"Hei... Mbing... kamu yang bersihkan kelasnya..."
Lengan Rilly ditarik masuk lagi ke dalam kelas dengan cara yang kasar oleh dua orang cewek, Lorry dan Debra, duo penguasa kelas ini yang menjadi teman kelompok kebersihan kelas yang bertugas hari ini.
"Giliran kalian... masa aku terus yang melakukannya sendiri..."
Rilly menjawab lirih. Lorry hanya mencibir melewati dirinya, sementara Debra menirukan ucapannya tapi dengan suara sengau, lalu menyambung dengan kalimat...
"Kamu digariskan untuk melakukannya sendirian... paham?"
Bahu Debra itu menyeruduk kasar bahu Rilly, lalu meninggalkan kelas dengan pandangan mengancam.
Rilly, gadis setinggi 163 sentimeter ini punya nama yang indah dan bagus, tapi nasibnya tak sebagus namanya. Prestasinya tak sebrilian namanya, rangking kelas selalu masuk tiga besar dari belakang, dia sama sekali tak cocok menyandang nama itu.
Hidup juga tidak secerah arti namanya, dia punya kekurangan fisik yang nampak jelas, ada celah di bibirnya, istilah yang populer adalah bibirnya sumbing. Seharusnya kekurangannya bisa dioperasi, karena bukan sebuah operasi yang sukar untuk derajat celah bibir miliknya, bahkan negara memfasilitasi dengan operasi gratis, tapi demikian adanya dia sekarang, menjadi gadis yang selalu dibully bahkan di lingkungan rumahnya sendiri.
Selesai membersihkan kelas Rilly meninggalkan sekolah dengan langkah gontai. Masih tampak beberapa siswa di halaman sekolah, dia melewati mereka sambil menundukkan kepala.
Rilly hampir terjungkal saat melintasi sebuah halaman kosong yang sangat besar, seseorang menyeruduk punggungnya dengan keras dari belakang.
"Aww..."
Seorang cowok berseragam putih abu-abu, wajah penuh keringat dengan rambut berantakan sedang mengejar layangan putus bersama seorang bapak yang menggunakan setelan PSH warna hitam.
Cowok itu hanya menoleh sejenak lalu melanjutkan larinya, sementara bapak berseragam resmi itu berhenti sejenak saat melihat Rilly setelah berhasil menyeimbangkan tubuhnya memijat bahunya serta punggungnya yang kesakitan.
"Maafkan nak Brill ya..."
Si bapak menatap prihatin pada gadis itu tapi segera meneruskan mengejar anak yang harus dia jaga dengan jiwa dan raganya.
"Nak Brill... nanti kita buat yang baru aja, gak usah dikejar... nanti om buat yang baru..."
Rilly hanya menatap sedih dua orang yang sudah menjauh tapi saling kejar objek yang berbeda. Rilly mengeluh pendek menahan sakit di bagian bahu dan punggungnya. Cowok itu memang tidak sengaja menabrak dirinya tadi karena pandangannya tertuju pada layangan yang dikerjarnya. Sekarang memang musim layangan di sini, tapi agak aneh melihat anak dengan strata hidup seperti Brill melakukan itu, sementara anak lain sekarang lebih tertuju pada mainan di ponsel mereka.
Rilly kenal cowok itu tentu saja, mereka sekelas sejak kelas sepuluh, nama di absen berurutan, beberapa kali sekelompok dalam pembuatan tugas, tapi jarang sekali atau malah tidak pernah mereka berbicara satu dengan yang lain. Mereka hanya sekelas, tak bisa disebut teman sekelas, lagi pula siapa yang mau berteman dengan gadis seperti dirinya.
Rilly mempercepat langkahnya, banyak tugas menantinya di rumah, terutama oma Betsy. Di kejauhan dia masih bisa menangkap sosok Brill yang sekarang masuk ke rumah dinas, jalan pintas ini jalan terdekat untuk pulang ke rumah yang ada di jalan yang sama dengan rumah dinas bupati.
Tiba di rumah berhalaman luas penuh pohon dan bunga yang ditanam sembarangan tanpa mempertimbangkan estetika, Rilly semakin mempercepat langkahnya.
"Lagi-lagi kamu terlambat!"
Suara lantang bertekanan tinggi menyambut dirinya di pintu samping.
Om Emil berkacak pinggang dengan tatapan menusuk ada di depan pintu.
"Siang om... maaf, hari ini jadwal membersihkan kelas..."
Rilly berdiri dengan wajah takut di teras, dia tak berani masuk jika om Emil masih bicara.
"Cepat masuk, urus mami! Sudah sejak pagi dia pup, gantikan diapersnya bau busuk sudah menyebar sampai ke sini. Lain kali... jangan berangkat sekolah sebelum mami pup!"
"Baik om..."
