Sudah seminggu sejak mas Adam tinggal di rumahku, rasanya hati ini sedikit terobati hari demi hari, walau terkadang hati ini akan tetap terasa pedih ketika mendengar mas Adam yang mengirimi kabar kepada wanita itu.
Apa aku sudah rela untuk di madu?
Entahlah, sebenarnya hati ini masih enggan menerima semua itu, namun aku pun juga tak mau kehilangan mas Adam.
Dan kini, aku tengah mencoba menjalani hari-hariku selayaknya dulu, mencoba mengabaikan semua rasa gundah dalam hati ini.
"Mas masih gak berangkat kerja?" Tanyaku kepada mas Adam yang tengah asik bermain play station bersama Ali di ruang keluarga.
"Mas masih cuti, lagian udah lama juga mas gak ambil cuti kan." Jawab mas Adam yang masih fokus ke layar tv.
Aku pun hanya bisa menggelengkan kepalaku sembari tertawa kecil melihat tingkah suami dan anakku yang fokus bermain Play station.
Aku pun segera beranjak menuju dapur berniat membuat cemilan untuk mas Adam dan Ali. Rasanya kehidupanku yang dulu mulai kembali dengan perlahan.
Seminggu ini aku mulai melupakan masalah yang sudah sebulan lalu ini membuat pikiranku kacau.
Saat aku sudah siap dengan sepiring apel di tanganku, aku pun berjalan kembali menuju ruang keluarga. Namun, aku tak mendapati mas Adam disana, hanya ada Ali yang masih terduduk anteng.
Sepiring apel pun ku simpan di meja samping Ali. "Serius amat anak Umma ini, nih sambil nyemil apel." Ucapku pada Ali sembari mengelus puncak kepalanya.
"Hehe, iya Umma, makasih." Balas Ali dengan cengiran khasnya.
Aku pun mencoba mencari keberadaan mas Adam, di kamar, di halaman belakang rumah dan di ruangan-ruangan lainnya pun nihil. Sampai ruangan terakhir yang belum ku coba adalah ruang tamu.
Aku berjalan dengan santai, mencoba menebak apa yang sedang suamiku lakukan di sana. Sampai-sampai ia meninggalkan Ali sendirian bermain play station di dalam.
"Mas," Teriakku dengan nada lembut memanggil namanya.
Bukannya mendengar jawaban dari mas Adam, samar-samar aku malah mendengar suara perempuan.
"Aku kan kangen sama kamu mas!"
Siapa? Batinku.
"Kenapa sih! Aku kan juga istrimu mas! Aku juga butuh perhatianmu! Sudah seminggu ini aku hanya diam sendirian di apartemen!"
Aku yang mendengar suara itu semakin mengecilkan langkahku. Hati ini yang awalnya sudah baik-baik saja kini menjadi ketakutan.
Takut jika saja hati ini akan kembali terluka. Dan benar saja, ketika aku sampai di ruang tamu, kulihat mas Adam yang kini tengah berpelukan dengan wanita yang tak lain adalah Erika.
Lagi dan lagi, hati ini masih belum bisa menerima semua kenyataan. Aku yang tahu fakta bahwa wanita itu adalah istri mas Adam, tetap tak ikhlas melihat mas Adam berdekatan dengannya.
"Aisyah!" Ucap mas Adam ketika melihatku yang sudah berdiri di belakangnya.
Air mata yang sudah berada di pelupuk mataku ini kucoba tahan agar tak jatuh. Aku mencoba tersenyum walau sakit.
Aku harus bisa mengerti bahwa mas Adam juga tak menginginkan semua ini terjadi. Lagi pula mau tak mau aku harus mulai mencoba terbiasa dengan hal seperti ini.
"Iya mas, ada tamu ternyata." Balasku sembari mencoba mengusap kecil pelupuk mataku.
