Bab 4 Ungkapan sebuah rasa

Airin terpingkal , mendengar cerita Dika. Yah, kenangan itu memang masih melekat kuat di dalam ingatannya.

Kala itu mungkin mereka masih kelas tiga atau empat Sekolah Dasar. Lalu mereka terpisah karena Dika dan keluarganya pindah ke kota J. Tepatnya delapan belas tahun yang lalu.

Dan kini mereka di pertemukan lagi, karena Dika dan ibunya pulang kampung untuk ziarah ke makam kakeknya.

Tapi sekarang semua tampak asing. Apalagi kepulangan mereka karena ada niat lain. Yakni ingin melamar Airin! Sesuatu hal yang tidak pernah hadir dalam benak Airin.

Dulu mereka memang sahabat, dan sekarang di mintain untuk jadi istri. Meski Airin gak punya kekasih. Tapi permintaan itu membuat hati Airin gak enak.

Di usianya yang sudah dua puluh delapan, memang sudah wajar untuk menikah. Apalagi ini di kampung pula.

Sementara Airin masih asyik- asyik saja menjomblo. Sudah jadi bahan gosip di kampungnya.

" Hei, kok malah bengong sih?" tiba -tiba Dika mengibaskan tangannya di depan wajah Airin.

Airin tersadar dari hayalannya. Dan menatap Dika jengah, karena sorot mata Dika yang menatapnya penuh arti.

" Ah, kamu ngagetin aku saja." Airin berdiri menghindar dari tatapan Dika.

" Pulang yuk!" Dika cuma geleng kepala menatap punggung Airin yang melanjutkan larinya, arah pulang ke rumah.

Padahal tadi Dika berharap akan bisa bicara dari hati ke hati denga Airin. Lagi- lagi Airin menghindar.

Dika mengejar langkah Airin dan kini mereka lari bersisian.

" Kita mampir di warung mak Ziah yuk. Aku sudah kangen dengan masakan lontong mereka." ajak Dika.

" Aduh, maaf ya Dika, aku gak bisa. Mau buru- buru ke kota sebentar. Tadi Rini nelpon, ada hal penting katanya." tolak Airin halus. Padahal dia cuma cari alasan.

" Airin, kenapa sih kamu menghindari aku terus?" hadang Dika tepat di depan Airin.

" Menghindar kenapa sih, aku gak ngerti," sahut Airin.

" Airin jujur saja, kamu tak suka melihat aku, ya? Aku yakin kamu sudah tahu apa maksud kedatangan kami. Aku tau semua ini terlalu mendadak! Tapi sungguh aku serius hendak meminangmu jadi istriku, Airin." tatap mata Dika begitu tajam menghujam. Airin menghindari tatapan itu.

" Kamu ngomong apaan sih, Dika. Jangan membuatku bingung," sahut Airin jengah.

" Kamu pasti mengerti ucapanku, Ai. Aku butuh jawaban kamu, yang sejujurnya."

Glegk!.

Airin menelan salivanya susah payah. Pernyataan Dika sangat sulit untuk ia jawab sekarang. Banyak hal yang harus ia pertimbangkan.

Sekalipun mereka saling kenal. Tapi itu dulu, saat usia masih belia dan polos. Persahabatan mereka dulu tak pernah membersitkan sesuatu hal pun di benak Airin, hingga ia dewasa saat ini.

Pertemanan mereka hanyalah hal yang biasa saat usia bocah. Bagaimana Dika punya keinginan hendak melamarnya?

Padahal mereka serasa asing satu sama lain. Setidaknya itu yang Airin rasakan.

Delapan belas tahun mereka berpisah. Tanpa ada komunikasi yang menjembatani. Lalu tiba- tiba mereka hendak menikah. Sungguh sebuah suasana yang menyeret Airin dalam kebingungan.

Perkara menikah bukanlah sesuatu hal yang sepele. Pernikahan adalah dua penyatuan hati dan jiwa yang berbeda dalam ikatan yang sakral.

Yang di dalamnya di butuhkan komitmen, untuk saling berbagi rasa. Sementara dalam hatinya tak memiliki rasa itu. Semua itu terasa aneh, bagaimana menjawab dan mejelaskan semua itu. Tanpa ada hati yang terluka nantinya?

