"Assalamu'alaikum." Terdengar suara bariton dari arah pintu rumah Riri. Wanita yang sedang sibuk membereskan mainan kedua putra-putrinya itu pun beranjak dan menuju ke depan.
Saat wanita yang masih tetap cantik itu membuka benda di depannya, terlihat adik iparnya berdiri di sana.
"Kaivan? Tumben sendirian mana papi sama mami?" tanya Riri sambil melongokkan kepalanya ke arah lain.
"Ish, nggak ada, Kak. Ini aku disuruh Bang Kavin buat ngasihin ini." Pria tinggi itu memberikan paper bag ke arah sang kakak lalu masuk ke dalam dan duduk di sofa. Tertera nama 'Butik Klarisa' di paper bagnya.
"Oh, iya makasih ya, ini pesenan baju Sera, besok dia main ke sini. Gimana kerja kamu oke, kan?" Riri menjelaskan dan bertanya tentang status baru adik iparnya yang sudah bekerja di perusahaan sang papi.
"Enakan kerja sama Bang Kavin, Kak. Banyak ketawanya, kerja di perusahan papi main laptop mulu pusing aku," jawab pria jangkung itu yang menutupi wajahnya dengan bantal sofa.
"Ish, kerja di mana saja sama, Kai. Oh iya,kenapa masih pagi udah ke sini?" Riri sepertinya baru menyadari bahwa sekarang adalah jam kerja.
"Iya, aku izin tadi sama Bang Dava, mau ke tempat Bang Kavin dulu, eh malah disuruh ke ngambil baju," jawab Kaivan dengan posisi yang sama.
"Ya udah nggak apa-apa deh, bagus jadi Kakak nggak usah ke butik." Riri terkekeh geli melihat adik iparnya yang kini sudah terlihat dewasa.
"Oh iya, Ale sama Aksa masih di sekolah ya?" Kaivan menyimpan bantal sofa di wajahnya ke tempatnya, lalu membenarkan posisi duduknya menjadi tegak.
"Iya, kenapa?" Riri menoleh sambil membereskan meja.
"Nanti biar aku yang jemput, ya. Sekarang aku mau minta makanan dulu deh, Kak Riri pasti udah masak, kan?"
"Udah dong sana gih ke dapur, tanya ke Bi Sumi, biar dia sekalian nyiapin. Kakak mau beresin ini dulu." Riri berucap tanpa menoleh ke arah adik iparnya.
Akhirnya, Kaivan pun beranjak dari duduknya menuju dapur. Pria itu memang sudah biasa jika mampir ke rumah sang kakak, pasti langsung meminta jatah makan atau pun hanya sekedar ngemil.
Pria itu baru kembali setelah satu jam berada di rumah sang kakak.
Beberapa hari kemudian, Fimi terlihat sibuk merancang beberapa baju untuk kantor Pramudya. Butik itu dibangun bersama sang kakak. Namun, baru saja berdiri sekitar satu tahun, sang kakak pergi untuk selama-lamanya. Jadi Fimi pun merintis sendiri butik itu dan memberi nama Klarisa, nama panjangnya yang dibuat oleh sang kakak.
"Nes, kamu tolong pesankan makan siang ya," ucap Fimi pada asistennya yang juga sahabatnya.
"Oke, kamu mau makan apa hari ini, Bos?" jawab Nesa sambil meregangkan otot-ototnya yang terasa kaku karena seharian membantu membuat rancangan dan tentu saja duduk di kursi selama berjam-jam.
"Yang biasa saja," jawab Fimi tanpa menoleh.
"Nasi padang deh ya, jangan makan mie ayam mulu, Fi. Aku lagi pengen nasi padang pakai rendang ini," saran Nesa.
"Iya udah apa saja yang penting makan, jangan lupa sambelnya banyakin ya," titah Fimi.
"Oke." Nesa pun berlalu dari ruangan itu.
Kini tinggal Fimi sendirian masih berkutat dengan tabnya. Wanita itu, benar-benar mencintai pekerjaannya. Apalagi saat ini, ia memiliki tanggung jawab penuh kepada putra kecilnya, Firdaus Iskandar.
"Andai kakak masih ada, aku nggak akan mungkin menjadi seperti ini, aku pasti masih manja," gumamnya sambil melihat sebuah foto wanita yang duduk di sofa bersama dirinya.
"Makasih untuk semuanya, kak. Aku sayang kakak." Wanita itu mencium foto tadi.
Tak berselang lama, Nesa sudah kembali dengan dua piring di tangannya.