Erika yang kini tengah memeluk manja mas Adam, dengan enggan melepaskan pelukannya, walau ia sudah melihatku yang kini berjalan mendekat ke arahnya.
Hatiku terasa sangat sakit kembali melihat wanita yang juga berstatus sebagai istri mas Adam, memeluk mas Adam dengan sangat manja.
Merasa tak rela, namun kenyataan menyadarkan ku, bahwa ia juga berhak atas suamiku.
Mas Adam mencoba melepaskan pelukan Erika, namun terlihat dengan jelas Erika tak mau melepaskan pelukannya itu.
"Erika, lepas dulu." Ucap mas Adam kepada Erika.
"Kenapa sih mas! Lagian juga biasanya kamu suka-suka aja aku peluk gini!" Ucap Erika dengan nada manjanya.
Aku seakan tak Erika hiraukan. Ya Allah, apa bisa hati ini sabar menghadapi semua ini.
"Tapi, lepas dulu yah." Mas Adam mencoba membujuk Erika kembali, dengan raut wajahnya yang sudah pucat karena mungkin takut jika aku akan memarahinya.
Memang benar rasanya ingin aku mengeluarkan amarahku. Tapi, bagaimana mungkin, rasanya aku tidak bisa.
"Kenapa sih mas! Kalo di rumah aja, kalo aku peluk gitu kamu pasti langsung ajak aku ke kamar! Kenapa disini malah mau lepas sih!" Balas Erika yang kini semakin frontal dengan kata-katanya.
Aku tahu wanita itu kini ingin membuatku merasa cemburu dan marah, namun apa harus seperti ini?
"Aku masuk dulu yah mas, kasian Ali sendirian di dalam." Ucapku yang enggan untuk semakin lama melihat tingkah kekanak-kanakkan dari wanita itu.
Aku yang berjalan meninggalkan mereka berdua pun hanya bisa terus menerus mengucap istighfar dalam hati, mencoba meredakan api yang kian memanas di hati ini.
Aku pun mendudukkan bokongku di samping Ali. Air mata yang tak diundang pun datang dengan sedirinya, membasahi pipi ini.
Rasa sakit yang ku coba enyah kan, rasa sabar yang ku coba besarkan, tak dapat menahan semua sakit yang kembali datang ketika melihat suamiku bersama wanita lain yang juga berstatus sebagai istrinya.
Tekad ku untuk mencoba mengerti kalah dengan rasa sakit ini yang entah mengapa tak bisa ku hindari.
Tak lama kulihat mas Adam yang berjalan masuk bersama Erika.
"Aisyah," panggil mas Adam kepadaku.
Aku pun menoleh dan mengangguk kecil padanya, seakan menjawab apa yang ia inginkan.
"Bisa kita bicara sebentar di depan?" Tanya mas Adam dengan hati-hati kepadaku.
"Mm, tentu, tunggu sebentar." Balasku.
"Ali tunggu sebentar yah, Umma mau ngobrol dulu sama Abi di depan." Ucapku pada Ali, sembari mengecup keningnya.
Mencoba menguatkan diri dengan melihat buah hatiku dengan mas Adam.
"Iya Umma, eh itu siapa Umma?" Balas Ali sembari bertanya akan kehadiran seseorang yang tak ia kenali.
Aku mencoba memejamkan mataku, mencoba berfikir apa yang harus ku katakan pada Ali.
"Hai! Ih gemesnya, kamu Ali yah, kenalin aku, hmm, bunda panggil aku bunda Erika yah, aku ini istrinya Abi kamu, jadi mulai sekarang aku juga bunda nya Ali, iya kan!" Timpal Erika tiba-tiba yang kata-katanya membuatku dan mas Adam terbelakak.
"Astaghfirullah!" Ucapku lirih.
Bagaimana bisa ia berkata seperti itu kepada anak usia 5 tahun.
"Bunda! Gak mau! Ali gak mau punya bunda! Umma! Gak mau! Ali gak mau! Ali cuman mau Umma!" Teriak Ali sembari melemparkan stik PS nya ke arah Erika.
