MKB part 2

Masa kecil Bara part 2.

Saat Bara bangun di pagi hari, tak didapati Emaknya yang menidurkannya semalam, Bara mencari ke dapur kumuh mereka yang berdindingkan bambu, beberapa genting yang menghitam dan bocor, berlantaikan tanah dan tungku api yang terbuat dari tanah liat. Kosong, di sana tak ia temui sosok emak yang dicari.

Bara lantas masuk ke kamar mandi yang terdapat genuk-sebuah guci dari tanah liat-sebagai tempat penampungan air, Bara mandi dengan cepat, dalam pikirannya, mungkin emaknya pergi ke pasar.

Bara telah siap dengan seragam sekolahnya yang nampak kusam dan lusuh, celana merah pendek jauh di atas lutut karena sudah kekecilan dengan kemeja yang warnanya seharusnya putih namun terlihat kekuningan, seragam itu dulu Bara dapat dari tetangganya, bekas. Bara menyisir rambut di depan cermin lemari yang kotor. 'Ganteng.' Pikir Bara sambil tersenyum lebar.

Ia duduk di teras depan rumah, bersandar tiang kayu kusam menunggu emaknya pulang, namun sampai jam menunjukkan pukul 7, emak Bara tak kunjung datang, begitupun bapaknya yang pergi semalam.

Bara pun memakai sepatu yang sudah bolong di ujung jempol, memakai tas selempang dan berlari menuju sekolah, dengan perut lapar tanpa sarapan, takut jika dia akan terlambat masuk ke dalam kelas dan akan dimarahi oleh Bu guru.

Sepanjang perjalanan Bara terus memikirkan emaknya, kenapa dia belum juga pulang? Juga Bapaknya, ingin rasanya menangis, tapi Bara tahu, jika dia menangis sekarang, teman-temannya akan mengejeknya.

Saat istirahat sekolah, Bara melihat beberapa temannya yang asyik beli jajanan, tidak mewah, tapi cukup menggugah selera, apalagi Bara yang sedari pagi tadi tidak makan, membuat air liurnya seakan berdesakan ingin menetes. Tangan kecilnya memegangi perut yang terus keroncongan.

Namun kedatangan seorang pria yang berlari tergopoh meneriaki nama Bara Membuat lapar Bara seketika hilang.

Pak Samin, tetangga yang masih kerabat dekat emaknya. Biasa Bara panggil Lek.

"Bara,,,,"

"Lek Samin?"

"Ayo pulang, Bara, emakmu, emakmu," ujar Lek Samin yang terengah.

Beberapa guru menghampiri mereka.

"Bener toh pak beritane? Aku denger tadi waktu istirahat ngajar, aku pulang buat makan! Terus dengar omongan para tetangga." kata Bu Saroh, guru Bahasa Indonesia yang rumahnya tak jauh dari rumah Bara.

"Iya, Bu. Bener. Sekarang saya mau jemput Bara pulang!" Lek Samin mulai bisa mengontrol nafasnya.

"Ya sudah, pak. Bawa pulang cepat." sahut guru yang lain.

Dalam situasi saat itu, Bara yang masih anak-anak hanya terdiam mendengarkan orang-orang dewasa yang berbicara bergantian, namun hatinya terus berdebar-debar, apakah sesuatu yang buruk terjadi pada emaknya?

"Ayo Bara," Lek Samin menggandeng tangan Bara.

"Bentar, Lek. Tasku masih di dalam kelas." harta sekecil itu masih Bara ingat karena tak ada lagi tas yang ia punya di rumah.

Setelah Bara mengambil tas dari dalam kelas, Lek Samin buru-buru menggandeng tangan Bara terkesan menariknya pergi dari sana untuk pulang ke rumah.

Langkah kecil Bara tersingsal mengikuti gerak langkah Lek Samin yang lebar dan cepat. Sungguh, hati Bara mulai berdebar dan ia merasa takut, tidak tahu takut karena apa, tapi Bara benar-benar takut.

***

Sesampainya di rumah, Bara hanya diam, berdiri mematung di depan pintu, melihat seisi rumah reotnya yang biasanya sepi kini sudah ramai oleh para tetangga dan kerabat, juga beberapa orang yang mengaji.

Tubuh itu terbujur kaku di atas tikar yang digelar di lantai tanah ruang tamu rumah Bara yang bercahaya redup terkesan gelap. Itu adalah jasad ibu Bara yang sudah tak bernyawa bertutupkan kain jarik berwarna coklat kekuningan.

"Emak,,,," lirih Bara diiringi setetes air mata yang luruh membasahi pipi.

Bagaimana bisa, wanita yang semalam tidur memeluk Bara, menghilang di pagi hari, tengah hari sudah dalam kondisi tak bernyawa seperti ini.

Lalu Bapak bara? Di mana pria itu? Kenapa Bara tak melihatnya?

