Bab 3. DIKA

Dika terkaget juga melihat reaksi Airin, saat dia mengajukan pertanyaan . Apakah Airin sudah punya pacar apa belum.

Salahnya di mana sih?

Apakah pertanyaannya itu terlalu sulit untuk di jawab? Reka hati Dika . Bingung juga Dika saat Airin meninggalkannya begitu saja di kebun belakang.

Alhasil, rencananya yang ingin bicara dari hati ke hati dengan Airin buyar total.

Bagi Dika pertanyaannya itu adalah hal yang biasa. Mungkin karena dia selama ini, lebih banyak tinggal di luar negri. Sehingga pola pikirnya lugas.

Dan gampang saja mengekspresikan perasaan- nya. Bertolak belakang dengan Airin yang lebih pendiam.

Dan lebih menjaga lisannya . Hanya kepada orang tertentu sikapnya akan lebih akrab.

Seperti dugaan Airin, akhirnya tante Tia bicara juga ke mamanya Airin. Keinginannya untuk menjodohkan putranya dengan Airin.

Tentu saja ibunya Airin kaget. Tak menyangka kalau kedatangan sahabat lamanya itu, punya niat mengambil putrinya jadi menantu.

Tapi Bu Rista juga sepertinya risau bagaimana sikap putrinya kalau tau hal ini.

Putrinya Airin memang sudah pantas untuk menikah. Umurnya sudah dua puluh delapan. Tapi bu Rista belum juga melihat gelagat putrinya itu memikirkan soal pernikahan.

Airin terlalu sibuk meniti karirnya mengurus butik.

Dan selama ini pun Airin belum pernah, bicara soal pernikahan.

Pernah sih dia menanyakan soal itu. Tapi jawab-

an putrinya tak pernah jelas

" Suatu saat Airin pasti menikah ya, ma. Kapan itu terjadi, hanya Tuhan yang tau mam." selalu begitu jawabannya. Membuat bu Rista enggan bertanya lain waktu.

" Bagaimana jawabannya, Ris. Saya serius lo, mau ngambil Airin jadi menantu saya. Karena itu kami datang, sekalian ziarah ke makam bapak. " Tia menatap Rista serius. Membuat Rista jengah.

" Sebenarnya soal ini di bicarakan saja langsung ke Airin, biar kita tau apa jawabannya."

" Iya sih, tapi kamukan bisa bujuk Airin supaya mau. Lagian dia itu sudah cukup umur. Iya kan?"

" Baiklah, akan aku sampaikan nanti sama Airin. Biar dia yang memutuskan apa mau atau tidak."

" Okelah, aku sangat berharap agar Airin menjadi menantuku. Mengingat persahabatan kita dulu." senyum Tia lembut menatap Rista penuh harap.

Rista seolah kesulitan menghirup nafasnya. Dia berpikir keras bagaimana caranya menyampaikan hal ini pada Airin, putrinya.

Karena Airin sepertinya menghindari Tia. Airin selalu pergi diam - diam. Dan saat di tanya jawabnya selalu sama.

" Mau cari angin segar, ma"

Dan kini Rista telah berhadapan dengan putrinya.

Dan telah ia jelaskan juga maksud kedatangan tante Tia, yang ingin menjadikannya menantu.

Rista menatap wajah putrinya, menanti jawaban!

Yang di tatap malah balik menatap!

"Bagaimana pendapat mama , soal lamaran itu?" tanya Airin menyapu seluruh wajah mamanya dengan tatapan selidiknya.

" Menurut mama itu terserah kamu nak. Yang mau menjalaninyakan kamu. Mama serahkan jawabannya sama kamu. Jadi kamu harus mikir yang matang. Kamu yang lebih tau mana yang terbaik buat kamu," tutur Rista panjang lebar.

" Baiklah ma, aku akan memikirkannya dalam beberapa hari ini." ucap Airin memutus pembicaraan.

Detik berikutnya, setelah mamanya ke luar dari kamarnya. Airin mengontak Risa.

" Halo Ris, kamu punya waktu bentar gak?"

" Ada apa Rin, tumben nelpon segini hari?" jawab Risa di seberang

" Iya nih, aku ada masalah yang membuatku serba salah, Ris."

" Sepertinya rumit ya Ris. Tak biasanya minta bantuan. Selama ini cari solusi sendiri,"

" Heh! Sebenernya kamu mau gak sih, bantuin aku. Bikin keki aja." rutuk Airin karena Risa sobatnya malah kayak ngejek.

"Ha...ha...." terdengar tawa membahana dari seberang. Airin menjauhkan ponselnya dari telinganya. Bisa pecah gendang telinganya nanti.

" Sori ya, Rin. Aku cuma becanda. Biar kamu gak koslet, aja. Oke, aku udah siap mau jadi ember," celetuk Risa.

Airinpun mengisahkan secara detail semua tentang tante Tia dan Dika. Risa menyimak dengan serius.

"Lalu apa yang salah dengan lamaran itu, Rin. Bukannya kalian sudah saling kenal."

"Kenalnya di masa kecil lo,Ris. Selama ini gak pernah saling kasih kabar. Masa, setelah dewasa tiba- tiba saja ngajak menikah. Gak lucu ah! Kami seperti orang asing saja."

" Kan bisa saling kenal dulu, Rin. Tapi kalo memang gak suka sih, jangan di paksakan deh. Karena yang mau nikah itu, kamu. Bukan orang lain. Kalo aku sih ngedukung apa keputusan kamu Rin." tutur Risa

" Dari awal aku udah gak sreg lo, Ris. Entah kenapa. Padahal Dika itu cowok ganteng, mapan pastinya dia tuh rebutan cewek- cewek" tukas Airin.