"AWW! Ih dasar yah anak nakal! Main lempar-lempar aja!" Ucap Erika dengan nada kesal kepada Ali.
Aku pun dengan cepat meraih dan merangkul anakku itu. Ingin rasanya aku menampar wajah Erika yang sudah membuat anakku ini menangis.
"Ssstt, udah yah sayang, gakpapa, ini Umma, yah sudah." Ucapku mencoba menenangkan Ali.
"ERIKA!" Mas Adam pun yang kulihat tengah menatap Erika dengan wajah merahnya menahan amarah.
"Apa sih mas! Apa salah aku bilang gitu! Lagian bener kan! Dia anak kamu yah berarti anak aku juga!" Balas Erika dengan santai.
Hatiku yang tak terima rasanya mendengar ia mengucapkan bahwa anakku adalah anaknya juga.
"KELUAR!" Ucapku dengan nada yang menahan amarah.
"Aisyah," mas Adam mencoba memanggilku, ia tahu bahwa aku kini tengah menahan amarah yang amat sangat besar.
"Aku mohon bawa dia keluar dari sini mas!"
"Hah! Dasar! Main usir-usir aja! Makannya kalo jadi ibu itu yang bener! Mau gak mau dia juga harus tahu kan aku ini juga berhak jadi ibunya karena aku ini ISTRI nya mas Adam! Ajarin anaknya tata Krama! Masa main lempar lempar barang aja! Gak sopan tau!" Timpal Erika yang semakin membuatku naik pitam.
Aku pun berdiri sembari memangku Ali yang masih menangis.
"AKU MOHON KAMU KELUAR DARI RUAMAHKU INI SEBELUM AKU BENAR-BENAR MENGUSIR KAMU DENGAN CARA YANG TIDAK AKAN PERNAH KAMU PIKIRKAN!"
Tatapan tajam ku arahkan kepadanya. Sakit hati ini mendapati nasehat yang terdengar seperti ejekan, dari wanita yang sama sekali tak tahu menahu tentang cara mengurus anak.
Bagaimana bisa hatiku mencoba sabar ketika aku di kata-katai sebagai ibu yang tidak benar dalam mendidik anakku.
Mas Adam yang sudah paham betul bahwa aku kini tengah dalam amarah yang sangat besar, mencoba menarik Erika keluar dari rumahku.
Kulihat wanita itu terus berteriak-teriak tidak jelas yang semakin membuat hati ini memanas.
"Astaghfirullah, astaghfirullah," ucapku terus menerus.
Aku yang tadinya berdiri sembari memangku Ali, mencoba berjalan menuju kamar dan membaringkan Ali di ranjang.
"Ali sayang, sudah yah, Umma disini." Ucapku padanya.
"Umma disini sayang, Ali cuman punya Umma, ini Umma nya Ali," aku terus menerus memeluk anakku yang masih terisak dalam tangisnya.
Anak berumur 5 tahun yang tak tahu apa-apa, yang hanya tahu tentang keluarganya yang bahagia, tiba-tiba dipaksa untuk mengetahui bahwa Abi nya mempunyai istri lain.
Bagaimana bisa anak ini tidak menangis seperti ini.
"Ali sayang, Umma tahu Ali kesal, tapi Umma ada disini, Ali boleh nangis sepuasnya Ali ko, dan Umma akan tetap menemani Ali disini." Ucapku lagi mencoba membuat Ali tahu apa itu rasa kesal, dan membuatnya tahu bahwa menangis itu tak apa.
Lepaskan saja, rasa kesalmu itu, dan kini aku pun ikut menangis, melepaskan rasa kesal dan amarahku, bersamaan dengan putra sulung ku ini.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 48 Episodes
Comments
amalia gati subagio
munagik mutahan 11 12 pembual narasi ajah penuh ayat syariat, serakah
2022-11-10
0