Bagaimana Dika begitu gamblang menyatakan semua itu, tanpa menyertakan hatinya?

" Maaf Dika, aku sungguh tak mengerti arah ucapanmu. Maksudku, bagaimana kamu semudah itu menyatakan keinginanmu. Sementara antara kita selama ini tak pernah saling menyatakan perasaan.

Kita terpisah delapan belas tahun lamanya dan tiba- tiba saja setelahnya kita bertemu. Dan kamu menyatakan keinginanmu begitu saja. Seolah- olah kamu bicara ...maksudku, kamu gamblang sekali mengutarakannya.

Padahal antara kita tak pernah ada ikatan apa- apa. Aku benar- benar bingung!"

" Maaf Airin. Aku tak bermaksud tak sopan. Tapi aku sudah suka sama kamu sejak dulu. Dan kenangan masa kecil kita itu sangat berkesan bagiku. Karena itulah aku datang ke sini. Dan berharap bisa melamarmu," ucap Dika sungguh.

Pengakuan itu sungguh mengejutkan hati Airin. Tanpa memberi jawaban pada Dika, Airin berlari meninggalkan Dika.

Airin butuh waktu memikirkan semua itu. Airin tak ingin gegabah bertindak, hanya karena usianya .

Baginya sebuah pernikahan adalah hal yang harus di bahas dengan matang. Dengan orang yang di kenal dan di cintai tentunya.

Bukan dengan orang asing, meski pernah kenal di masa lalu. Karena bentang jarak, waktu dan tempat seseorang bisa saja berubah.

Apalagi ini kenal waktu masa kecil saja. Tentu akan banyak perubahan di antara mereka.

Dika akhirnya berhasil menjejeri lari Airin. Nafasnya sedikit ngos- ngosan.

" Ai, dengar dulu aku. Aku harap kamu tidak benci karena ucapan ku tadi."

Airin menghentikan larinya. Dan mencoba mengatur irama nafasnya yang memburu.

Airin menatap lekat wajah Dika. Yang di tatap tidak menghindar dan balas menatap. Jadinya mereka saling tatap.

Sungguh, wajah tampan Dika pasti di gandrungi banyak cewek di luar sana. Postur tubuh Dika yang jangkung. Hidung mancung dan tatapan yang lembut.

Belum lagi pekerjaannya yang sebagai Ceo di perusahaan yang terkenal. Apa lagi kekurangannya. Sosok Dika malah nyaris sempurna untuk jadi calon suami.

Dika pasti menantu idaman para orang tua yang memiliki anak gadis.

Duh, tapi kenapa hatiku tak tergetar sedikit pun. Saat pertama kali bertemu Dika, setelah sekian lama tak bersua.

Kenapa tak ada sedikitpun rasa di hatiku, saat Dika bilang dia ingin menjadikan aku ratunya?

Monolog Airin. Dia benar- benar bingung.

Mengapa kamu menatap aku seperti itu Ai?

Binar matamu begitu tawar memandangku. Tak adakah sebersit rasa simpatikmu padaku. Padahal aku sangat berharap kamu mau jadi ratu dalam kehidupanku. Monolog hati Dika, galau.

Tin..tin....

Suara klakson mobil membuyarkan monolog hati Airin dan Dika. Keduanya sama- sama kaget. Bahkan Airin hampir saja jatuh, kalau saja Dika dengan gerak refleks tak menahan tubuh Airin.

" Kalau pacaran jangan di jalan, woi..." maki supir angkot pada Dika dan Airin.

" Huff! " spontan Airin mendorong tubuh Dika menjauh darinya. Lalu melanjutkan kembali larinya, tanpa peduli sama Dika.

Dika hanya geleng kepala melihat tingkah Airin. Sungguh, Dika merasa penasaran akan sikap Airin, yang menolaknya mentah- mentah.

Airin tiba di rumah lebih dulu. Mama Airin dan Mama Dika tengah duduk di teras. Keduanya mengobrol asyik. Sambil minum teh dan camilan gorengan.

" Eh, nak Airin sudah pulang. Mana Dika?" seru tante Tia. Sedikit heran kenapa mereka Airin dan Dika tidak pulang bareng.

" Masih belum nyampe tante. Tadi kami taruhan lomba," sahut Airin iseng. ******

bersambung

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!