Di saat Airin dan Rini asyik membereskan butik yang berantakan karena ulah ketiga sobatnya. Ponsel Airin yang tergeletak di meja kerjanya tak henti berbunyi.
" Bu, ponsel ibu sepertinya bunyi sedari tadi," ucap Rini.
" Oh, iya. Tolong rapikan dulu yang itu ya, Rin," tunjuk Airin pada tumpukan kain di atas sofa.
" Baik bu. Saya susun ke kotak atau ke lemari, bu."
" Ke kotak saja, Rin." Rini mengangguk dan gegas ke sofa untuk menyusun satu persatu gaun yang di bongkar sahabat, bosnya.
" Iya, hallo mama. Selamat sore, ma." sapa Airin saat melihat nomor panggilan di hand phonenya.
" Halo sayang! Mama mau ngomong sebentar sama kamu, bisa?" tanya bu Rista, mamanya Airin
" Tentu bisa, mamaku sayang. Ada apa sih, ma. Mama kok ngomongnya pake minta izin segala?
" Siapa tau kamu lagi sibuk, sayang. Makanya mama minta izin dulu."
" Ngak kok, ma. Airin lagi istirahat nih."
" Sabtu depan kamu bisa pulang, gak? Tante Tia mau bertamu ke rumah kita. Katanya kangen sama mama."
" Maksud mama, tante Tia tetangga kita dulu itu. Yang anaknya Dika ndut itu?"
" Iya sayang. Ternyata kamu masih ingat betul sama Dika, ya. Teman masa kecilmu dulu."
" Bagaimana aku bisa lupa, ma. Sama anak gendut yang lucu itu, ha..ha.." tawa Airin pecah saat ingat sosok Dika kecil dulu. Yang suka kali ngemil permen. Makanya tubuhnya paling gendut di kelas.
Airin sudah lama sekali tak bertemu dengan mereka. Mereka pindah saat Airin naik ke kelas lima, Sekolah Dasar.
Jadi bisa saja mereka tak saling kenal lagi. Mengingat waktu yang telah berlalu, 18 tahun silam.
" Halo, kamu masih di sana gak Airin Kok mama di cuekin sih!" seru Rista di seberang.
" Sory Mam, Aku lagi berhayal kira- kira seperti apa wajah Dika sekarang, he..he," gelakku.
" Yang jelas berubahlah, Rin. Kamu pasti pangling liatnya. Jangan lupa ya, mama tunggu kamu Sabtu depan." belum sempat Airin menjawab , ibu Rista telah memutus sepihak.
Airin cuma bisa menatap gawainya dengan mata menyipit. Gak biasanya mamanya tiba- tiba memutus pembicaraan seperti itu. Tanpa basa - basi.
Hem, apa mama tengah merencanakan sesuatu ya? Tapi apa?
Ah, buat apa sih, pusing mikirin sikap mama. Bisa saja mama cuma lagi rindu. Jadi sengaja ngarang cerita biar aku penasaran, sehinnga aku mau pulang.
Soalnya bukan kali pertama mama suka ngerjain aku. Terakhir, mama bilang dia sakit. Hingga aku buru- buru pulang. Padahal saat itu, job ku lagi padat.
Eh, begitu aku nyampe di rumah, mamaku sehat tak kurang suatu apa. Dan mamapun akhirnya minta maaf, karena telah bohong.
Mama terpaksa, karena waktu itu aku sudah enam bulan gak pulang ke rumah. Padahal jarak aku tinggal dengan mama cuma makan waktu satu jam.
Tapi karena kesibukanku, aku lalai untuk pulang!
Nah, sekarang juga sudah hampir tiga bulan aku tak pulang. Bisa sajakan mama cari alasan lagi agar aku pulang, karena penasaran.
Sebaiknya aku turuti saja kemauan mama. Kasihan mama yang tinggal bersama bik Ati, di kampung. Bapak sudah meninggal sepuluh tahun lalu.
Sementara anaknya cuma dua orang saja. Bang Tiar saudara lelakiku, merantau ke Lampung. Pulkam hanya pas Hari Natal saja.
Bang Tiar sudah terlalu sibuk dengan pekerjaan dan keluarganya.
Sementara aku juga tak jauh beda dengan bangTiar. Juga disibukkan oleh pekerjaanku. Hanya saja aku belum menikah. Belum bisa membahagiakan mama dengan memberinya menantu dan cucu.
Dan jujur saja hal itulah yang membuat aku malas untuk pulang.
Karena di kampung, orang seusia aku pada sudah menikah dan punya anak satu atau tiga.
Jadi setiap aku pulang mereka akan menatapku heran.
Bahkan serbuan pertayaan yang sungguh membuat dadaku sesak, kerap kali mereka lontarkan.
Kapan menikahnya, Rin?
Kan sudah sukses, hidup di kota.
Jangan terlalu pemilih lo, Rin!
Ingat usia kamu itu, tiap tahun pasti bertambah angkanya.
Hello!
Aku juga pengen segera nikah, punya anak dan suami yang mencintaiku. Hidup bahagia dan sejahtera!
Ingin sekali Airin teriak dan mejawab semua pertanyaan itu. Agar mereka bungkam!
Aneh sekali, mereka suka kepo kehidupan pribadi ku. Padahal aku enjoy saja menikmati kesendirianku. Dengan berkarya dan hidup mandiri.
Sambil menanti jodohku datang! Toh, Tuhanlah yang mengatur semua rejeki manusia.
Yakin semua penantian itu akan berakhir indah.
