mentraktirmu makan masakan padang. Itu lebih mengenyangkan" kata Dira.

Veronica tersenyum mendengar penuturan pria di hadapannya. Polos, jujur, dan apa adanya. Sejujurnya Ve hanya ingin mengetes Dira. Bagaimana reaksi Dira jika ia memintanya menjadi pria romantis.

Ve bukannya tidak tahu jika Dira adalah pria kaku yang cenderung introvert. Sikapnya yang dingin, suka menyendiri, pasti akan sulit untuk bersikap romantis. Bahkan ekspresi Dira sama saja saat sedih atau senang, sedang terluka atau sedang mendapat undian. Datar, tanpa ekspresi. Begitulah seorang Adira Putra Sanjaya.

"Adira Putra Sanjaya" panggil Ve namun diacuhkan Dira.

"Aku tidak butuh pria romantis untuk menjadi kekasihku. Aku tidak butuh cokelat karena itu membuatku gendut. Aku tidak butuh bunga karena aku alergi bunga. Aku hanya butuh pria jujur dan setia yang melabuhkan seluruh cintanya kepadaku. Menjadikanku ratu dan tempat persinggahan terakhir. Memberiku seluruh hidupnya kepadaku, menua denganku hingga akhir hayatku. Selalu di sampingku di saat sedih ataupun senang dan..."

"Ve... kamu ngomong apa sih? panjang banget kayak kereta? Langsung aja to the point" potong Dira.

Ve yang sudah terhanyut dalam mode baper dan nyaris bucin pada Dira seketika berubah menjadi kesal. Dira dengan tidak tahu dirinya merusak momen romantis yang susah payah dibangun oleh Veronica.

Veronica hendak menjambak rambut Dira. Namun, ia kalah cepat. Dira bangkit, mengambil semua buku-buku miliknya dan memasukkan ke dalam tas punggungnya.

"Aku pergi dulu ya, Ve. Ada kelas Mr. Lukas" kata Dira kemudian berlalu meninggalkan Ve yang duduk melongo di taman kampus.

Terpopuler

Comments

Lina Zascia Amandia

Lina Zascia Amandia

Si Adira ada nongol Kak di beranda NToon. Slmt Say... dua like sy beri untukmu biar semangat...

2023-02-19

7

🍾⃝🐇ωεɪıɑ xɪɑи⍣⃝కꫝ 🎸

🍾⃝🐇ωεɪıɑ xɪɑи⍣⃝కꫝ 🎸

wah wah Dira gentleman sekali yaa

2023-01-01

1

Afif212

Afif212

dah pergi aja sonoh Dir

2022-12-15

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!