" Trus apa yang salah dong, Rin? Barang bagus kok di biarin lewat aja gitu. Lagian kan kamu masih sendiri. Kalo aku sih udah ku embat, he..he..." kelakar Risa.

" Emang jajanan, pake embat segala." rajuk Airin.

" Ini perkara hati, Ris. Aku suka dengan orang yang saat pertama kali liatnya sudah jatuh cinta,"

" Fall in love maksudmu, Rin?" Aduh , mata juga bisa menipu lo. Ati- ati Rin! Aku paling gak ngeh dengan soal gituan, ha..ha..." tawa Risa kembali mekar.

" Kalo gitu, kamu ambil aja deh," tawar Airin konyol.

" What? Ha..ha...mau di kemanain suamiku tersayang, Rin. Udah deh, jangan ngaco kamu! Sama kamu aja deh, Rin. Kasih kesempatan dong untuk saling kenal. Masa sih, belum apa- apa kamu itu udah bangun tembok. Tembok Berlin aja bisa runtuh kok."

" Udah deh, saran kamu gak jelas. Tadi ngedukung aku. Sekarang malah nyuruh, ngasih

kesempatan, sebel." rungut Airin. Kembali Risa tertawa. Dia sudah bisa bayangkan seperti apa rupa Airin kalau kesal.

"Gak juga sih, Rin. Aku cuma mau bilang, kamu mikir yang tenang. Kalo memang gak suka, ngomong yang baik, biar gak ada yang tersinggung. Kan mama sama tante Tia itu sahabatan. Gitu lo."

" Ok, makasih ya Risa. " Airin memutus kontaknya dengan Risa, lima belas menit kemudian. Setelah mereka cerita ngarol ngidul. Cerita mereka terhenti setelah terdengar tangis bocilnya, Risa.

Paginya, saat Airin bersiap hendak lari pagi. Airin berpapasan dengan Dika. Dika juga berencana mau lari pagi.

" Hai, Dika! Mat' pagi ya." sapa Airin ramah. Gak enak hati juga Airin, tamunya di cuekin beberapa hari ini.

" Eh, Mat' pagi juga, Rin! Mau lari pagi juga, ya?"

" Hem, Iya. Bareng yok!"

" Oke, tunggu bentar ya. Topiku ketinggalan." Dika kembali masuk ke kamarnya. Airin menunggu di teras. Seraya melakukan pemanasan. Menunggu kemunculan Dika.

" Jalan, yuk!" ajak Dika. Airin mengikuti di belakang lalu mensejajarkan langkahnya di samping Dika.

Airin mencuri pandang wajah Dika, dari samping.Dika yang memandang lurus ke depan tak menyadari kalo Airin memerhatikannya.

Suasana di antara mereka serasa beku. Tak seorangpun mau memulai percakapan. Benak ke duanya sibuk sendiri.

" Istirahat yuk! " ucap Airin memecah keheningan di antara mereka. Setelah hampir setengah jam mereka berlari. Airin merasa nafasnya ngos- ngosan. Airin mengambil tempat duduk di bawah pohon akasia, yang di tanam berbaris di pinggir jalan.

Airin melap keringat di wajahnya dengan handuk kecil.

Dika tidak langsung mengikuti langkah Airin. Dika masih berkeliing dua putaran lagi.

Karena kebetulan tempat mereka lari, ke arah bukit. Jalannya menanjak. Membuat Airin cepat kehabisan tenaga.

Wajah Dika penuh keringat, Dika nampak begitu segar, karena wajahnya yang memerah.terpapar sinar matahari.

" Aku suka udara di sini, dingin dan sejuk. Tidak seperti di tempat tinggalku. Panas, karena polusi." Dika mengempaskan pantatnya di atas rerumputan yang masih basah oleh embun.

" Udara di sini memang masih bersih. Namanya juga alam pedesaan." ujar Airin.

" Tante Rista bilang, kamu jarang pulang. Padahal jarak tempat kamu kerja gak begitu jauh dari sini.

" Terkadang aku memang malas, pulang. Karena suasananya tidak seperti dulu lagi. Semua kawan telah menghilang pergi." pandangan mata Airin menerawang, mengikuti awan yang berarak.

" Semua memang sudah berubah. Tapi kenangan masa kecilku dulu tak pernah hilang. Aku selalu mengenangnya kemana saja aku pergi. Dan berharap suatu saat bisa pulang dan mengulang kembali kenangan itu, ha..ha... lebay." tawa Dika menghambur usai bicara.

Airin ikutan tertawa juga. Airin ingat, mereka mempunyai masa kecil yang heroik dulu.

Yang membuat seisi kampung kelabakan mencari mereka. Karena mereka menghilang satu hari. Yang kenyataannya mereka terjebak di loteng gudang rumah Dika.

Dika tertawa ngakak saat Airin mengingatkan kisah itu.

" Aku masih ingat, karena kelaparan kita keluar lewat jendela. Dan teriak- teriak tengah malam. Padahal seisi kampung tengah mencari kita di sungai.Karena mereka pikir kita tenggelam atau hanyut."

" Padahal kita sembunyi karena takut ketahuan karena mandi di sungai. Karena mau mengering- kan pakaian. Kita ketiduran. Dan entah kenapa kita terkunci dari luar, ha..ha..." *****

bersambung.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!