Rilly masuk dengan langkah lemahnya. Berangkat sekolah gak sempat sarapan, di sekolah tidak mungkin membeli jajanan sekedar penganjal perutnya, dia tak pernah dibekali uang jajan. Sekarang dia harus membersihkan oma Betsy, itu berarti dia akan lanjut mengerjakan pekerjaan yang lain, semoga sempat mengisi perut.
"Siang oma..."
"Rilly... oma sudah bau sekali... oma sekalian mandi..."
"Iya oma... sabar sebentar ya, Rilly siapin air panas dulu..."
Rilly senyum untuk oma Betsy. Tanpa mengganti seragamnya, hanya meletakkan tas berisi buku di sebuah kursi di kamar oma Betsy, Rilly masuk ke kamar mandi, menyalakan saklar untuk menghidupkan water heater listrik dan menyiapkan semua kelengkapan mandi oma Betsy. Setelahnya dia membuka jendela dan menyibak gorden membiarkan udara berganti.
Untuk hal sederhana sekedar membuka jendela saja, penghuni rumah ini yang notabene anak-anak dan cucu si oma Betsy enggan melakukannya. Tadi pagi saat mau berangkat sekolah oma Betsy masih mengeluh kedinginan sehingga dia membiarkan jendela tetap tertutup.
"Oma mau pakai baju apa?"
Oma yang terbaring tak berdaya di tempat tidur menggerakkan kepala melihat Rilly yang tengah membuka lemari baju.
"Oma mau pakai daster bunga-bunga merah pemberian Isye..."
"Oma kangen tante Isye ya..."
Rilly bertanya sambil mencari baju yang dimaksud oma Betsy.
"Oma kangen Isye dan Irma..."
Oma Betsy menjawab dengan airmata yang mulai menggenang di pelupuk mata saat menyebutkan dua anak perempuannya yang tinggal di kota berbeda.
"Kalau begitu, Rilly carikan juga cardigan putih yang dikasih tante Irma... selesai oma mandi, makan dulu baru kita telpon tante Isye ya oma..."
Oma Betsy mulai menangis, tubuh tua renta tak berdaya itu berguncang. Fisiknya terbatas sekarang sejak terjatuh di kamar mandi, tulang panggulnya retak dan tak bisa pulih seperti sedia kala karena faktor usia. Dia pasrah hanya dirawat seorang anak SMA, bukan seorang perawat.
"Jangan nangis dong oma... nanti Rilly dimarahin tante Isye..."
"Iya... iya..."
Oma mengeringkan sendiri airmatanya. Setelah pakaian ganti oma Betsy siap, Rilly memgambil kursi roda. Pintu kamar mandi telah dibuat lebih lebar sehingga memudahkan oma Betsy ke kamar mandi dengan kursi roda, memudahkan juga buat Rilly untuk membersihkan si oma. Jam mandi oma Betsy hanya sekali sehari, itupun setelah Rilly pulang sekolah.
Dengan cekatan Rilly melakukan tugasnya, tidak ada kata jijik lagi karena hampir dua tahun melakoni ini. Tadinya oma Betsy diurus oleh perawat khusus, tapi kemudian Rilly yang diharuskan mengurus oma.
Rumah oma Betsy ini ditinggali tante Ineke, si anak bungsu oma Betsy. Tante Ine seorang PNS, suaminya membuka bengkel motor di jalan utama. Tante Ine dan Om Emil punya tiga orang anak, yang tertua kuliah di ibukota negara, dua lainnya ada di sini satu sekolah dengan Rilly tapi berbeda kelas. Ada anak tante Irma juga di sini, sudah menikah dan punya bisnis kafe di tepi pantai.
Di rumah besar ini Rilly hanyalah anak pungut oma Betsy, seorang anak yang dianggap membawa sial karena fisiknya.
Ada kebiasaan dan kepercayaan yang masih dipegang sekelompok orang di daerah ini, jika ada anak yang lahir kemudian sakit-sakitan, anak itu akan 'dibuang' atau dibesarkan oleh orang lain supaya anak itu bisa tumbuh sehat. Rilly sejak bayi sakit-sakitan, dan oma Betsy meminta untuk merawat dirinya. Tapi hanya oma Betsy yang memperlakukannya dengan baik, lainnya memperlakukan dia sebagai pembantu di rumah ini.
Dia sering bertemu orang tua kandungnya, tapi tak pernah sekalipun dia melihat sikap penerimaan atau pun sekadar pengakuan bahwa dia adalah salah satu anak mereka.
.
Brillianty Jeanetta Tendean...
Namanya indah sebenarnya, semoga ke depannya garis hidupnya bisa seindah namanya...
.
🌻
.
Hi....
Jika suka, seperti biasa aku minta dukungannya 😁🥰
.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 61 Episodes
Comments
Sri Astuti
prihatin sekali utk Rilly
2023-07-05
0
Putri Minwa
cerita yang menarik thor
2022-12-11
1
T.N
stop bullying meski di keluarga sendiri tp itu terlalu menyakitkan disaat korban butuh dukungan dr org"terdekat
2022-08-28
1