"Ayo, Bara!" Lek Samin menggandeng tangan Bara agar mendekat ke jasad ibunya, Bara dan Lek Samin duduk.

"Harus toh, Lek?" tanya seorang pria, merasa jika tidak seharusnya Bara perlu melihat wajah emaknya untuk yang terakhir kali sebelum dimandikan.

"Bara, piye nak? Mau lihat?" tanya Lek Samin hati-hati.

Meski tak ada jerit yang keluar dari mulut Bara yang mengunci rapat, namun, air matanya yang terus membanjir mengungkapkan betapa sedihnya hati bocah itu saat ini.

Bara hanya mengangguk pelan sebagai jawaban.

Lek Samin pun membuka perlahan penutup kain jarik di bagian wajah emak Bara. Dan Bara langsung memeluk emak dengan tangis yang pecah.

"Emak,,,, bangun Mak,,,, jangan mati,,,, Bara takut,,,,, emak,,,, bangun, jangan tinggalin Bara, adek gimana Mak? Dia belum lahir, Mak,,,, bangun, jangan mati Mak,,,, Bara takut!" Bara terus menggoyang tubuh emaknya sambil memeluknya erat. Saat itu, Bara merasa dunianya telah hancur, hidupnya pun seperti telah berakhir.

"Mak,,,, bangun.... Buka matanya Mak,,,, Bara janji tidak akan nakal lagi, tidak akan main layangan, tidak akan berenang ke sungai, Bara janji akan menjadi anak yang baik, bangun Mak,,,, Bara akan rajin sekolah dan mengaji, bangun Mak,,,, bangun,,,,"

Semua orang yang hadir turut menangis pilu melihat Bara yang kehilangan.

"Bapak? Di mana Bapak, Lek Samin? hiii iii hiii iii," Bara mendongak melihat Lek Samin sambil menangis.

Tak ada yang memiliki jawaban atas pertanyaan Bara, tak ada yang tahu di mana Bapak Bara berada.

Pria itu, dia tidak pernah lagi kembali pulang. Entah saat ini dia masih hidup atau sudah menyatu dengan tanah, bahkan mungkin dia juga tidak pernah tahu jika istri dan calon anaknya yang masih di dalam kandungan ditemukan meninggal di sungai bawah jembatan.

Ada apa dengan kedua orang tua Bara? Tak ada satupun orang yang tahu, bahkan sampai dewasa ini, Bara pun tidak tahu apa yang terjadi pada mereka. Kenapa Bapaknya meninggalkan rumah, membuat Bara serasa mati meski hidup, tanpa seorang pun menyayanginya di masa itu.

Flash back off.

***

Bara memejamkan mata, mendongak ke atas menjatuhkan kepala pada sandaran jok, dengan kedua tangannya yang mengusap kasar wajah. Mobil Jeep yang mereka tumpangi melewati jalan tanah yang cukup bagus, jadi Fiki melakukannya lebih kencang.

"Mereka bisa saling membunuh hanya demi sebungkus roti," lirih Fiki meneruskan ceritanya, air mata Fiki tak lagi terbendung, ia tahu, menjadi seorang tentara pantang menangis, tapi melihat kasih sayang dan perjuangan anak laki-laki tadi yang mencuri roti untuk diberikan pada adik-adiknya, sangat menyentuh batin Fiki.

"Kita akan mengunjungi mereka dengan membawa beberapa makanan yang kita sisihkan dari gudang makanan di Markas untuk mereka nanti, itu artinya, kita harus mengurangi jatah makan kita." cetus Bara setelah ia bisa menenangkan hatinya yang bergejolak teringat masa kecilnya yang kelam.

"Hormat, Garuda. Semar setuju,"

"Wiro sableng, siap, setuju."

Ucap Semar dan Wiro Sableng lugas, tegas.

"G-ga hiks, Gatot Kaca juga s-se setuju!" Fiki terisak, membuat Semar dan Wiro Sableng yang notabennya berpangkat di bawah Fiki menahan tawa, jangan sampai mereka mendapat hukuman karena telah menertawakan atasan mereka.

Sedangkan Bara yang berpangkat paling tinggi dari mereka bertiga terbahak sepuasnya, menyembunyikan hati yang sebenarnya sedih teringat masa kecil yang pilu. Dan Fiki hanya membiarkannya saja, ia masih begitu larut dalam perasaannya sendiri. Melow.

***

Terpopuler

Comments

yusneni nasution

yusneni nasution

sedih sampai meleleh air mata bacanya

2022-08-06

0

dealove

dealove

😭😭😭😭

2022-07-24

0

Vita Zhao

Vita Zhao

miris sekali nasib bara waktu kecil🥺.
bara hidup sebatang kara, ibu meninggal dan ayah pergi tak bertanggung jawab.

jadi orang tua bara yg sekarang bukan orang tua kandung bara dong🤔

2022-07-09

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!