" Tapi Rin, kamu itu harus tetap usaha juga dong. Bukan menunggu diam begitu saja. Biar jodoh kamu segera datang!" tohok sanubari Airin tepat di jantungnya.
" Gimana mau dapet jodoh, kalo kamunya tenggelam dengan pekerjaan mulu." lanjutnya lagi.
Kamu ikut biro jodoh aja, Rin. Siapa tau ada rejeki.
Atau terima saja lamaran duda beranak satu, yang dekat rumah kamu itu.
Wues...sudah..sudah! Stop kata- katanya. Jaga perasaanku dong! Airin menghentikan monolog hatinya. Seraya mengelus dadanya.
***
Hari Sabtu, datangnya begitu cepat. Airin mengemasi barang bawaannya untuk pulang ke rumah mama. Tak lupa oleh- oleh untuk mama, dan bi Ati.
Apel, jeruk, lapis legit, hingga kripik sambal ke sukaan bi Ati sudah lengkap semua. Dan juga telah di pak masuk karton.
Rencananya Airin akan libur satu minggu. Rini telah ia tugaskan menghandle pekerjaannya di butik. Dan kalau ada sesuatu hal penting, agar mengontaknya.
Airin menyetir sendiri Xenia putihnya, membelah sepanjang jalan Merdeka dengan santai. Satu jam berikutnya , Airin telah sampai di rumah masa kecilnya.
" Sayang, kamu akhirnya pulang juga. Mama kangen berat sama kamu." bu Rista memeluk tubuh putrinya erat.
Meluapkan rasa rindunya selama ini. Ada air bening merebak di netra mata mamanya. Membuat rasa bersalah di hati Airin begitu dalam.
" Maafin Airin, ma. Karena telah mengabaikan mama." ucap Airin terbata. Kerut tipis menghiasi kening mamanya yang sudah berusia setengah abad lebih.
" Ngomong apaan sih, sama mama. Kamu itu putri kebanggaan mama. Jangan ngomong seperti itu lagi, ya. Ayo, masuk ke dalam." bu Rista mengandeng tangan Airin masuk ke rumah.
Pagi harinya!
Di rumah Airin, kedatangan tamu sahabat lama bu Rista.
Tante Tia dan putranya, Dika. Teman masa kecil Airin.
Sungguh pertemuan yang mengharu biru. Mengingat mereka yang telah lama berpisah. Tante Tia datang untuk ziarah ke makam bapak ibunya yang telah lama meninggal.
Ini adalah ke datangan mereka yang pertama, sejak kepindahan mereka delapan belas tahun yang lalu.
Di temani Dika yang sudah dewasa, dan berubah jadi sosok pria ganteng. Dika yang dulunya gendut sekarang jangkung. Mungkin hanya senyum dan tawanya sajalah yang tersisa, yang mengingatkan Airin akan Dika. Selebihnya, Airin tak ingat apa- apa lagi.
Ada indikasi, sepertinya kedatangan Tante Tia menyiratkan sesuatu. Nampak sekali sikap tante Tia yang membicarakan perihal Dika.
Kerjanya apa dan di mana. Lulusan dari mana. Berapa penghasilan dan kesuksesan lainnya yang telah di raih Dika. Membuat kepala Airin pusing dan bawaannya ngantuk.
Tapi Airin tetap berusaha bersikap sopan, tak ingin tamu tersinggung akan sikapnya.
Tapi jauh dalam lubuk hati Airin, dia paling tak suka cerita seperti ini.
Pamer! Begitulah celetuk hati Airin
Akhirnya Airin pamit, dan diam- diam pergi ke belakang. Memberi makan ayam- ayam peliharaan mamanya.
Ternyata Dika juga, diam- diam mengikuti langkah Airin. Saat di lihatnya Airin memberi makan ayam, Dika menebak. Pasti Airin bosan mendengar cerita mamanya, soal dirinya.
Dari tadi juga Dika merasa tak enak karena , mamanya terlalu berlebihan cerita tentang dirinya.
Tapi Dika tak kuasa menghentikan cerita mamanya , meski Dika berkali-kali batuk memberi kode.
Toh, mamanya tetap tak mengerti juga.
" Hai...ayam- ayamnya sehat, ya?" puji Dika basa-basi.
" Egh...Iya. Peliharaan mama. Mama sangat telaten merawat ayam- ayam ini." sahut Airin kaget saat.melihat kemunculan Dika di kebun belakang.
" Di sini lebih, nyaman. aku suka sekali alam pedesaan. Udaranyanya bersih dan segar."
" Kamu sudah punya pacar, gak Rin?" tanya Dika to the point, tanpa basa- basi.
Airin kaget!
Airin tak menyembunyikan ekspresi kagetnya. Matanya membulat, hampir terloncat. Bagaimana
Dika bisa bertanya segamblang itu?
Seolah ngomongin jagung rebus, suka apa tidak.
Mengingat mereka yang sudah seperti orang asing, karena sudah lama tak bersua. Meski mereka adalah teman bermain semasa kecil.
Itukan sudah delapan belas tahun berlalu!
So, semuanya sudah banyak berubah! Fisik saja sudah banyak berubah, apa lagi soal hati dan pikiran.
Airin membatu, benar - benar pusing. Padahal masih sebuah pertanyaan. Apa yang salah?
Itu tadi. Airin tak suka hal privasi seperti itu, jadi topik pembicaraan seperti membahas kacang rebus saja.
Memang kenapa, kalau sudah punya pacar atau tidak? Kan jawabnya akan merembes ke mana- mana.*****
bersambung.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 29 Episodes
Comments