"Makan dulu, Fi. Biar kuat ngadepin kenyataan," ucapnya dengan raut wajah yang lucu. Hal ini sukses membuat Fimi melempar bantal sofa ke arah Nesa.
"Ish, bener kali, untung piringnya nggak jatuh," omelnya sambil menyiapkan makan siang mereka di meja.
Fimi pun menghampiri sahabatnya dan duduk di sofa. Wanita cantik yang mencepol rambutnya itu mulai menyuapkan makanannya.
"Eh, udah lama nggak ajak Fir ke sini, gue kangen banget tuh sama bocah bawel itu," tanya Nesa di sela makannya.
"Ssstt." Fimi hanya menempelkan satu telunjuknya di bibir.
Wanita itu tidak suka jika makan sambil mengobrol, ia selalu berkata habiskan dulu makannya lalu kita bisa berbincang sepuasnya. Selain etika juga, karena Fimi merasa makan itu harus dinikmati dan juga tidak membuat kegiatan itu menjadi lama, sehingga kita tidak membuang-buang waktu.
Nesa hanya mengangguk, wanita itu lupa kebiasaan atasannya. Memang benar, kebiasaan itu membuat Fimi tak pernah menyia-nyiakan waktu hanya untuk makan. Jika makannya telah selesai, mereka akan berbincang sebentar lalu kembali bekerja. Sehingga butiknya maju pesat.
Sekitar lima belas menit, keduanya sudah menyelesaikan makan siangnya. Keduanya terlihat masih duduk di tempat yang sama.
"Gimana kabar Fir? Gue kangen tahu sama tuh bocah," tanya Nesa tak sabar.
"Alhamdulillah, dia baik, sehat dan makin aktif. Gue juga udah lama nggak jemput dia, nanti lusa lah sambil week end." Fimi menjawab sambil menyandarkan tubuhnya pada sofa.
"Gue ikut ya," ucap Nesa antusias.
"Oke, tapi beresin dulu semua kerjaan kita oke!" Fimi membentuk huruf O dengan kedua jarinya.
Keduanya kembali sibuk dengan pekerjaan mereka.
"Eh, Nes ini kita buat baju itu buat semua karyawannya?" Fimi baru bertanya setelah satu rancangannya selesai.
"Katanya sih iya, tapi kok baik banget ya bikinin buat karyawan sebanyak itu," jawab Nesa.
"Mungkin hadiah karena mereka bekerja keras untuk perusahaan," imbuhnya. Fimi hanya menganggukkan kepalanya.
"Oh, iya pesanan Bu Arisha udah ada yang ambil beberapa hari lalu." Nesa mengingat sesuatu.
"Oh iya, baguslah, mudah-mudahan selalu suka. Anak kembar beliau kan satu sekolah sama Fir." Fimi mengingat pertemuan pertama dengan Arisha di sekolah. Wanita anggun dan juga ramah.
"Iya gue tahu, anak kembar cowok sama cewek, kan. Gue kalau nikah pengen juga punya anak kembar gitu, seru kali ya," ucap Nesa sambil melihat ke arah jendela.
"Halu, nyari pacar dulu sana!" Fimi mengibaskan tangannya di depan wajah Nesa.
"Bukan halu gue berdoa ya, Fi." Nesa menepis tangan Fimi.
"Kalau gue sedikasihnya deh, mana ada yang mau sama single parent kaya gue," ucap Fimi pasrah.
"Jangan gitu, lo tahu nggak single parent tuh pesonanya lebih kenceng dari anak perawan, apalagi istri orang beuh!" Sebuah bantal pun melayang tepat di wajah Nesa.
"Ish, Fi beneran tahu," omel Nesa.
"Nggak."
"Emang lo nikah umur berapa sih? Terus bapaknya Fir ke mana?" Nesa akhirnya bertanya tentang sisi pribadi sahabatnya itu yang sejak dulu ia pendam.
"Gue ... papa Fir meninggal saat Fir berusia 1 tahun ...." Fimi tak melanjutkan ucapannya saat tiba-tiba ponselnya berdering.
"Iya, apa?"
Bersambung...
Happy Reading 😊
Makasih yang udah mampir, tap love, like, komen, vote sama hadiahnya aku suka. Tetep gerakin jempolnya ya biar aku semangat nulisnya. Makasih.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 92 Episodes
Comments
Ima Kristina
firdaus anak dari kakaknya fimi bukan
2024-08-26
0
Bzaa
menarik....
sukses ya otor 💕
2023-01-08
1
hayatun nufus
fir kayak nya anak kakak fimi yg udah meninggal deh
2022-10-23
0